Tiga hari lamanya Regulus mendiamkan Audrey.
Dalam tiga hari itu ia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Tidak bisa belajar dengan fokus, dan hampir mendapatkan detensi karena melupakan tugas yang seharusnya ia bawa. Ketika mendengar pernyataan Audrey bahwa ia bisa membaca pikiran orang dengan mudah itu membuatnya—malu.
Malu karena artinya selama ini gadis itu mengetahui apa yang ia pikirkan. Dan yang selalu ia pikirkan akhir-akhir ini adalah gadis itu. Salazar, ia tidak pernah seperti ini. Jika saja Sirius mendengar cerita ini ia akan ketawa hingga napasnya habis.
Tapi pagi ini Regulus tidak bisa menahan rasa rindunya. Ia rindu mengobrol atau hanya dengan sentuhannya. Fakta lain, Regulus tidak menyukai pyhsical touch. Lagi-lagi Audrey Potter membuatnya berubah pikiran. Regulus menyukai kontak fisik yang mereka lakukan.
Karena itu, saat ini ia duduk manis membaca buku di Room of Requirement berharap kedatangan Audrey. Ia akui ia berlebihan menerima infromasi itu.
Pintu terbuka. Regulus mendengar deru napas yang kencang. Audrey. Gadis itu tampak mengatur napasnya dan belum menyadari keberadaannya. "Audrey." Panggil Regulus.
Audrey yang sepertinya belum sadar menjerit pelan. Tangannya yang kanan menutup mulutnya dan tangan kirinya ia letakkan di dadanya. Di selipan jemarinya ada perkarmen kosong. "Reg!" Serunya.
Regulus maju mendekat. "I'm sorry."
Napas Audrey terdengar sangat kencang. "No need. I—I just need a minute." Audrey memejamkan matanya dan mengatur deru napasnya. Setelah satu menit tiga puluh detik akhirnya napasnya kembali teratur. Ia membuka matanya menyadari Regulus yang dari tadi masih memperhatikannya. Audrey berdeham, "hi." Sapanya.
"Helo Audrey."
Oh. Audrey merindukan itu. Memang semua orang memanggilnya Audrey, tapi ketika Regulus yang memanggilnya—ia merasa hatinya berdetak lebih kencang. Ia merasa namanya hanya diciptakan untuk Regulus saja. "Maaf sudah mengganggumu. Aku membutuhkan tempat untuk—kabur dari Filch." Gumamnya diakhir kalimat.
"No need to apologise." Regulus membuka tangannya, seperti menunjukkan kegiatannya. "Aku sedang membaca. Would you like to join me, Audrey?"
Perlahan Audrey mengangguk. Oh shit, mengapa ia jadi malu-malu seperti ini. Mereka duduk di sofa bersebelahan. Regulus menggeser posisinya hingga tidak ada jarak diantara mereka. "Apakah Filch pelari yang cepat?" Tanya Regulus random.
"Untuk seukuran dan umurnya—yes he is." Mereka berdua tertawa kecil. "Mm, Regulus, listen I—I'm sorry. I was wrong. Seharusnya aku terus terang padamu. You have every right to be mad. Jika aku jadimu aku juga akan merasa—takut? I don't know. . . Dan yang pasti aku merasa terkhianati." Audrey menertawakan dirinya sendiri. "I just wanted you to know that your feelings are valid. Aku bisa kembali ke Common Room sekarang jika itu yang kau butuhkan."
"Yang aku butuhkan adalah kau disini denganku." Regulus menangkup wajah Audrey. Ibu jemarinya mengusap lembut pipi gadis itu. "I'm sorry too. Reaksiku berlebihan. Kau tidak wajib untuk memberitahuku semua hal. Privacy exist." Audrey tersenyum mendengar itu. "Can I kiss you now, Audrey?"
Audrey mengangguk. Pipinya memanas. "I need words, Audrey."
"I want you to kiss me, mon etoilé."
Detik berikutnya bibir mereka menyatu. Oh betapa rindunya mereka. Audrey merasakan dirinya diangkat dan diletakkan kembali di pangkuan pria itu. Tangannya mencengkram rambut ikal Regulus. Setelah beberapa saat keduanya melepaskan ciuman untuk mengatur napas. "So you're not mad anymore?" Tanya Audrey pelan.
Regulus menyatukan kening mereka. "I miss you too much to be mad anymore, my Audrey."
◐
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Great Pure-blood Dynasty | Regulus Black
Fanfiction"There goes the last great pure-blood dynasty. The maddest woman this world has ever seen." - in which regulus black intrigued with the maddest woman at wizarding world. or - in which regulus has a weird feeling for a potter.