Bab 22 (Berkebun Bersama)

29 13 0
                                    

Perlahan aku membuka mata, lalu melepaskan selimut yang menghangatkan tubuhnya sejak semalam. Aku bangun, berusaha mengumpulkan nyawa. Ternyata aku ketiduran di sofa. Lalu Dehan? Mataku mengitari sekitar. Di lantai ada alas tidur dan sebuah bantal. Apa Dehan tidur di sana?

Aku tersentak ketika mendengar sesuatu jatuh di dapur. Ketika hendak mencari tahu, kepala Dehan tiba-tiba menyembul dari balik pintu dapur.

"Apa aku membangunkanmu?" tanyanya dengan nada khawatir. Aku tak bisa menahan senyum melihat tingkahnya. Ia seperti seorang anak kecil yang penasaran akan sesuatu, tapi takut dimarahi.

Aku menggeleng. "Aku sudah bangun sejak tadi."

Aku langsung menghampiri dan berdiri di sampingnya. "Apa yang sedang kau lakukan?" tanyaku sambil menggelung rambut.

"Membuat sarapan untukmu," jawabnya.

Aku membulatkan mata karena Dehan tiba-tiba mendekatkan wajah. Perlahan ia mengangkat tangan, menyentuh sudut bibirku. Pipiku seketika memerah, jantungku tak berhenti berdebar. Tatapannya mengarah ke bibirku. Apa yang akan Dehan lakukan?

"Iler," ucapnya yang membuatku kesetika mengerutkan dahi.

"Ha?"

"Ternyata kau ileran saat tidur," ucapnya, lalu tertawa. Aku seketika menjauhkan tangannya, berlari ke arah wastafel untuk mencuci wajah. Bagaimana bisa aku tak memeriksa kondisi wajah terlebih dahulu? Aku menggerutu di depan wastafel membuat tawa Dehan terdengar di sudut ruangan. Lama-kelamaan tawa itu tak lagi terdengar, berganti dengan tangan kekar yang tiba-tiba memelukku dari belakang. Aku tersentak, sementara Dehan menatapku dengan pandangan yang sangat lekat. Ia meletakkan dagunya di pundakku membuatku salah tingkah dengan dada yang tak berhenti berdebar.

"Apa kau malu karena aku melihat ilermu, Adira?" tanyanya dengan suara yang sangat pelan. Aku mengangguk, membuatnya tertawa sekilas. Tawa itu kini tak terdengar lucu, namun malah mendebarkan jantung. "Kenapa kau harus malu, Adira? Lagipula nanti setiap bangun tidur aku akan langsung melihatnya." Aku tahu ke mana arah pembahasan Dehan. Lagi-lagi ia membahas hal itu.

"Dehan."

"Hmm."

"Apa kau mencium sesuatu?"

"Mencium?" tanyanya sambil menaikturunkan alis.

Aku langsung melepas pelukannya, lalu sedikit menyipitkan mata kesal. Pikiran Dehan sangat ekstrem sekarang.

"Bau gosong," ucapku.

"Gosong?" Dehan termangu beberapa saat, lalu matanya membulat sempurna. "Aku sedang menggoreng telur!" Dia berlari dengan cepat, lalu mematikan kompor dengan asap yang sudah mengepul di atasnya. Seketika aku tertawa melihat raut wajahnya yang menegang. Bisa-bisanya pria itu lupa bahwa ia sedang menggoreng telur.

"Rumah kita hampir terbakar, Adira," ucapnya membuatku menggeleng-gelengkan kepala. Aku menghampiri. Satu sisi telur itu berwarna hitam pekat.

"Bagaimana sekarang?" tanyaku.

Dehan menghembuskan napas. "Aku harus menggoreng telur yang baru." Dehan kembali melanjutkan aktivitasnya, sedangkan aku menyiapkan meja makan. Aku tersenyum tipis melihat caranya menggoreng telur. Dehan pernah mengatakan orang-orang mengakui ia memiliki banyak bakat, tapi bagaimanapun juga Dehan juga seorang manusia. Menggoreng telur adalah kelemahan terbesarnya. Tapi, setelah bekerja di restoran dan terbiasa melihat koki menggoreng telur di sana, ia jadi bisa sekarang. Bahkan mungkin juga sudah ahli.

"Apa hari ini kau tidak akan pergi bekerja lagi?" tanyaku setelah kami berada di belakang rumah.

"Hari ini aku ingin menghabiskan waktu bersamamu, Adira," jawabnya sambil mengelus puncak kepalaku. Aku memejamkan mata, menikmatinya. Dehan membuatku merasa benar-benar menjadi orang yang berharga. Dulu orang-orang tak menyukaiku, bahkan untuk sekadar memandangku, mereka enggan. Kini, pemilik mata teduh itu benar-benar mengubah segalanya.

Aku benar-benar tersihir olehnya. Aku bahkan tak ragu mengatakan kepada orang-orang bahwa aku benar-benar mencintainya.

Dehan mengambil keranjang rotan di atas dipan. Keranjang berisi bibit yang kami beli waktu itu. "Aku ingin menanam bibit semangka ini bersamamu, Adira," katanya. Aku termangu. Karena kesalahpahaman, rencana kami jadi tertunda. Aku menyesal sudah berpikir buruk tentang Dehan. Kebodohanku waktu itu membuat hubungan kami sempat merenggang. Aku harap kedepannya tidak ada lagi kesalahpahaman seperti itu. Kesalahpahaman yang akan memisahkan kami.

Aku harap bisa selalu bersama dengan Dehan. Dan kuharap, takdir juga menginginkan hal yang sama.

Aku dan Dehan mulai menanam semangka bersama. Meskipun melelahkan, tapi kami melewatinya dengan senyuman. Aku bahkan tertawa melihat ekspresi Dehan yang sangat fokus melihat gundukan tanah kecil itu. Dia pasti membayangkan memanen semangka-semangka itu.

"Semangka itu tak akan langsung tumbuh meskipun kau menatapnya seperti itu." Aku tertawa kecil.

Dehan tersenyum memperlihatkan semua gigi putih yang berbaris rapi. "Aku tak sabar memanen semangka ini, Adira dan kuharap ... kita bisa melakukannya bersama."

Aku menatapnya dalam, lalu berucap, "Aku juga tidak sabar melihat senyummu saat kita melakukannya." Langsung terbit senyum di wajah itu.

"Kalau saja tanganku tidak kotor, aku akan langsung memelukmu," ucapnya membuat pipiku memerah. "Aku suka saat kau tersipu malu seperti itu, Adira. Membuat kecantikanmu semakin bertambah dan aku semakin jatuh cinta."

Jika Dehan selalu berterus terang seperti itu, aku bisa terkena serangan jantung.

Dehan memutar keran air, lalu mencuci tangan dengan air yang keluar dari slang yang ukuran mungkin sekitar 5 meter itu. Aku menghampiri, mengulurkan tangan agar ia menyiramkan air ke atasnya. Aku mendongak, Dehan tersenyum menyeringai, seperti ada sesuatu yang hendak ia rencanakan.

Dehan tiba-tiba mengarahkan slang kepadaku, menyemprotkan air hingga membuatku basah. Aku berusaha menghalangi air itu menggunakan kedua telapak tangan meskipun mustahil aku tidak akan basah kuyup dibuatnya.

Aku berusaha mengambil slang dari tangannya. Setelah berhasil, aku langsung membalas dendam. Dehan berlari ke sana ke mari, tapi aku tak berhenti menyemprotkan air. Bukannya marah, kami berdua malah tertawa dengan lepas.

Aku tak ingin melupakan kenangan indah ini.

Beberapa kali aku berpikir, jika semua ingatanku telah kembali, apa aku akan tetap di sini atau harus pergi? Aku tak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Jadi, selama masih bersama dengan Dehan, akan kubuat kenangan indah yang banyak bersamanya. Dan berharap, tak akan pernah melupakannya. Seperti aku melupakan masa laluku.

Dehan mengambil slang air dariku, mengarahkannya ke udara sehingga tampak seperti sedang turun hujan. Dehan menggenggam tanganku, kemudian kami meloncat-loncat di atas rumput. Memang terlihat kekanak-kanakan, tapi kami bahagia. Benar-benar bahagia.

Dehan memeluk pinggangku, mengangkat, lalu mengajak berputar-putar. Aku tak bisa menahan tawa, Dehan juga. Pertemuanku dengannya benar-benar mengubah segalanya. Ia tak berhenti memberiku kebahagiaan.

Aku pernah mendengar seseorang mengatakan ketika kita hidup untuk membahagiakan orang lain, maka Tuhan akan mengirimkan seseorang yang akan membuat kita juga bahagia. Aku beruntung mendapatkan sosok seperti Dehan dalam hidupku dan kuharap semua orang juga mendapat sosok sepertinya. Seseorang yang akan selalu memberikan senyuman.

Dehan berhenti berputar, menurunkan, lalu mencubit hidungku pelan. "Ayo, kita sudahi bermain air. Hidungmu sudah memerah. Aku takut kau nanti kau sakit, Adira," ucapnya sambil mengelus rambutku yang basah.

Malam tiba. Di luar hujan turun dengan deras. Dehan lalu berinisiatif membuat mi instan. Katanya sangat enak memakan makanan berkuah saat turun hujan seperti ini. Aku mengangguk setujui. Dehan kemudian berjalan ke dapur, sedangkan aku berjalan ke kamar untuk memakai pakaian yang lebih tebal.

"Adira," panggil Dehan seraya mengetuk pintu.

Aku meraih gagang pintu, hendak membukakan pintu untuknya. Setelah pintu terbuka, Dehan mematung melihatku penampilanku.

________________

Bersambung

•••••••••••••••••••••

Nama yang Hilang || Mark Lee [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang