Sepertinya cuaca pagi ini cerah. Audrey tidak tahu pasti. Bukannya ia baru bangun, tapi Slytherin berada di bawah tanah dan itu membuat murid asrama ini tidak mendapat cahaya ke kamar mereka.
Audrey menyemprotkan parfumnya. Ia sudah siap untuk hari ini. Tidak ada pelajaran tentu, karena ini hari sabtu. Tapi menurut Aleida hari ini ada latihan quidditch. Mereka ingin menonton.
Dalam hati Audrey berpikir. Apa yang harus seorang pasangan lakukan jika pasangan mereka sedang berlatih seperti ini? Memberi semangat? Memberi minum? Handuk? Akan lebih mudah jika hubungan mereka normal.
"Kau siap, Audrey?" Aleida masuk ke kamar. Wajahnya lebih segar karena sudah mandi. Ia melihat temannya sudah bersiap. "Tunggu sebentar." Pintanya dan segera mencari pakaian yang nyaman.
Audrey mengangguk. Ia duduk di pinggir ranjang. "Apa yang akan kau bawa?" Tanyanya tiba-tiba. "Untuk mereka yang latihan." Lanjut Audrey melihat wajah bingung Aleida.
"Aku saja cukup. Mereka akan senang melihatku." Jawab Aleida setelah mengerti apa yang temannya maksud.
Audrey mendengus lalu tersenyum. Ia suka bagaimana tinggi percaya dirinya Aleida. "Should I brought something? Y'know, untuk semangat. Kira-kira apa yang mereka sukai?"
Aleida memandangnya aneh. "Tits, definitely—"
"Aleida!" Potong Audrey seru.
"What?! They're boys. They would love that."
Audrey berdecak. "Kau tidak membantu sama sekali." Ia rebahan menatap langit-langit kamar. Kira-kira apa yang Regulus sukai?
"Who is it?" Aleida duduk tepat di sebelah Audrey. "Is it. . . Crouch?"
"Pardon me?"
"Right. Definitely not him." Gumam Aleida. "Kau tampak terhina ketika aku menebak namanya." Jelas Aleida melihat wajah bingung Audrey. "Neither Rosier." Aleida tersenyum jahil. "But I'm sure it's him."
Audrey terdiam. Apakah mereka terlalu jelas? Aleida tersenyum melihat diamnya Audrey. "Y'know, aku rasa kau adalah orang pertama yang dapat membuatnya sedikit meleleh. Beside his two idiots friends. Tapi dengan cara yang berbeda. Dia teledor di dekatmu. Dia membiarkanmu tidur diranjangnya ketika semua orang tahu dia tidak akan pernah lakukan itu ke siapapun. Secara teknis kau baru mengenalnya waktu itu. Dia cukup terbuka denganmu—My God, dia memegang tanganmu sebelum kalian pergi detensi, ia berenang denganmu di danau hitam, dan aku merasa bodoh baru menyadari ini. . . Tapi dia kan yang memberimu cokelat di Great Hall? Dan kemarin, kau menghilang dengannya. Berdua."
". . . Wow. Kau—teliti." Hanya itulah yang dapat keluar dari bibir Audrey.
Aleida tertawa. Entah mendengar respon temannya atau menyadari semua ini. "Salazar's sake." Gumamnya. "What did you do to him, Audrey? How can a—person like him—is capable of love? Of loving someone?"
Audrey mengernyit bingung. "What do you mean?"
Sebelum menjawab, Aleida berdiri dan memastikan pintu tertutup rapat lalu memantrai ruangan agar tidak ada yang bisa mendengar mereka. Ia kembali duduk dan Audrey bangun dari rebahannya. "He's a Black. They said half the Blacks went mad. Because everytime a Black is born, the Gods flip a coin."
Sekarang, ini menarik. Sepertinya Aleida tahu banyak tentang latar belakang keluarga Regulus. "Half of them?" Pastikan Audrey.
"Half. Mungkin lebih. Kebanyakan dari mereka pintar menyembunyikan. Alasannya? I'm not so sure. Tapi mungkin karena terkena kutukan Cruciatus sejak kecil—atau memang turunan." Aleida memegang bahu Audrey. "You need to be careful, Audrey. They're not the nicest people I've ever met."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Great Pure-blood Dynasty | Regulus Black
Fanfiction"There goes the last great pure-blood dynasty. The maddest woman this world has ever seen." - in which regulus black intrigued with the maddest woman at wizarding world. or - in which regulus has a weird feeling for a potter.