Bab 2 (Luka di Balik Jeruji)

140 119 3
                                    

Seorang karyawan minimarket mendorongku dengan kasar ke sebuah ruangan. Matanya memerah dan tidak berhenti memakiku. "Polisi akan segera tiba. Kau akan segera masuk penjara!" ucapnya, lalu menutup pintu dengan keras.

Aku beringsut ke sudut ruangan. Rasa lapar belum juga hilang dan sekarang ditambah rasa takut karena akan segera dimasukkan ke penjara. Aku memeluk lutut, menangis tanpa mengeluarkan suara. Di saat banyak orang rela mengeluarkan banyak uang untuk membeli barang yang diinginkan, ada orang yang ingin bertahan hidup dengan makan meski hanya sesuap.

Dunia memang bodoh dan egois.

Pintu kembali terbuka, memperhatikan dua polisi yang menatapku dengan pandangan seperti karyawan minimarket di belakangnya. Seorang polisi mendekat, menarik lenganku dengan kasar. Aku memejamkan mata saat tanganku mulai diborgol menggunakan besi yang dingin itu. Aku berjalan setengah diseret keluar dari ruangan. Banyak pengunjung di minimarket ini menatapku dengan pandangan yang sangat menyakiti. Tidak sedikit dari mereka yang memaki.

Aku bukan orang jahat. Aku hanya lapar.

Ingin sekali mengucapkan kalimat itu, tapi meskipun kuucapkan, mungkin tidak akan ada yang peduli. Orang-orang hanya peduli pada diri sendiri.

Di depan minimarket tidak kalah ramai. Orang-orang datang hanya untuk melihatku sebagai seorang pencuri. Aku berusaha menahan tangis mendengar hinaan yang tidak berhenti mereka lontarkan.

"Gadis itu yang mencuri?"

"Masih muda, tapi sudah menjadi pencuri."

"Aku pernah melihat gadis itu makan makanan dari tempat sampah. Sangat menjijikkan."

"Cantik, tapi malah menjadi pencuri."

"Orang tuanya sangat buruk! Tidak mengajari anaknya dengan baik."

Aku menunduk semakin dalam mendengar kalimat yang mereka lontarkan.

Seseorang melempar botol plastik bekas tepat mengenai kepalaku. Aku meringis pelan. Sungguh tidak ada yang lebih menyakitkan daripada perlakuan kasar orang lain. Mobil polisi berjalan, membawaku pergi dari area minimarket tempat orang-orang tidak berhenti melemparkan cacian dan makian.

Polisi memasukkanku ke dalam sel berisi dua orang gadis. Mereka masih muda, mungkin seusiaku. Namun entahlah, aku tidak bisa memastikan. Usiaku saja aku tidak tahu.

Seorang gadis menepuk tempat kosong di sampingnya, mengisyaratkan agar aku duduk di sana. Sorot mata keduanya seperti menyimpan banyak luka. Sangat menyakitkan.

"Apa kau juga dimasukkan ke mari karena mencuri?" tanya gadis yang tadi menyuruhku duduk di sampingnya. Aku tidak menjawab karena yang dia katakan memang benar. Aku seorang pencuri. "Kami juga dimasukkan ke mari karena mencuri," sambungnya kemudian.

"Ayahku seorang pengangguran, setiap hari memaksaku mengemis, dan uang hasil mengemis itu diambil untuk dirinya sendiri. Dipakai untuk mabuk-mabukkan setiap hari. Ayah tidak pernah memberiku makan. Jika lapar, aku harus berjuang sendiri mendapatkan makanan, dan kadang ... aku terpaksa mencuri." Sorot matanya penuh luka. Tidak lama kemudian, dia mulai mengeluarkan air mata. Aku mengusap punggungnya, berusaha untuk membuatnya tenang.

Dia punya orang tua. Namun sayang, orang tuanya sama sekali tidak memiliki rasa peduli dan perhatian kepada anaknya. Apa kalau aku punya orang tua, mereka juga akan bersikap sama?

"Lalu, kau ... kenapa bisa masuk ke mari?" tanyaku kepada gadis di sebelahnya yang sejak tadi hanya diam. Namun sorot matanya, tidak kalah terluka.

"Namanya Laila. Dia bisa masuk ke mari karena dituduh oleh temannya sendiri. Dia pergi bersamanya, tapi temannya mencuri dan menuduh Laila yang melakukannya." Gadis di sebelahku menjelaskan.

Nama yang Hilang || Mark Lee [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang