34. Rumah Kami

1.6K 317 56
                                    

BAGIAN 34
SEBELUM FAJAR
© NAYLTAE
2023

.

.

.

BIASANYA Sehan terbiasa dengan sambutan riuh sekaligus ucapan selamat tiap kali timnya kembali dari pertandingan. Bahkan, Sehan sudah pernah merasakan sambutan terburuk sekalipun: disoraki, disalahkan, dan dilempari. Namun, Sehan bersumpah bahwa sambutan kali ini adalah yang terburuk dari yang terburuk.

Satu bulan menetap di pulau sepi, membuat Sehan tak terbiasa melihat gerombolan orang dengan ponsel menyoroti mereka. Mendarat di lapangan luas di tengah pemukiman, jelas menjadi lokasi dengan akses mudah untuk para warga menonton kegaduhan di sekitar mereka. Pada setiap langkahnya, Sehan hanya menunduk sambil menahan air matanya.

Suara di sekitar dipenuhi riuh suara manusia dan sirene ambulans serta polisi. Tentu saja, mereka adalah orang-orang istimewa. Sebuah sambutan yang cukup meriah untuk sekelompok orang yang baru saja pulang dari petualangan satu bulan di pulau tak berpenghuni. Tim SAR dan polisi di sekeliling mereka berusaha menutupi keadaan mereka yang kacau-balau dari para jurnalis yang penasaran.

"Iqbal!"

Nyaris tiba di dekat ambulans, suara itu melengking.

"Mama!" Iqbal melepas pegangan tangan orang yang merangkulnya, berlari menuju sang ibu yang menangis tersedu-sedu dan memeluknya.

Tangan keriput itu menyentuh wajah Iqbal dengan bergetar. Tangis yang tak henti, mata yang enggan menatap selain pada wajah anaknya yang dirindukan. Pun Iqbal sama derasnya menangis. "Nak... Ini betul kamu, 'kan? Iqbal anak Mama pulang? Iqbal anakku..."

Iqbal lemas mengangguk. "Iya. Ini Iqbal, Ma."

Lalu, pertemuan anak dan ibu itu berlangsung haru di tengah riuh berbagai suara. Sama halnya Arjuna di sisi yang lain. Dia disambut haru dan sedih oleh kedua orang tuanya. Sebagai keluarga figur publik, tentu saja pemandangan tiga orang di sana jadi yang paling disorot. Maka di tempatnya, Sehan yang sendirian hanya bisa berdiri sambil membayangkan pelukan hangat yang tak dia dapatkan layaknya dua temannya.

"Arjuna... Maafin Papa. Seharusnya Papa lakuin apapun buat nemuin kamu lebih cepat. Seharusnya Papa enggak kehilangan harapan dan berpikir kamu udah enggak ada..."

Erat-erat Arjuna dipeluk oleh ayah dan ibunya.

Sehan tak berharap apapun, tetapi matanya terus berkeliling ke sana kemari untuk memastikan bahwa benar-benar tak ada sambutan untuknya. Tangisan yang ditahan sejak tadi akhirnya tumpah. Dia biarkan dirinya menangis kesepian sedangkan keramaian berdengung di sekelilingnya.

"Sehan!"

Sontak Sehan mendongak dengan mata berkaca yang berbinar penuh harapan. Namun, kala menemukan orang lain selain orang yang dia tunggu, dua mata itu kembali redup. Semakin redup kala wanita yang berjalan buru-buru menuju tempatnya menangis kemudian bertanya, "Julian? Di mana Julian? Kenapa Julian enggak ada! Julian di mana, Sehan? Dia selalu sama kamu, 'kan? Di mana Julian..."

Sehan menatap wanita di depannya dengan kebimbangan. Apa yang harus dia katakan kepada wanita yang sudah dia anggap seperti ibunya sendiri? Apa yang harus dia katakan tentang Julian kepada wanita ini?

"Jangan diem aja! Julian di mana?!"

Sungguh, Sehan tak mampu mengatakan apapun. Yang ada di pikirannya justru bayangan wajah Julian, senyuman pria itu, dan sekelebat kejadian penuh penyesalan yang jadi pertemuan terakhirnya dengan Julian. Atas ingatan-ingatan yang menghajar habis-habisan perasaannya, Sehan mulai menangis bersuara. Dia menangis layaknya bocah sepuluh tahun yang menginginkan mainan baru.

Sebelum FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang