27

10K 1.1K 106
                                    

27

Sekalipun tersudutkan oleh berbagai macam hewan buas, seekor rusa takkan panik.

Karena rusa mengerti momentum yang tepat untuk melarikan diri.

Berbeda dengan manusia.

Musuh utama manusia hanya waktu.

Namun, manusia tak bisa melarikan diri darinya.

***

Suara pedang langsung terdengar ketika pagi menyongsong dari belakang istana, taman besar itu. Eva dan Renata benar-benar tak ingin melewatkan satu detik pun kesempatan untuk berlatih. Kali ini, Eva harus menunjukkan semua kemampuan terbaiknya. Didukung pedang perak, Eva benar-benar merasakan kerasnya latihan itu.

Pedang perak itu berat digunakan bagi Eva, tapi berubah menjadi ringan ketika sudah bertemu dengan pedang lawan. Alhasil, Eva kerap kali melakukan serangan, namun kesulitan mempertahankan diri dari serangan lawan.

"Kau pandai menyerang, tapi kau lengah bertahan, Eva!" Renata menghempaskan gadis itu dengan satu tekanan penuh pada pedang yang ia gunakan. Ratu yang merangkap master pedang itu mulai memberikan penilaian obyektif pada Eva. "Kau kehilangan fokusmu. Ketika memegang pedang, kau hanya perlu berfokus pada dua titik, yaitu pedang dan kaki lawan. Jangan perhatikan mata karena mata adalah pengecoh. Kau tidak bisa mempercayai mata lawanmu."

Eva terengah-engah. "Lawanku nanti seorang penyihir, apa ini tidak akan sia-sia? Aku... hanya memikirkan sekilas."

Noir yang dari awal mengamati Eva balas menjawab. "Benar. Dia memang menggunakan sihir. Tapi jangan pernah lupa bahwa pedang perak bukan pedang biasa. Yang perlu dilakukan adalah menciptakan celah untukmu supaya bisa menikamnya."

Bibir gadis itu melengkung ke bawah. Ia setengah mencibir, "Bahkan kau yang berhasil menikamnya juga tidak bisa mengalahkan penyihir itu."

"Itu karena aku menikam dia setelah semua ritual busuk yang ia lakukan hampir selesai," protes Noir. "Kali ini, semua persiapan sudah matang, kita hanya perlu menghentikannya sebelum ritual dimulai."

Alan yang baru saja datang dari sisi lain taman mengubah topik pembicaraan. "Bagaimana dengan mahkotanya? Apa sudah muncul?"

"Belum," jawab Noir mantap. "Aku yakin benda itu muncul di malam hari. Tepat ketika hari akan berganti. Kita akan mengamati singgasananya bergantian untuk memastikan. Siapa yang sedang berjaga sekarang?"

"Alvaro, mengingat Rayarka dan Rayarna sedang mengurus kuda," jawab Alan. Dia duduk di kursi bata tepat di sisi Noir berada. "Dia juga berkata mengenai lukisan."

Napas Noir berhenti sesaat. Dia menoleh. "Lukisan apa?"

"Deretan lukisan di aula," gumam Alan santai, ia mengayunkan kedua tangan ke atas, meregangkan tubuh. "Katanya bagus, tapi tertutup debu semua. Ketika dia ingin melihat lebih jelas, debu-debu itu susah dihilangkan. Jauh lebih susah daripada debu di kamar. Mungkin karena kanvasnya. Entah. Aku tidak terlalu peduli."

"Sampaikan padanya untuk tidak membersihkan lukisan apapun di aula," titah Noir tiba-tiba. Alis Alan terangkat.

"Kenapa?"

"Pokoknya tidak boleh," tegas Noir. "Cepat beritahu dia."

"Apa karena itu menyangkut dirimu?" Alan masih menginginkan penjelasan. "Sosokmu? Apa aku benar?"

"Jangan bertanya kenapa, jika belum saatnya, maka tidak boleh." Noir menyipitkan mata. "Aku tidak ingin ada kesalahan ketika semua sudah ada di titik ini."

Alan mengerti. Dia tidak tahu detailnya, tapi ia paham maksud Noir. Dia bisa menebak-nebak sendiri sisanya. "Aku takkan bertanya lagi. Aku permisi sekarang." Ia membungkuk kecil dan bergegas ke dalam. Dia bersiul pelan dan bergumam tak jelas. Mungkin mengatai Noir.

The Abandoned Kingdom - Black || Noir [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang