22. Angin Pagi

1.3K 293 8
                                    

BAGIAN 22
SEBELUM FAJAR
© NAYLTAE
2023

.

.

.

HADYAN bertekad menyelesaikan perahunya dalam dua hari sebelum kejadian yang lebih mengerikan dibanding hilangnya Sehan kemarin terjadi di masa depan. Saat keluar dari dalam gubuk, dia menyadari Julian, Sehan, dan Arjuna tak ada di tempatnya. Membuatnya bertanya-tanya dengan kemungkinan yang terjadi di antara mereka.

Hadyan bersiul santai, menghampiri tumpukkan kayu dan perkakas lainnya kemudian meregangkan otot sebelum mulai mengerahkan keterampilannya dalam merakit badan perahu.

"Aduh, kalo ada kopi pasti enak," beonya kecil.

Hari ini angin lumayan kencang berembus, membuat Hadyan susah payah mempertahankan agar tubuhnya yang pasti sudah kehilangan banyak berat badan tak terbang terbawa angin. Begitupun dengan Iqbal di belakang sana yang berjalan dengan mata tertutup agar debu-debu tak masuk ke matanya.

"Julian ke mana, sih? Kemaren dia ngajakin gue ke hutan nyari ayam, sekarang malah ngilang."

"Buset, udah terbiasa banget lo berburu ayam." Hadyan tertawa, merespons jenaka.

"Ayam hutan bobotnya enggak main-main. Lo liat sendiri waktu itu, 'kan?" Iqbal kembali menjadi Iqbal yang banyak bicara. "Apa mau sama lo aja, Yan? Kalo pagi gini biasanya ayam-ayam rame cari makan. Kalo siangan susah dicari."

"Enggak dulu, deh. Sibuk gue."

Maka, di pagi yang berangin itu, tak semua orang menetap di luar. Sebagian besar orang berada di dalam gubuk sambil menantikan Julian, Sehan, dan Arjuna yang mungkin akan kembali sambil membawa makanan. Angin yang terlampau kencang membuat Iqbal tak bisa menyalakan api, dia berkali-kali mengumpat menyalahkan angin yang membawa debu sekaligus dedaunan kering menampar-nampar wajahnya.

"Ini mau badai apa gimana, sih? Anginnya brutal banget."

Lalu, Tama keluar menghampiri Iqbal. "Belum ada makanan, ya?"

"Sabar, ya, Nak. Abang-abang lo belum pada pulang."

Iqbal yang menyerah dengan api unggunnya hendak beralih menghampiri Hadyan untuk menonton pria itu memukul paku pada kayu-kayu. Namun belum sempat dia menempatkan dirinya duduk, telinganya lekas awas saat mendengar suara berisik yang asing ada di tempat ini. Begitupun dengan yang lainnya. Semua orang keluar dari dalam gubuk, sama-sama menatap langit.

"Helikopter!" Iqbal memekik. "Di sini! Orangnya di sini! Woi, helikopter!"

"Tolong! Tolong!"

"Tolongin, woi! Kami di sini!"

Hadyan menutup telinganya. "Percuma lo pada teriak-teriak, enggak bakal kedengeran!"

Tama bahkan nyaris memanjat pohon agar presensinya terlihat. Namun, helikopter itu sudah lebih dulu berlalu. Matanya tak sempat melihat rupa helikopter tersebut, sehingga dia tak bisa memastikan apakah benda itu memang lewat di langit untuk mencari mereka. Yang jelas, jika helikopter itu tak datang kembali, maka perahu Hadyan tetap jadi satu-satunya harapan untuk pulang.

"Kok bisa enggak ketemu, sih?! Kita udah sedeket ini, loh! Mereka ngelewatin kita!" Shafa naik pitam. Masalahnya, ini memang tak masuk akal.

"Seharusnya mereka bisa liat puing-puing pesawat di sekitar sini, 'kan?" Tama berpikir keras. "Dan juga, enggak mungkin di sini enggak ada sinyal sama sekali sampe mereka enggak bisa lacak keberadaan kita."

Sebelum FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang