14. Lengan yang Saling Merangkul

1.6K 328 43
                                    

BAGIAN 14
SEBELUM FAJAR
© NAYLTAE
2023

.

.

.

SEBELUM langit berubah terang, mengendap-endap agar tak membangunkan teman-temannya yang tidur, Hadyan keluar dan berjalan di bawah temaram subuh menuju tempat yang tak dia tahu. Dua tangannya memeluk tubuh, menghalau kabut yang hendak menyentuh kulit. Dia hanya mengikuti cakrawala di mana matahari mulai sedikit menampilkan cahayanya. Hingga akhirnya dua kaki itu berhenti melangkah pada ujung tebing batu.

Hadyan hanya diam sambil menantikan matahari terbit. Dia memutar memori menyenangkan semalam, membandingkannya dengan kehidupan sebelum mereka datang ke sini. Tak berniat bohong Hadyan, dia benar-benar merindukan rumah berserta orang-orangnya. Dia rindu bermain mengotori kakinya dengan pasir saat bertanding. Lalu, Hadyan mulai ragu. Apakah masih ada kesempatan untuknya dan tim bermain seperti dulu?

Langit mulai berubah biru. Hadyan menekuk kaki dan melipat tangannya di atas lutut. Kembali mengira-ngira kapan petualangan bertahan hidup ini usai. Kapan mereka akan kembali ke kampung halaman. Rasa-rasanya, Hadyan mulai banyak berpikir buruk akan nyawanya sendiri. Perasaannya tak enak tentang masa depannya sendiri.

"Gimana caranya supaya bisa pulang?"

Di bawah sana, terlihat laut yang tenang, lalu di memandang jauh lurus ke depan, Hadyan melihat hamparan pulau lain berhadapan dengan wajahnya. Sejak beberapa hari yang lalu, dia mulai berpikir bagaimana cara agar bisa sampai ke sana, dan apakah di sana ada kehidupan yang dapat menolongnya.

Lalu saat matahari total menyinari bumi, Hadyan bangkit dan berjalan kembali ke rumah sementaranya melewati kabut yang belum dilelehkan panas.

Hadyan yang murung kembali tersenyum melihat teman-temannya yang mulai keluar dari dalam gubuk. Dia menyapa Iqbal yang tengah mencuci wajah, dan menghampiri Arjuna yang hari ini sudah lebih segar dibandingkan kemarin.

"Lo udah sehat?" tanyanya pada Arjuna.

Temannya itu mengangguk sambil tersenyum.

"Bagus, deh." Hadyan kemudian berdiri di sentral teras gubuk. "Guys! Dengerin gue sebentar, gue mau ngomong sesuatu."

Selagi melaksanakan kegiatan masing-masing, semua orang memberikan atensi kepada Hadyan.

"Dari kemaren gue pengen banget ngatur kegiatan kita supaya enggak berantakan, tapi gue bukan siapa-siapa, so, gue enggak bisa. Tapi berhubung sekarang Arjuna udah sehat, Arjuna yang bakal ngatur kegiatan kita." Hadyan menatap Arjuna, sedangkan sang lawan kebingungan. "Mulai sekarang belajar dengerin kapten kalian, ya. Mungkin kalian bisa lakuin semua sendirian selama jadi atlet, tapi di tempat ini enggak bisa, kalian harus dengerin pemimpin kalian."

Kali ini, semua orang terdiam, termasuk Tama yang biasanya selalu unggul dalam menyalahkan Arjuna. Sedangkan Arjuna tak tahu harus bersikap seperti apa. Dia tak menyangka Hadyan akan terang-terangan mendukungnya di depan semua orang.

"Nah, Jun, gue yakin banyak rencana yang ada di kepala lo. Diskusiin sama mereka."

Arjuna ragu, namun Hadyan memberikan tempat lapang untuknya bicara. Maka, sambil memastikan tak ada tatapan jahat yang menyorotinya, dia berdiri di titik tempat Hadyan sebelumnya berdiri.

"Sebelumnya gue mau bilang, kalo kalian masih enggak bisa nerima gue sebagai kapten, cukup liat gue sebagai lengan yang siap merangkul kalian. Gue pun akan liat kalian dengan cara yang sama, lengan yang kapanpun siap merangkul gue dan yang lainnya."

Sebelum FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang