[ 11 ]: Picnic, Lily Evans, Panic

877 117 9
                                    

"Kau berteman dengan Regulus Black?"

Saat ini kedua Potter berada di dekat Danau Hitam menunggu kehadiran Lily Evans. Posisinya Audrey bersandar pada pohon dan membaca buku muggle koleksi Lily dan James tiduran di atas rumput yang dilapisi oleh karpet. Mereka seperti melaksanakan piknik karena sepupu Audrey tadi mampir ke Dapur Hogwarts dan memesan menu makanan cukup banyak.

Suara buku tertutup dengan kencang terdengar. Audrey meletakkan buku itu di sampingnya dan mengambil buah-buahan dari keranjang. "Dia teman seasramaku."

"Dia seorang Black dan Slytherin."

Audrey mendengus. Ia tak suka percakapan ini. "Begitu pula aku, James. Aku Slytherin, ingat? Dan jika kau membawa keluarga aku juga bisa bilang begitu pada Sirius."

Pria berkacamata itu langsung duduk mendengar intonasi dari sepupunya. Ia mendekat, "Hey, maaf ya? Aku tidak bermaksud menyinggung. Hanya saja—" James merapihkan rambut Audrey yang terkena terpaan angin. "Aku hanya ingin menyampaikan kau tetap harus berhati-hati, okay?"

"Karena kami Slytherin?" Tanya Audrey menebalkan kata kami.

James menghembuskan napas panjang. Ia menunduk, "I-I'm not a very good person. Terutama di tahun-tahun pertama. Aku melakukan banyak prank yang mungkin membuat beberapa orang sakit hati. Terutama Slytherin. Aku hanya tidak ingin kau kenapa-kenapa karena mereka dendam denganku."

"Oh, Jamie." Gadis Potter memegang dagu sepupunya agar menatap matanya. Tangan mereka menyatu seolah menguatkan. "Jamie, you're a lots of things but bad person isn't one of them." James tersenyum mendengar kalimat tersebut. "Mungkin kau membuat kesalahan. But hey, you grew up."

"Am I?"

"Mhm." Sahut Audrey. Tangannya mengacak-acak rambut ikal James. Heran, padahal Fleamont punya bisnis Sleekeazy's Hair Potion, tetapi James tak mau memakainya. Ia lebih memilih menguraikan ikalnya yang berantakan yang terkadang dapat mengganggunya saat Quidditch. "Jika tidak mana mau Lily denganmu."

James tersenyum malu dan mengecup tangan sepupunya. Ia bersyukur dapat bersatu kembali dengan gadis itu. James tak habis pikir, mengapa paman dan bibinya memilih tinggal di Prancis dari pada di Inggris. Padahal mereka berdua juga asli Inggris. Tidak ada darah Prancis sama sekali. "Omong-omong Lily, mana batang hidungnya? Lama sekali ia ke perpustakaan." Celetuk Audrey.

Belum sempat James membalas Profesor McGonagall datang dengan cepat dan wajah yang cemas. "Potters." Mereka berdua berdiri. "There's something the both of you have to see." Mereka menatap satu sama lain lalu mengikuti McGonagall dan meninggalkan 'piknik' mereka.

Hospital Wing. Audrey mempunya firasat tidak enak ketika mengetahui arah jalan ini. Lily Evans. Terbaring membeku di atas ranjang. James terkesiap, ia pergi ke sebelah ranjang dan memegang pipi kekasihnya. "Lily, love?" Panggil James. Audrey berdiri di samping sepupunya. Ia memperhatikan gadis yang biasanya riang sekarang berbaring pucat tak bergerak.

"Dia ditemukan di dekat perpustakaan. Bersamaan dengan ini." McGonagall menunjukkan cermin kecil di atas nakas.

McGonagall dan Pomfrey pamit undur diri. Terdengar isakan dari sebelah Audrey. James Potter. Gadis itu dengan cepat memeluk sepupunya dan mengelus lembut rambut ikal khas Potter berharap dengan ini dapat menenangkan.

Seketika pintu rumah sakit terbuka menampilkan Marlene, Alice, Sirius, Remus, Peter, dan—Snape di paling belakang. Hening. Tak ada suara. Mereka hanya menatapi Lily yang membeku. Paling ada suara tarikan ingus James karena menangis tadi.

