Bab 3 (Korban Penculikan)

129 108 1
                                    

Aku membuka mata setelah mendengar suara berisik dari luar. Tidak lama kemudian, kardus bekas yang kususun di sudut ruangan berjatuhan ke lantai.  Dinding juga terlihat bergetar dan tanpa menunggu waktu lama mulai roboh. Apa ada gempa?

Aku mengambil tas tua di dekat kardus bekas yang sudah jatuh berserakan, kemudian berlari ke luar. Sebuah tiang jatuh tepat di hadapanku. Untunglah aku berhasil menghindar. Banyak bagian dari gedung ini yang mulai roboh. Jika tidak segera keluar, aku akan mati.

Aku berusaha berlari meskipun terasa sedikit sulit karena gedung ini tidak berhenti bergetar. Lantai atas mulai ikut roboh, puingnya tepat mengenai kepalaku. Aku terduduk lemas, melihat darah segar mulai menetes dari kepala. Tubuh seketika tegang, aku takut darah.

Terduduk lemas, tubuh seperti sudah tidak ada tenaga untuk kembali bangkit, tapi aku tidak boleh mati di sini. Aku merobek bagian bawah baju untuk menutupi luka. Setidaknya bisa menghentikan darah mengalir dari kepala. Lalu, berusaha menyeret kaki untuk keluar dari gedung ini.

Di luar gedung banyak orang berseragam oranye. Ada tiga alat berat di luar gedung. Dua diantaranya dilengkapi sebuah bola raksasa di bagian depan. Jadi, gedung ini bergetar bukan karena gempa? Tapi, karena alat berat itu.

"Berhenti!" Seseorang berteriak menggunakan pengeras suara ketika melihatku keluar dari gedung. Seorang pria menghampiri, kemudian membantuku menjauh dari gedung yang sebentar lagi sepertinya akan benar-benar runtuh.

"Bagaimana bisa kau keluar dari dalam sana?" tanya pria yang tadi berteriak, menyuruh orang-orang untuk berhenti.

"Aku tinggal di sini," jawabku. Pria yang umurnya mungkin sekitar setengah abad itu tampak terkejut.

"Orang tuamu di mana?" tanyanya yang langsung kubalas gelengan.

"Aku tidak punya orang tua." Dia menarik napas panjang, lalu kembali menatap dengan pilu.

"Apa gedung ini harus dihancurkan?" tanyaku dengan suara lirih. Jika gedung ini dihancurkan, aku tidak akan punya rumah lagi. Di mana aku akan tinggal nanti?

"Maaf. Kami hanya menjalankan perintah dari pemilik gedung ini. Kami diperintahkan untuk menghancurkannya karena akan dibangun gedung yang baru."

"Bukankah pemiliknya meninggal dalam kecelakaan?" Aku kembali bertanya.

"Yang menyuruh kami adalah ahli warisnya, anak dari pemilik gedung ini. Kami minta maaf karena harus menghancurkannya."

Aku menunduk sebentar, kemudian kembali mendongak seraya tersenyum tipis. Senyuman sebagai ganti ucapan bahwa aku baik-baik saja. Meskipun nyatanya tidak. Namun, siapa aku sehingga tidak bisa rela? Bukan siapa-siapa, tidak memiliki hak terhadap gedung ini. Seseorang yang tidak memiliki rumah, keluarga, juga nama.

Beberapa menit kemudian, gedung yang beberapa menit lalu masih berdiri kokoh, kini sudah runtuh. Gedung yang selama beberapa tahun kujadikan sebagai rumah, tempat berlindung, kini sudah rata dengan tanah. Banyak duka yang kulalui di sana. Meskipun begitu aku tetap berusaha bersyukur dan menerima takdir yang diberikan oleh Tuhan.

***

Aku duduk di pinggir sungai. Ada beberapa kapal yang tengah berlayar. Aku melihat ke arah jembatan, di atas sana banyak kendaraan berlalu-lalang. Jembatan itu menghubungkan kota ini dengan kota seberang. Panjangnya mungkin sekitar 1 km.

Aku membuka tas yang isinya tinggal setengah. Mengeluarkan sebungkus roti dan sebotol minuman. Saat hendak membuka bungkus roti, aku kembali teringat tentang gedung yang sudah rata dengan tanah itu. Sekarang aku harus tinggal di mana?

Aku melihat ke arah pohon yang ada di dekat sungai ini. Di bawah pohon ada seorang pria dan seorang wanita. Di samping mereka ada dua anak perempuan. Juga ada sebuah keranjang yang terbuat dari rotan dan beberapa botol minuman di dekat mereka. Mereka pasti keluarga yang sedang menghabiskan waktu akhir pekan sebelum akhirnya kembali sibuk untuk hari esok.

Nama yang Hilang || Mark Lee [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang