Piring-piring di dapur terlihat menggunung dan menumpuk. Seperti tidak ada habisnya setiap hari. Raya sempat berpikir mungkin itu hanya sebuah gambar dinding yang ditempel terpisah tepat di depan wastafel sehingga nampak seperti pegunungan piring yang akan berjatuhan. Tapi, tidak. Itu memang piring yang hampir akan terjatuh.Ada kalanya Raya juga ingin pulang sekolah disambut dengan wajah bahagia Nadin, rumah yang bersih dan makanan yang siap disantap bersama keluarga. Namun, itu mungkin tidak akan pernah terjadi karena hal sekecil mencuci piring pun harus Raya yang lakukan.
Sambil mencuci piring, ia memanaskan makanan pekerjaan Raya sehari-hari setelah sampai di rumah. Ia menyajikan makanan di atas meja dan setelahnya ia naik ke kamarnya untuk mandi.
Bahkan untuk mandi saja ia harus segera menyelesaikannya takut jika Nadin marah dan tidak ada orang di sana. Yuna dan Alfian pun selalu di kamar mereka. Bunyi klakson mobil terdengar di halaman rumah. Yuna dan Alfian membuka pintu kamar dengan cepat. Mereka seperti berlomba siapa yang akan tiba di hadapan Nadin duluan.
Raya tersenyum, salah satu tingkah lucu kedua saudaranya mungkin juga hal itu yang membuat Raya betah.
"Gue duluan!" ucap Yuna.
"Kak, pikir dong! Lo itu lambat, ya, gue duluan 'lah yang nyampe!" Alfian tidak mau kalah.
"Kalian ini, ya. Udah gede masih aja bertengkar. Ayo, masuk! Kita makan ayam goreng," ucap Nadin membuat mata mereka berbinar.
Di meja makan sendok dan piring saling beradu. Saat semuanya tertawa tiba-tiba mulut laki-laki itu berbunyi seperti lebih nyaring dari benda apa pun di dunia.
"Bun, anak kamu yang satu ini bikin malu," ujar Rialdo memecah suasana menjadi menyebalkan.
"Kenapa, Mas?" tanya Nadin penasaran anak mana yang membuatnya malu.
"Aku lihat-lihat Raya ini suka pulang malam sama cowok." Rialdo melihat Raya dengan senyum mengejek seolah berhasil memprovokasi Nadin untuk membenci anaknya.
Raya hanya lanjut makan meskipun di lehernya seperti terdapat paku yang sulit untuk dicerna. Ia ingin segera menghabiskan makanan itu dan tidak mau menanggapi kalimat yang keluar dari mulut ayah tirinya. Setidaknya, ia masih berusaha sopan untuk tidak menonjok wajah sok polosnya.
"Ya, bukannya Raya emang suka pulang bareng sama Bagas dari awal masuk SMA?" Alfian berkomentar.
Raya tersenyum tipis, untunglah ada adiknya itu. Harap-harap Nadin tidak terlalu terpengaruh.
"Iya, kalau yang itu aku tahu, tapi itu kan dulu masih pertama kenal terus juga pulangnya masih sore. Sekarang pulang malam. Maksud aku, Bun, anakmu ini enggak tahu malu pulang sama cowok malam-malam lagi."
Semakin kuat kalimat itu menyerangnya. Raya mungkin akan menjawab 'iya' saja karena saking lelahnya mendengar semua ucapan yang keluar dari mulutnya. Ini sebabnya Raya tidak pernah makan bersama keluarga. Hal yang paling ia hindari, tapi yang paling ia inginkan.
"Udahlah Mas, Raya 'kan anaknya memang begitu. Yang penting enggak ada mereka buat hal-hal aneh dan aku juga tahu Bagas anaknya kayak gimana," jelas Nadin melanjutkan makannya.
"Nah! Itu Bun, mungkin kita enggak tau kalau dia ini—"
"Ma, aku naik ke atas dulu mau lanjut nugas. Udah selesai juga makannya," ujar Raya memotong ucapan Rialdo. Nadin mengangguk mengiyakan.
Ia berjalan santai sambil meminum air di botolnya meninggalkan meja makan interogasi. Raya menggigit bibir bawahnya dengan keras. Ia tidak boleh menangis.
"Itu, 'kan. Lihat anakmu itu dikasih tau yang benar malah pergi enggak sopan dia," sindir Rialdo.
Laki-laki itu mulutnya seperti perempuan. Raya bahkan tidak bisa mengimbanginya karena dia punya banyak kalimat yang setiap saat pasti akan keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm the Middle (TERBIT)
Teen Fiction⚠️TRIGGER WARNING⚠️ Menjadi seorang anak "tengah" membuat Raya harus selalu menurut pada kakak perempuannya atau mengalah pada adiknya. Pikiran Ibunya selalu menganggap bahwa dia merupakan anak laki-laki yang sejatinya adalah anak perempuan. Di bali...