24 Out

122 11 0
                                    

Aku berharap melupakan semuanya
- Arayan -

___________
____

Tidak ada rencana Raya untuk mendapat kejadian itu untuk kedua kali. Ia hanya berjalan-jalan sebentar dan hanya di sekitar komplek, tapi apa pun ia dapatkan. Raya ingin muntah melihat mereka, mungkin juga karena dia sendiri anti-romantic.

Rasanya berat bertemu dua kutu di jalan dengan kemesraan seperti tengah berbulan madu saja. Terpaksa ia lakukan, karena ia juga takut jika terjadi hal di luar dugaan apalagi sekarang sudah larut malam. Sepertinya mereka memang sengaja bermalam-malam di tempat sepi ini.

Raya memegang pundak adiknya. Seketika keduanya melonjak kaget tatkala Raya mendorong perempuan di samping Alfian.

"Kak!" pekik Alfian tanpa suara menyadari tingkah Raya.

"Lo mau pulang atau dapat ini?" Raya menunjukkan dua tinjunya membuat Alfian meneguk salivanya dengan susah.

"Siapa, Al?" bisik perempuan di samping Alfian.

Raya memperhatikannya dengan seksama. Seperti pernah melihatnya, tapi ia lupa.

"Lo bisa pulang sendiri 'kan?" tanya Alfian tanpa membalas pertanyaan pacarnya.

"Kenapa? Lo tega ninggalin gue malam-malam gini? Mana udah sepi," rengek perempuan itu.

Ingin rasanya Raya menyumpal mulutnya dengan pasir. Menjijikan. Raya ingat, perempuan itu tetangga Bagas dan bisa-bisanya Alfian bertemu dengannya.

"Rumah lo dekat tinggal belok. Enggak usah manja," ucap Raya menatap tajam.

Perempuan itu melepaskan genggamannya pada Alfian. Ia curiga jika Raya adalah seseorang yang ingin menghancurkan hubungannya dengan Alfian.

"Kak!" sela Alfian.

Perempuan itu semakin kaget, "Gue balik dulu!" ucapnya lalu berlari dengar tergesa-gesa.

"Be!" panggil Alfian terdengar sangat menjijikan di telinga Raya. Ia mencoba memanggilnya lagi, tapi perempuan itu sudah hilang di balik gedung-gedung rumah.

"Pantas," ucap Raya.

Alfian mengerti maksudnya, "Enggak bisa liat gue senang gitu. Kayak lo enggak pernah aja," celetuknya.

"Lo baru sehat kemarin dan otak lo dibawa ke mana sampai bisa rencanain keluar malam?" Raya menyimpan sepedanya.

"Lo iri? Serah gue 'lah. Hidup juga gue kok. Enggak usah ganggu," balas Alfian.

"Gue ganggu hidup lo? Enggak guna. Mending lo pulang!"

"Enggak nyangka lho gue, lo bisa seiri ini sama adek sendiri. Makanya jadi cewek, ya, cewek aja enggak usah aneh-aneh jadi tomboy. Enggak ada yang suka pasti," terang Alfian.

Raya sedikit tidak percaya adiknya mengucapkan kalimat yang paling ia benci. Padahal ia dan Yuna tahu sendiri alasannya menjadi seperti sekarang ini. Ia tidak menggubris lagi dan meninggalkan Alfian di kesunyian malam.

Ia tidak marah, hanya merutuki dirinya yang masih saja baik kepada orang, tapi tidak dengan sebaliknya. Cukup jauh ia meng-goes sepedanya.

Sangat tenang berada di sini dengan udara malam sepoi-sepoi dan lampu-lampu gedung dari kejauhan seperti ribuan bintang di langit. Orang-orang mengatakan itu adalah Jembatan Kenangan. Raya membuang satu kerikil untuk kenangan pertamanya. Air lautnya nampak tenang di bawah sinar lampu jembatan.

Raya bersandar di palang jembatan. Sesekali jarinya menghitung mobil yang bergerak dengan cepat. Pendengarannya teralihkan pada seseorang. Ia melihat sekeliling dan mendapati seorang perempuan yang hamil sedang menangis.

Raya pikir itu mungkin saja ibu yang mengidam. Namun, pikirannya salah. Matanya melotot kaget tatkala perempuan itu naik ke palang jembatan.

"WOI!" teriak Raya.

Dengan cepat ia berlari sebelum perempuan itu ingin melakukan bunuh diri.

"WOI, GILA MBAK?!" Raya sampai melepas maskernya karena marah.

Perempuan itu meronta-ronta ingin dilepaskan. Raya dengan sekuat tenaga menahannya. Saat lengah ia menarik perempuan itu sehingga sedikit menjauh dari jembatan.

"LEPASIN!" jeritnya disela-sela tangisannya.

Raya tidak peduli, ia membawanya cukup jauh dari jembatan. Berharap Among masih di tempatnya, itu yang sedikit ia khawatirkan.

"MBAK SADAR!" timpal Raya.

Ia pusing sendiri melihat ibu-ibu yang ngidam atau ia memang merencanakan bunuh diri itu?

Perempuan itu terduduk dan menangis sejadi-jadinya. Raya tidak tega meninggalkannya, jembatan pun sudah mulai sepi sehingga kendaraan hanya lewat setiap 30 menit sekali kira-kira.

"Aku udah kotor," ucap perempuan itu.

Raya sama sekali tidak paham. Ia berharap yang ia tolong adalah orang waras. Setelah beberapa menit, perempuan itu mulai tenang.

Mata sembabnya menatap Raya yang menikmati indahnya kota malam hari.

"Kamu kenapa nolongin aku?" tanyanya kemudian.

Raya menoleh, duduk sejajar di sampingnya.

"Saya pernah kayak Mbak, tapi ditolong sama orang baik untuk kedua kali," jelas Raya.

Perempuan itu mengangguk, sedikit kagum dengan Raya yang tampan dan cantik dalam satu wajah.

"Saya bukan orang baik, Mbak. Tapi saya enggak mau jadi jahat dan biarin Mbak terjun. Seenggaknya enggak bakalan bikin dosa kan?" lanjut Raya.

Sekali lagi perempuan itu menangis. Memikirkan nasibnya sudah sangat terjatuh cukup dalam di jurang. Ia bahkan tidak mampu untuk meraih tali yang membawanya naik.

"Tapi aku udah berdosa," ucapnya mengelus perut.

Raya melihat dengan ekor matanya. Ia paham dengan keadaan perempuan itu.

"Dosa enggak akan selesai kalau kita bunuh diri. Bahkan akan semakin banyak. Tidak tahu orang-orang akan membicarakan apa tentang kita nanti saat mati. Baik atau buruk," jelas Raya lebih kepada untuk diri sendiri.

"Aku udah ngecewain Mama, udah ngecewain Papa, udah ngecewain semua orang. Aku enggak sanggup balik ke rumah."

Entah mengapa ia nyaman mengatakannya pada Raya. Perempuan itu menceritakan semua, Raya dengan seksama mendengarkan semua keluh kesah dan kejadian yang dialaminya. Hingga ia sedikit kaget saat mengetahui pelaku dari kehamilannya.

Berita luar biasa menjelas UAS bagi Raya. Miris sekali, untuk seusia anak SMA kelas 1 masa depannya harus sedikit terhambat.

"Aku udah cerita semua, kamu sendiri enggak mau cerita?" tawarnya.

"Enggak, Sya. Udah larut malam mending pulang," pungkas Raya.

Asya mengangguk, perempuan itu nampak kelelahan, tapi ia tidak ingin balik ke rumahnya.

Part ini 884 kata

I'm the Middle (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang