As she dances, the whole world revolved around her. As she moves, everyone attention already set on her beauty.
The lights, the lanterns, it suited her perfectly. As the drum beats, the festival already ended.
I fall for her.
***
"Aku datang dari negeri yang jauh, asalku bukan dari kerajaan manapun di benua ini."
Aku menjelaskan siapa aku pada seorang pedagang buah yang terus keheranan dengan penampilanku. Ia mengernyit heran kembali bertanya, "Kulitmu putih, tapi tidak pucat. Rambutmu, serta bola matamu hitam seperti abu perapian. Lalu pakaianmu.. apa kau menyebutnya tadi? Terbuat dari sutra?"
"Itu benar," kataku mengiakan.
Entah bagaimana aku terjebak di sini. Singkatnya aku seorang diplomat yang perlu bertemu dengan Ratu Renata dari Kerajaan Iridis. Kudengar kerajaan ini memiliki hasil panen yang melimpah dan kaisar yang kulayani memutuskan untuk menciptakan hubungan perdagangan.
Mereka terus menilai penampilan asingku. Aku sungguh tidak nyaman.
"Maaf, tapi bisakah aku pergi? Karena hari ini cukup melelahkan untukku."
Pedagang tua itu kemudian mengangguk mendengarku. "Baik, anak muda, maaf pula telah membuatmu menunggu lama!"
"Umurku 27 tahun," kataku bergumam.. memprotes lirih.
"Apa?! Kau terlihat seperti remaja berumur lima belas!" Lagi-lagi, ia memekik dan menatapku penuh penasaran. "Apa semua orang di benua timur sepertimu? Pria dewasa berwajah sangat muda tanpa janggut?"
"Ti-tidak.. tidak sepenuhnya benar, ahaha.."
Aku tidak bisa lepas dari percakapan ini.
***
Ketika aku selesai menyelesaikan urusanku, aku kembali ke villa dengan kereta kuda yang disiapkan Ratu Renata.
Di dalam kereta aku mengingat kembali percakapan kami dengan jelas.
"Tuan Liu, Anda sudah datang dari jauh untuk kesepakatan ini. Kuharap kita bisa menciptakan hubungan baik antara Iridis dengan kerajaanmu." Ratu Renata memberikan gulungan berstempel sah. "Ini untuk bukti perjanjian kita."
"Terima kasih, Yang Mulia."
"Tunggu sebentar." Ratu tiba-tiba kembali berbicara. "Mungkin Anda belum tahu, tapi ini hari terakhir festival panen diadakan. Jika sempat silakan berkeliling kota untuk menyaksikan perayaan penutupannya. Buatlah kenangan di Iridis sebelum kembali ke negeri Anda, Tuan."
***
Memikirkan ucapan ratu, aku memutuskan untuk turun dari kereta di tengah perjalanan menuju villa. Aku memutuskan untuk berjalan sendirian seorang diri. Jalanan cukup ramai dan terang, ini benar-benar malam festival.
Pantas saja banyak pedagang. Aku tidak terlalu memperhatikan pagi tadi.
Suara seruling kemudian terdengar, itu mengagetkanku. Suara genderang ditabuh bertalu pun menyusul. Suara terompet kemudian membahana, menggema hingga sudut kota.
Festival di Iridis sungguh semarak. Festival syukur atas panen benar-benar diselenggarakan yang terbaik oleh raja dan ratu Iridis. Meskipun tidak semegah Roshelle de Rosemarie. Pun tidak semewah Ratzell maupun Frautzell.
Bermain api saja sudah cukup sebagai suasana semarak festival. Ini lumayan mengingatkanku pada perayaan tahun baru di negeri asalku. Mereka memasang lentera dan kembang api pula. Hanya saja, semua merah. Tidak hijau maupun kuning seperti di Iridis.
Ketika aku datang ke kota itu pertama kali, yang kusaksikan hanyalah kebun dan ladang. Dan aku tidak berminat pula melihat hal lain.
Namun malam ini apa yang kusaksikan adalah bagian yang berbeda. Kota yang biasa terlelap di malam hari kini terbangun menampakkan indahnya. Festival panen pertama yang kusaksikan di negeri asing sungguh jauh dari kata mengecewakan.
Aku bersyukur bisa datang ke tempat ini.
"Kembang api! Mereka akan menyalakan kembang api!" pekik seorang anak kecil di belakangku. Mereka berlarian menuju ujung dari lentera kota, menuju bukit luas, untuk menyaksikan kembang api dengan jelas.
Sementara orang-orang berlari menuju kembang api, beberapa ada yang tetap tinggal untuk menyaksikan atraksi di panggung. Tarian demi tarian disiapkan sedemikian hebat, membuatku terpukau.
Lalu, aku melihat seorang wanita di tengah-tengah panggung atraksi. Wanita itu mengenakan pakaian serba merah dengan gemerincing bel menghiasi pergelangan, leher, serta kakinya. Cukup berbeda dari penari lain yang mengenakan warna kuning atau hijau serta ungu. Ia membawa kipas bulu merah nan besar dan mulai menggoyangkannya, berdansa seperti kelok ombak.
Mata kami bertemu. Netra kehijauan miliknya entah mengapa dapat menangkap pandanganku.
Ketika ia menari, dunia berputar mengitarinya. Ketika ia bergerak, atensi penonton tidak bisa lepas dari kecantikannya.
Gemerlap cahaya itu, lentera api itu, semua cocok untuknya. Ketika drum kembali dibunyikan, itu kode festival akan segera selesai. Kode penutup kemeriahan.
Kilau kembang api menerangi langit. Dentumannya membuatku ikut berdegup.
Tapi tatapanku tak bisa lepas darinya.
Hatiku jatuh padanya.
Wanita itu tersenyum. Dengan gaun serba merahnya yang mengingatkanku akan rumah, ia kembali menari.
Gerakannya teramat gemulai, kini ia memutar dan memutar.
Tanpa kusadari ia berdiri tepat di depan mataku. Mengulurkan tangan.
"Festival masih belum usai. Ini tarian terakhir."
"Bergabunglah bersamaku, tamu dari benua timur."
Aku mempunyai firasat bahwa.. aku akan tinggal lebih lama di Kerajaan Iridis ini.
Aku tersenyum kikuk menerima tawarannya, "Baiklah, N-Nona.."
Kami pun menari diterangi gemerlap angkasa.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Abandoned Kingdom - Black || Noir [END]
FantasyIni kisah mengenai sebuah kerajaan yang hilang. Semua sejarah mengenai kerajaan itu lenyap, tak seorang pun mengetahuinya. Mereka menganggap cerita mengenai kerajaan tersebut hanyalah sebatas dongeng. Hingga suatu ketika, kucing hitam itu datang. Bu...