Bab 21 (Rasa yang Sama)

27 15 0
                                    

Aku berbalik, hendak melangkah pergi, tapi tangan besar Dehan tiba-tiba memelukku dari belakang.

"Aku sudah lama ingin mendengar kalimat itu darimu, Adira." Aku berbalik, tapi tetap dalam pelukannya.

"Apa maksudmu?" tanyaku.

"Aku juga, Adira. Aku juga mencintaimu," ungkapnya. Aku diam, tak tahu harus mengatakan apa lagi. Dehan menaruh telapak tangannya di pipiku. Aku pikir ia akan menyeka air mata, tapi ternyata tak melakukannya.

"Aku pernah mengatakan tak ingin melihatmu menangis lagi, Adira. Tapi sekarang aku tahu, ini air mata kebahagiaan. Jadi, aku akan membiarkannya." Dehan membawaku ke dalam dekapannya, hingga aku bisa merasakan jantungnya yang tak berhenti berdebar. Sepertiku. Tangan kiri  Dehan mengusap kepalaku perlahan. Aku bahagia. Benar-benar bahagia.

Ternyata aku tak jatuh cinta sendirian. Dehan juga memiliki perasaan yang sama denganku.

Pelukan Dehan perlahan melonggar, tapi ia tetap menggenggam kedua tanganku.

"Apa kau tahu, Adira? Kebahagiaanku menjadi dua kali lipat malam ini. Yang pertama karena ternyata aku tak jatuh cinta sendiri dan yang kedua ... untuk pertama kalinya kau menyebut namaku. Dehan. Dengan suara indahmu," katanya.

Memang benar kata orang. Setelah luka pasti ada bahagia. Dan kini aku merasakannya.

"Sejak kapan?" tanyaku yang langsung dibalas senyuman olehnya.

"Dulu kau kira aku mengizinkanmu tinggal di rumahku karena merasa kasihan," aku mengerjapkan mata karena Dehan tiba-tiba mendekatkan wajahnya, tapi tetap ada jarak, "kau salah. Itu karena aku mencintaimu, Adira," lanjutnya.

"Tapi, bagaimana bisa kau mencintaiku padahal kita baru bertemu?"

"Di minimarket?" tanyanya yang langsung kubalas anggukan. "Kita pernah bertemu jauh sebelum hari itu."

Bagaimana bisa? Apa merasa belum pernah bertemu dengan Dehan sebelum hari itu.

"Apa kau ingat beberapa tahun yang lalu pernah membantu seorang wanita membawa barang belanjaannya sampai ke halte bus? Kalian bercerita banyak hal dan saat itu ternyata dompet milik wanita itu hilang. Dan kau pun membayarkan bus-nya." Aku berpikir sebentar, mencoba mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu.

Aku kemudian ingat kejadian itu, wanita paruh baya yang kutemui setelah selesai bekerja di restoran.

"Tapi, bagaimana kau bisa tahu?" tanyaku.

"Dia Ibuku, Adira." Aku terkejut mendengarnya, jadi ini alasan waktu melihat foto Ibunya Dehan, aku merasa seperti pernah bertemu dengannya? Rupanya dia wanita baik hati itu. "Ibuku bercerita tentangmu dan karena penasaran aku akhirnya mendatangi tempatmu bekerja. Hari itu di belakang restoran, aku melihat kau memberikan sebungkus makanan kepada seorang anak jalanan. Ternyata yang Ibuku katakan tentangmu benar. Kau malaikat berwujud manusia."

Dehan memandangku begitu dalam. "Dan beberapa hari setelah itu, aku duduk di bawah pohon di dekat sungai, dan dari balik pohon aku mendengar suara, 'luka itu tanda menuju kedewasaan dan aku yakin bisa melaluinya.' Saat mencari tahu siapa pemilik suara itu. Aku melihatmu ... menyender ke pohon sambil memejamkan mata. Kata-kata itu adalah mantra untuk menguatkan dirimu, bukan? Dan apa kau tahu, Adira? Hingga kini aku juga menggunakan mantra itu saat merasa rapuh."

"Aku jatuh cinta pada tutur dan sikapmu."

Terbit senyum di sudut bibirku, ternyata Dehan jatuh cinta lebih dahulu, dan dia sudah sangat lama memendamnya. "Aku ingin mendengarmu menyebut namaku lagi, Adira," pinta Dehan.

"Dehan," lirihku membuat Dehan tersenyum sambil memejamkan mata.

"Ini alasan kenapa aku membutuhkanmu, Adira. Sosokmu seperti penyembuh," ungkap Dehan, lalu kembali memelukku.

Di bawah deraian hujan, aku dan Dehan jatuh cinta semakin dalam.

***
Hujan belum berhenti turun hingga kami sampai di rumah. Kami memasuki rumah dengan keadaan basah kuyup. Dehan langsung menyuruhku mengganti pakaian. Ia tidak mau aku sampai sakit karena sudah hujan-hujanan bersamanya.

Aku memakai hoodie berwarna biru tua milik Dehan yang ukurannya agak besar hingga tubuhku nyaris tenggelam saat memakainya. Aku bisa merasakan kehangatan Dehan di hoodie ini.

Aku menghampiri Dehan yang sedang membuat sesuatu di dapur. Ia juga sudah mengganti pakaian. Saat ini Dehan memakai kaus biru berlengan panjang, juga memakai kacamata. Menurutku dengan penampilan seperti itu, dia terlihat lebih memesona. Ditambah dengan kumis tipis, ia terlihat sangat menggemaskan.

Dehan tak menyadari keberadaanku. Ia tengah membuat segelas minuman.

"Dehan." Dia menoleh cepat, lalu tersenyum dengan hangat. Seperti yang Dehan katakan beberapa saat yang lalu, ia suka bila aku menyebut namanya. Untuk kedepannya aku akan sering melakukannya. "Apa yang sedang kau buat, Dehan?" tanyaku.

"Aku sedang membuat cokelat panas untuk kita berdua," jawab Dehan yang membuatku mengernyit heran. Untuk kami berdua?

"Tapi, kenapa minumannya hanya satu?" Aku tambah heran karena Dehan berusaha menahan senyum.

"Aku hanya ingin minum sedikit. Jika membuat dua gelas, nanti terbuang sia-sia."

"Oh."

"Apa kue cokelat berbentuk kelinci di pesta Hanna tadi enak? Aku lihat sepertinya kau sangat menyukainya."

"Iya, kue cokelat tadi rasanya sangat enak. Aku harap bisa memakan kue seperti itu lagi." Aku tersenyum sambil mengingat bagaimana cokelat itu meleleh di mulutku. Apalagi bentuknya yang sangat lucu.

"Apa kau mau di hari pernikahan nanti, kita juga memesan kue seperti itu?"

"Pernikahan siapa?" Dehan tak menjawab. Dia malah tersenyum menggoda. Setelah paham, aku menunduk berusaha menahan semburat merah di pipi. Aku berbalik. Berjalan ke arah sofa di depan TV. Dehan berubah 180°. Sekarang dia lebih terbuka soal pikirannya.

Aku memindahkan boneka beruang besar ke tengah saat Dehan ikut duduk di sofa. Aku ingin ada jarak agar ia tak menggodaku lagi. Aku kesusahan menahan senyum mendengar kalimat manisnya.

Dehan meletakkan cokelat panas di meja, lalu menyalakan TV. Kami menonton sebuah drama. Drama romantis? Tentu tidak. Dehan lebih menyukai genre aksi dan karena sering menonton bersama Dehan, aku juga mulai menyukainya.

Aku mengambil cokelat panas di meja, menyeduhnya perlahan. "Apa enak?" Dehan bertanya.

"Hu'um." Aku bergumam.

Dehan mendekat, berusaha meraih kepalaku untuk mengelusnya. "Menggemaskan," ucapnya yang membuatku mengerjapkan mata. Pertama kalinya ada orang yang mengatakan hal seperti itu kepadaku.

Layar TV memperlihatkan adegan kejar-kejaran menggunakan mobil. Kedua laki-laki yang ada dalam TV itu membawa mobil dengan sangat cepat bahkan membenturkan mobil satu sama lain. Biasanya aku akan sangat bersemangat menonton adegan seperti ini, namun perkataan Dehan tadi berhasil membuatku kurang fokus. Setelah saling mengungkapkan perasaan, Dehan lebih sering membuatku tersipu malu.

Setelah aku meletakkan gelas di meja, Dehan langsung mengambil, lalu meminumnya. Aku mengernyit heran. Bukannya Dehan mengatakan bahwa ia hanya ingin minum sedikit? Aku mengambil gelas itu setelah Dehan meletakkannya kembali di meja.

"Habis?" Dehan mengerjap. "Bukannya kau hanya mau minum sedikit?" tanyaku keheranan.

"Aku akan membuatkanmu lagi." Dehan hendak melangkah pergi, tapi aku langsung menahannya.

"Tidak perlu. Lagipula aku juga tidak mau minum lagi. Aku hanya heran karena kau tiba-tiba menghabiskannya."

"Cokelat panas itu jadi lebih enak karenamu."

Memang apa yang sudah aku lakukan? Cokelat panas itu memang sudah enak dari awal.

___________________________

Bersambung

•••••••••••••••••••••

Nama yang Hilang || Mark Lee [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang