18
Seekor burung hantu berbulu putih terbang di antara luasnya hutan belantara. Kakinya mencengkeram seekor kucing berbulu hitam. Tak terhitung berapa kali ia sudah berputar-putar di area itu untuk menangkap kucing hitam sesuai perintah sang majikan.
Sekarang burung hantu itu kembali ke istana Frautzell, menunjukkan hasil tangkapannya.
"Lagi-lagi bukan dia." Seorang wanita berpakaian serba gelap mendesis berat. Ia meratapi kawanan kucing hasil tangkapan burung hantu itu. "Usahamu bagus, tapi kauperlu mencari lagi!"
Tangan wanita itu terulur meraih si burung hantu dan mencekik lehernya. "Akan kuberi petunjuk. Kucing hitam yang kumaksud ini bernetra biru terang, sangat terang, seperti bukan netra yang biasa dimiliki kucing karena matanya itu menunjukkan sosok aslinya, sama sepertimu! Dia bisa berbicara jika kau menyudutkannya. Sekarang pastinya, dia berkeliaran di hutan kabut perbatasan timur ke utara. Cepat kejar dia dan bawa kemari!"
Burung hantu itu memberanikan diri bersuara, "Saya sudah mencari ke mana-mana."
"Cari lagi!!" bentak si wanita. Ia semakin mengeratkan tangannya. "Cari lagi, lagi, dan lagi! Sampai kaubenar-benar menemukannya!"
Setelah si penyihir berhenti mencekik, burung hantu itu berkoak-koak. Sayapnya kembali terkepak ke angkasa. Ia pergi secepat mungkin sebelum si penyihir melayangkan mantra yang menyiksa batinnya.
Penyihir itu sendiri sedang frustasi. Ia mengamati perubahan pada kulitnya. Keriput mulai terlihat di mana-mana. Cepat-cepat ia berlari menghadap kaca raksasa di ruang tengah istana. Alangkah terkejutnya ia ketika mendapati pantulan dirinya. Cermin itu mulai menunjukkan wujud asli si penyihir.
"Bulan merah tinggal sebentar lagi," kata penyihir itu tenang. "Aku hanya perlu menyiapkan bahannya dan bersabar."
Ia berkeliling. Tangannya terulur ke depan untuk merapalkan mantra.
Seketika, semua pintu dan jendela di istana terbuka lebar. Angin kencang berhembus. Langit di sekitar lingkup Kerajaan Frautzell menggelap, tertutup awan berwana hitam kemerahan.
Awan itu membawa darah. Terbukti jelas dari baunya, bau darah di mana-mana.
Itu darah tumbal. Darah yang disiapkan untuk ritual.
Penyihir itu menghirup udara sekuat tenaga, tiba-tiba penampilannya menjadi muda lagi.
Darah itu ia gunakan juga untuk bertahan sebelum bulan merah benar-benar muncul.
"Mereka akan menjadi mayat hidup setelah ini," gumam sang penyihir. Ia kembali berkaca pada cermin. Perlahan-lahan, ia memastikan keriput di seluruh kulitnya tidak muncul. "Menjijikkan. Tapi, aku harus betah melakukannya."
Ia kemudian pergi menuju anak tangga yang menghubungkan ruang tengah dengan ruang bawah tanah. Satu per satu anak tangga ia lewati perlahan hingga nampaklah pintu kayu besar yang terlihat berjamur. Penyihir itu membuka pintu tersebut hanya dengan mengucapkan satu kata saja.
"L'ouvrir."
Terbukalah pintu besar itu, menampakkan dua ratu yang terbaring tanpa daya. Ratu Bernadetta dan Ratu Xerandia. Dua wanita malang.
"Sebaiknya kuapakan kalian," tanya si penyihir pada dirinya sendiri. Ia kemudian mendekat pada Ratu Xerandia, menarik dagu ratu itu ke atas dengan seujung jari. "Burung hantu kesayanganku tidak ingin dirimu tersiksa. Jadi, dirimu yang jelek ini sebaiknya tertidur selama-lamanya agar aku tidak menyiksamu."
Penyihir itu berpindah pada Bernadetta. Matanya menatap tajam wanita itu dari ujung bawah hingga ke atas.
"Parasmu menyebalkan," desis sang penyihir dengan sorot berkilat-kilat, "baik dirimu maupun suamimu Alan menyebalkan! Bagaimana cara dia lepas dari pengaruhku? Aku curiga Raja Iridis itu memiliki sesuatu. Akh! Selalu saja ada pengganggu! Ramalan itu juga!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Abandoned Kingdom - Black || Noir [END]
FantasyIni kisah mengenai sebuah kerajaan yang hilang. Semua sejarah mengenai kerajaan itu lenyap, tak seorang pun mengetahuinya. Mereka menganggap cerita mengenai kerajaan tersebut hanyalah sebatas dongeng. Hingga suatu ketika, kucing hitam itu datang. Bu...