Langkah kakinya keluar dari toko pakaian. Raya membeli baju seragam ketiganya. Bukan tanpa alasan, ia harus ke sekolah tanpa bau asap atau bau bawang.Sepulang sekolah Raya pasti akan menjadi pelayan di sebuah rumah makan, ikut mengiris bawang, membakar ikan dan melayani pelanggan. Meski ia memakai apron, tetap saja baju seragam sekolahnya tidak bisa terhindar dari semua bau itu.
Kerja shift sore membuatnya mendapatkan uang tambahan, bahkan ia bisa membeli sepeda sampai dengan kebutuhan sekolahnya. Ia tidak ingin meminta pada ibunya, takut jika ibunya susah dan malah menjadi beban pikiran.
Layar ponselnya menunjukkan pukul 18.03, ia segera mengayuh sepedanya melintasi jalanan kota yang ramai dengan kendaraan juga anak-anak remaja yang menjijikan. Raya pikir, dirinya sangat phobia dengan kemesraan. Aneh sekali.
"Jangan lagi deh," gumamnya.
Tinggal beberapa belokan lagi ia akan memasuki komplek rumahnya, tapi pemandangan di depannya membuatnya harus menghentikan sepedanya.
"Mati lo, mati lo!" teriak laki-laki berseragam SMA.
Ia sedang menghajar laki-laki lain yang juga memakai seragam SMA. Raya memutar bola matanya malas, apa ia harus berurusan dengan mereka? Mereka selalu saja menghalangi jalan raya, tidak bisakah mereka bertengkar di tengah jalan raya saja? Daripada di persimpangan lorongnya.
Raya turun dari sepedanya, ia jalan pelan di samping jalan, jangan sampai mereka menyentuhnya atau sebaliknya.
"Permisi, Bang, permisi," ucap Raya lirih dengan sopan tidak ingin ikut dalam hal menyebalkan itu.
"Woi! Berhenti!" teriak salah satu dari mereka.
Raya meringis, lalu sedikit bergumam "Shibal!"
Ia berhenti dan menoleh pada orang itu sambil terpaksa senyum dibalik masker dan hoodienya.
"Lo enggak ada sopan sopannya, ya, lewat di sini? Minimal uang lewatlah!" ucap laki-laki itu dengan nametag Ridho Ilahi Pamungkas terpasang di seragamnya.
Salah seorang dari mereka ikut menghampiri. Logo di baju mereka seperti tidak asing.
"Kenapa, Dho? Udah biarin aja lewat!" ucapnya menepuk pundak Ridho.
Raya memperhatikan berdua dan melirik sedikit pada teman sekelasnya yang sudah tidak berdaya. Tiga lawan satu, pantas saja temannya tepar, apalagi badan mereka lumayan.
"Enggak bisa, Bar! Pokoknya harus bayar uang lewat. Lo enggak liat noh, dia anak SMA sebelah temannya si Bagas!" ujar Ridho dengan emosi.
Bara melihat Raya dengan curiga, perempuan itu orang yang membantu Bagas saat di serang minggu lalu oleh mereka. Hanya saja saat itu sudah banyak warga yang datang membuat mereka harus pergi sebelum pertarungan selesai.
"Wah, mangsa baru, nih!" ucap Rehan datang menyelonong dan membuka paksa tudung hoodie Raya.
Raya menoleh, melihat laki-laki itu dengan tajam dan menggunakan kembali tudung hoodienya.
"Udah biarin aja, mending bawa Bagas ke camp kurung dia di sana!" ucap Bara.
Ia tidak peduli pada Raya, ia yakin 'laki-laki' itu bahkan lebih lemah dari Bagas, bentuk tubuhnya saja mungkin kurang atletis. Bara bisa merasakannya di balik hoodie hitam yang dikenakannya.
"Enggak ada urusan sama gue, kan? Yaudah, gue balik," pamit Raya dengan sopan menurutnya.
Namun, bukannya memberi jalan, Ridho malah menahan sepeda Raya membuatnya kembali berhenti.
"Bisa-bisa Mama marahin gue karena lambat balik," batin Raya.
"Ets! Seperti yang gue bilang tadi, uang lewat dulu." Ridho menaik turunkan alisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm the Middle (TERBIT)
Teen Fiction⚠️TRIGGER WARNING⚠️ Menjadi seorang anak "tengah" membuat Raya harus selalu menurut pada kakak perempuannya atau mengalah pada adiknya. Pikiran Ibunya selalu menganggap bahwa dia merupakan anak laki-laki yang sejatinya adalah anak perempuan. Di bali...