12

11.9K 1.4K 71
                                    

nyaris 3000 words. total 2768 ini. terniat, haha ^^. cek typonya kebut. gatel pengen apdet dari kemaren. so sorry kalau typo yak..

sebelum baca, budayakan vote. setelah baca budayakan komen. biar saya semakin tahu dimana bagusnya cerita ini, dimana kekurangan cerita ini. ok? nice.

***

12

"Sakit!"

Alvaro menepis tangan seseorang yang sedang mengobati lukanya. Keringat dingin keluar dari dahi sang raja, antara lelah bercampur marah. Ekspresi kesal yang sedari tadi ia tahan mencuat begitu saja. Ketika netranya bertemu dengan netra orang yang mengobatinya, Alvaro mencoba menenangkan diri, lantaran orang tersebut terlihat takut. Ia mengubah air mukanya menjadi seperti biasa.

"Pelanlah sedikit! Rasanya seperti mengetuk pintu maut. Kali ini aku bisa benar-benar mati jika kau menjahit seperti tadi," pinta Alvaro. Orang yang mengobatinya sedikit kikuk. Dia seorang wanita dengan rambut kecoklatan. Mati-matian Alvaro penasaran mengapa orang itu menyembunyikan wajahnya dibalik cadar.

"Setidaknya tunjukkan wajahmu. Untuk saat ini aku tidak duduk di singgasana jadi jangan terlalu sungkan," keluh Alvaro. "Kau tidak mengatakan sepatah kata pun ketika aku masuk, tapi langsung bertingkah mengobatiku."

Hening. Wanita bercadar itu tidak bergeming. Namun belum genap semenit berlalu, Alvaro mendengar isak tangis keluar dari mulut wanita itu. Membuat Raja dari Iridis gelagapan.

"Hei...hei, kenapa tiba-tiba?" Raja itu mengulurkan tangan, menepuk pundak si wanita. Dia kebingungan. "Aku tidak memarahimu. Astaga, dia mengingatkanku pada Renata. Selalu tidak terduga. Ngomong-ngomong di mana dia ya? Seharusnya Renata ada di sini. Tapi, aku belum melihatnya."

Alan yang duduk di sudut tenda terkekeh. "Dalam sekali lihat aku tahu dia siapa. Kenapa kau tidak menyadarinya?" ejek Alan.

Mendengar perkataan Alan, Alvaro memberanikan diri untuk menyibak cadar si wanita. Perlahan-lahan, ia menarik cadar itu ke atas. Betapa kagetnya Alvaro mendapati sepasang mata biru yang sangat ia rindukan. Alvaro langsung menyibak tudung wanita itu sekaligus.

Bibir wanita itu yang semula terkatup rapat, mulai mengeluarkan suara lirih.

"Alvaro..."

"Kau selamat..."

Bagaikan magnet, Alvaro mengabaikan semua rasa sakitnya dan memeluk wanita itu erat-erat. Wanita berambut coklat dan bermata biru yang selalu ia pikirkan. Wanita yang sanggup membuatnya mengorbankan nyawa. Wanita yang tak lain dan tak bukan ialah ratu di hatinya.

"Renata! Kau berhasil! Kau sampai di sini dengan selamat!" ujar Alvaro kegirangan. Ia bahkan sampai menitikkan air mata. Ia melepas pelukan itu tiba-tiba dan beralih mengecek kondisi istrinya. "Kau terluka, Sayangku? Apa pasukan si bodoh di ujung sana mengejarmu?" katanya sarkas sambil melirik ke seseorang.

Alan tertohok. "Entah mengapa, akulah si bodoh yang dimaksud." Dia berdiri, lalu menyibak tirai tenda kuning itu. "Akan kuberi kalian privasi sebagai permohonan maafku pada Renata. Kau boleh melanjutkan urusan kalian, aku akan kembali jika si Matilda atau siapalah itu datang."

"Baguslah," timpal Alvaro. "Jadilah sahabat yang baik dan berjaga di luar!"

Renata berhenti terisak, "Apa yang sebenarnya terjadi?"

Alvaro mengedikkan bahu. "Banyak hal, Sayang. Banyak hal. Bisa memakan satu malam penuh jika aku menceritakan semuanya. Daripada itu, bagaimana keadaanmu? Apa orang di sini menyambutmu hangat? Apa kau makan dengan baik? Apa­ –"

Cup. Alvaro mendapatkan serangan tiba-tiba dari ratunya. Renata membungkam bibir sang raja yang sangat cerewet itu dengan ciuman lembut.

"Beda denganmu, aku bisa menjelaskan dengan satu kalimat saja. Aku baik-baik saja," ujar Renata diiringi senyuman yang mampu melelehkan sang raja. "Mari fokus pada lukamu dulu, hmm?"

The Abandoned Kingdom - Black || Noir [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang