26
"Kami kembali!"
Raiga dan Lavia masuk ke dalam aula dengan wajah riang. Empat ekor ayam hutan berhasil mereka tangkap sebelum Matahari benar-benar tenggelam.
"Sepi sekali di sini." Raiga mendapati aula istana itu hening. Tak ada suara sama sekali. Ruangannya juga semakin gelap dari sebelumnya.
Dia menatap ke atas, ke arah langit-langit yang terbuka, menunjukkan lapis demi lapis lantai istana.
"Ah, mereka di kamar," kata Lavia memberitahu dengan nada datar. Dia bisa langsung tahu dari cahaya redup lilin gantung di lantai dua. Hanya lantai dua yang paling terang dari semua lantai.
"Perlukah menyusul mereka?" tanya Raiga yang menatap ke lantai dua. Dia mengangkat dua ayam hutan ukuran besar di tangannya. "Tangkapan ini perlu dipamerkan."
Lavia menggeleng. "Kita perlu mencari dapur."
"Masalahnya, hanya Yang Mulia yang tahu," kata Raiga mendesah. "Ruangannya terlalu besar dan aku tak ingin mencari-cari sambil menenteng ayam mati."
Dari tangga Raja Alan berseru. "Dapurnya di lantai dua. Dia juga menyediakan kamar untukmu tapi nanti saja menjelaskannya. Kalian perlu ke sisi timur lantai dua, menyusuri lorong, di sanalah dapurnya berada. Kami juga sudah menyalakan lilin dan obor sepanjang lantai dua jadi tak masalah. "
Raiga dan Lavia menaiki anak tangga dengan cepat lalu membungkuk pada Alan yag sudah memberikan informasi. Raja itu balas mengangguk kecil.
"Di mana Nona Eva dan yang lain?" tanya Raiga.
"Mereka masih di kamar," jawab Raja Alan. Dia menghela napas. "Kamar Nona Eva ada di ujung sana, jauh sekali. Aku tidak tahu letak pastinya, tapi mereka memang pergi ke ujung lantai dua tadi. Sedangkan sepasang kawanku ada di kamar dekat tangga, dan mereka berisik. Kalian bisa pikirkan sendiri apa yang sedang Alvaro lakukan bersama Renata."
Lavia dan Raiga tersenyum kikuk. Mereka kemudian berjalan menuju lorong timur lantai dua. Menuju dapur.
"Kami permisi, Yang Mulia."
Alan mengangguk. Ia kembali menambahkan, "Jika kalian bingung menyalakan lilin gantung di dapur, kalian bisa mencari tuas katrol rantai di sudut ruangan, lalu turunkan lilin gantung itu. Atau nyalakan saja obor yang ada di dinding. Jauh lebih mudah."
Raiga kembali membungkuk. "Baik, Yang Mulia."
"Pastikan kalian memasak ayam itu dengan lezat," celetuk Alan lagi-lagi. Raiga dan Lavia balas tersenyum lebar dan berlalu, menuju dapur.
***
Eva terperangkap dalam situasi yang membingungkan. Dia tidak tahu harus berbuat apa.
Namun, kedua netranya masih terus menangkap sepasang mata kebiruan milik Noir. Dia tidak bisa memalingkan wajah.
Ia menarik napas dalam-dalam. Menenangkan jantungnya yang berdegup teramat cepat.
Apa yang salah dengan dirimu? Dia Noir! Apa yang kaupikirkan? racau Eva dalam pikiran. Jangan memikirkan apapun! Jangan membayangkan -
Terlambat. Dia kembali mengingat penglihatan itu.
"Eva, ada apa?" Suara Noir memecah keheningan. Membuat Eva sedikit tersentak.
Gadis itu menggeleng cepat. Ia menepuk kedua pipi. Eva lalu menoleh ke jendela.
"Mataharinya tenggelam," gumamnya. "Ruangannya semakin gelap. Aku ingin keluar."
Noir menunjuk pada tali besar di sudut kamar. "Nyalakan saja lilin gantungnya. Di ujung ruangan ada tuas. Naikkan tuas itu ke atas agar rantai lilin gantungnya turun. Kau selalu bawa pemantik kan? Tinggal nyalakan saja lilin-lilinnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Abandoned Kingdom - Black || Noir [END]
FantasyIni kisah mengenai sebuah kerajaan yang hilang. Semua sejarah mengenai kerajaan itu lenyap, tak seorang pun mengetahuinya. Mereka menganggap cerita mengenai kerajaan tersebut hanyalah sebatas dongeng. Hingga suatu ketika, kucing hitam itu datang. Bu...