Selang beberapa menit Madam Pomfrey kembali dari luar dan mengusir mereka kecuali kedua Potter. Mereka diizinkan tinggal hanya untuk beberapa menit saja. Audrey mengelus lembut tangan dingin Lily, ia mengernyit merasakan kertas di dalamnya. Dirinya menatap James yang masih fokus pada Lily. Lalu tanpa mengajak James ia mengambil kertas itu dan membukanya. "Apa itu?" Tanya James dengan suara seraknya.

"James," Panggil Audrey setelah membaca isi kertas. Ia menyerahkan kertas itu pada sepupunya.

"Basilisk? Menurutmu itukah yang menyerang Lily?" Audrey mengangguk yakin. "Tapi jika iya, mengapa—mengapa Lily hanya membeku? Di sini menyatakan jika kau menatap matanya kau akan—" Putusnya tak sanggup melanjutkan.

Audrey tampak berpikir. Basilisk, muggleborn, Kamar Rahasia, genangan air, hantu, cermin, diari, Tom Riddle— Motherfucker. Audrey buru-buru bangun dan berlari ke kamarnya. James terkesiap dan tanpa pikir panjang ikut berlari seraya membawa kertas tadi. Audrey berlari ke asramanya. Sial, sepupunya sangat cepat. Mereka masuk ke kamar Audrey. Sebelum naik James memantrai tangga agar tidak berubah menjadi perosotan. Untung sepi. Para murid sedang makan malam. Mereka berdua sampai di kamar dan melihat kondisi kamar sangat berantakan. Sangat. Terutama di bagian Audrey.

"Shit!" Umpat Audrey. Ia mencari barang dan tidak ketemu. "Shit, shit, shit."

"Apa yang kau cari?!" Seru James. "Gunakan accio!"

"No. Tidak bisa." Emosi Audrey meluap. "Diari. Tom Riddle's diary."

"Who the hell is Tom Riddle?! Kekasihmu?!" Mereka berbincang dengan suara yang lumayan kencang karena emosi mencari diari yang tidak ketemu.

"No, ugh. He's the bloody Heir of Slytherin. He opened the Chamber of Secrets!" Tanpa disadari Audrey berbicara dengan bahasa Prancis.

"Speak English, Audrey! Aku tidak mengerti!" Seru James. Semakin meninggi suara mereka.

Tangan James ditarik Audrey menuruni tangga dan keluar dari asrama. Tujuannya sekarang adalah kamar mandi perempuan Moaning Myrtle. "W-wait, ini kamar mandi perem—"

"Shut up, James."

Sesampainya Myrtle sedang bersandar pada jendela yang terletak di atas. "Myrtle, bagaimana kau mati?"

"Godric! Kau tidak bisa datang ujuk-ujuk menanyakan kematian seseorang, cousin!"

Lalu Myrtle menjelaskan secara singkat karena tatapan Audrey sangatlah galak. Ia emosi karena bisa sebodoh ini. Gadis itu memperhatikan wastafel dengan detail. "Ini dia." Gumamnya. "Jamie, ini pintu masuk Kamar Rahasia."

"Great! Sekarang sudah malam. Mari kita kembali besok di pagi yang cerah dan indah dan berdoa sebelum itu agar tidak terbunuh oleh Basilisk."

Audrey berdecak, "James! Jika kita bisa menghentikan Riddle maka tidak akan ada lagi korban berjatuhan. C'mon, Jamie."

Helaan napas terdengar panjang dari mulut James Potter, "Sekarang kau terdengar layaknya seorang Gryffindor." Ia mundur selangkah. "Bukalah. Pakai Parseltounge."

Sepupunya mengangguk dan mulai berbicara menggunakan Parseltounge. Pertama kali James mendengar dan ia tertegun sampai tidak sadar bahwa wastafel sudah berubah menjadi sebuah lubang tinggi nan gelap. "Bersama?" Tanya Audrey. James mengangguk dan mengaitkan tangan mereka. "1, 2—"

"Prongs!"

hi!

happy new year all! semoga di
tahun ini aku bisa banyak-banyak
update:D

happy reading<3

The Last Great Pure-blood Dynasty | Regulus BlackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang