24. Kenangan Terakhir

1.5K 296 21
                                    

BAGIAN 24
SEBELUM FAJAR
©NAYLTAE
2023

.

.

.

MENJELANG sore, hunian sementara mereka telah selesai dibentuk. Gubuk memanjang tanpa tembok dengan daun kelapa bertumpuk rapat sebagai atap. Untuk saat ini, tempat itu sudah cukup untuk melindungi mereka dari hujan yang sewaktu-waktu bisa saja datang. Pasalnya, Rangga sudah pernah merasakan betapa dingin bertahan di atas pasir di saat hujan.

Waktu ini adalah waktu yang tepat untuk menyaksikan indahnya matahari terbenam. Namun, sejak pagi awan kelabu menutupi langit dan teman-temannya. Hadyan dan Iqbal tetap berusaha menyalakan api pada kayu yang lembab meski pasrah malam ini akan tidur gelap-gelapan.

"Nyerah gue. Beneran enggak bisa." Iqbal melempar pemantik ke atas pasir lembab. "Kayunya basah, mau dicoba kayak gimana pun tetep enggak bisa dibakar."

"Kenapa nasib kita begini, ya."

Semua orang menoleh ke arah Nadhifa yang tengah menumpu dagu di atas lipatan kakinya. Gadis itu menatap lurus ke arah laut yang berombak kasar. "Kita udah bertahan sejauh ini, hampir sebulan dan kita masih hidup sampai sekarang. Tapi tiba-tiba ada kejadian kayak gini. Apa menurut kalian kita bener-bener bisa pulang?"

Iqbal turut memandang ke arah yang sama. "Kalo perahunya Hadyan selesai, seharusnya kita bisa pulang."

"Baru setengah jadi," timpal Hadyan. "Gue bakal selesain perahu itu secepatnya. Kalian tenang aja."

"Gimana sama helikopter kemarin? Kalian enggak yakin kalo mereka bakal nemuin kita duluan?" Tama masih dengan setitik harapannya bertanya.

"Kita bisa mati duluan kalo terus berharap sama mereka, Ma. Pulang duluan atau mati duluan."

Lalu, mereka hening sambil memainkan film dokumenter tentang perjalanan mereka selama menjadi tim voli pantai. Di atas pasir serupa, mereka biasanya berjuang mati-matian demi kemenangan. Bersorak bersama saat menang, saling merangkul saat kalah. Mereka rindu tertawa bersama karena tidak serius saat latihan, dan mendadak jadi wisatawan karena lebih dulu tereliminasi.

Mereka tengah berada di pantai, namun mereka merindukan pantai. Mereka merindukan tempat serupa yang menghadirkan tawa, bukan rasa putus asa.

"Kalian kangen main voli, enggak, sih?"

Hadyan menoleh ke arah Julian sebagai penutur pertanyaan. "Kangen, lah. Dari awal ke sini gue pengen banget bisa main voli lagi."

"Karena gue peka..." Julian mengeluarkan benda yang sejak tadi dia simpan di belakang punggungnya, "...gue bikin bola buat kalian. Maksud gue, buat kita main voli."

Dibandingkan dengan bola yang biasa mereka pakai pada setiap pertandingan internasional, bola abstrak yang terbuat dari sabut kelapa buatan Julian jelas terlihat luar biasa buruk. Namun, membayangkan kembali bergerak lincah di atas pasir untuk bermain meskipun dengan bola buruk itu, semua hati merasa antusias. Mereka bersyukur Julian selalu hadir dengan segala ide ajaib yang tak pernah gagal memupuk kembali harapan semua orang.

"Jul!" Iqbal merangkul Julian bangga, diam-diam menahan tangis. "Lo pinter banget, sih?!"

Julian tersenyum sombong. "Gue emang pinter."

"Gas lah! Ayo main!"

Hadyan mengambil alih bola buatan dari tangan Julian dan bangkit diikuti oleh anggota lainnya, kecuali Arjuna yang masih setia duduk di sebelah Rangga sambil tersenyum hangat memperhatikan teman-temannya. Menyadari pria itu tak bergerak, Julian dengan raut wajah gengsi menjulurkan tangan kanannya kepada Arjuna. "Ayo, ikutan main."

Sebelum FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang