Bab 29 (Kalung dan Kenangan)

34 23 0
                                    

Setelah kejadian tadi, Dehan mendiamiku untuk pertama kalinya. Aku tak tahu harus berbuat apa. Sepertinya dia benar-benar marah karena aku pergi tanpa menunggunya terlebih dahulu.

Aku mengembuskan napas gusar. Saat mencoba mengajaknya berbicara, Dehan hanya menggeleng atau mengangguk tanpa mengeluarkan suara. Sekesal itukah Dehan? Apa yang harus kulakukan agar ia tak lagi marah?

Malam tiba. Aku baru saja selesai membersihkan diri. Sambil  memakai kaus putih kebesaran, aku menatap pantulan diriku di depan cermin. Tak ada ekspresi ceria di dalam sana. Aku mengembuskan napas gusar mengingat sikap dingin Dehan saat makan malam tadi. Biasanya dia akan menyuapiku saat makan, tapi tadi untuk menatapku saja ia terlihat enggan.

Aku keluar dari kamar, melihat sekitar untuk mencari keberadaan Dehan. Namun, aku tak bisa menemukannya. Apa karena marah Dehan sampai pergi dari rumah? Pria itu benar-benar! Dehan memang jarang marah, tapi sekali marah aku tak tahu harus berbuat apa.

Tak lama kemudian terdengar suara petikan gitar dari belakang rumah. Aku mendekat, membuka sedikit pintu untuk melihat siapa itu.

Seorang pria dengan kaus biru tua duduk di atas dipan membelakangiku sambil memainkan gitar. Aku terdiam. Melodi Dehan terdengar menyakitkan. Dia marah atau sedang terluka? Jika terluka, apa aku alasannya? Aku berjalan pelan dengan mata yang sedikit memelas. Setelah sampai, aku langsung memeluknya dari belakang hingga ia sedikit tersentak.

"Maaf ...," lirihku.

Beberapa detik Dehan belum mengatakan sesuatu.

"Maaf," lirihku lagi, tapi Dehan masih belum mengatakan sesuatu.

"Dehaaan," aku mulai menangis, "jangan mendiamiku seperti ini. Apa yang harus kulakukan agar kau berhenti marah? Apa aku harus pergi? Aku akan pergi, tapi jangan marah ...."

"Adira!"

Dehan berbalik. Menggenggam kedua tanganku dengan erat.

"Jangan berbicara seperti itu. Aku bisa tambah marah kalau kau sampai pergi," lanjutnya.

"Lalu, apa yang harus kulakukan agar kau berhenti marah?" Aku bertanya dengan mata yang memerah siap mengeluarkan air mata.

"Tetap di sini. Bersamaku." Aku tertegun sejenak melihat sorot mata itu. Sorot mata penuh harap dan seperti ... ada ketakutan di dalam sana. Apa yang Dehan takutkan? Kehilanganku?

"Apa kau takut aku pergi jika semua ingatanku kembali?" Dehan langsung memelukku dengan erat.

"Iya, aku takut, Adira. Sangat takut," lirihnya.

Aku balas memeluknya. "Aku juga ingin tetap bersamamu, Dehan." Dehan mengurai pelukan, menatapku dalam, lalu menghapus air mataku dengan kedua ibu jarinya.

"Jangan menangis," katanya.

"Tolong jangan marah padaku," lirihku dengan air mata yang kembali jatuh.

"Asal kau berjanji. Kau tidak akan pergi tanpa seizinku." Aku mengangguk cepat. Kembali bersembunyi dalam pelukannya.

Aku lemah ... di hadapannya.

***

"Apa yang sedang kau tatap?" Aku menoleh kepada pria yang tak ingin melepasku dalam dekapannya. Dia balik menatapku, seraya tersenyum lembut.

"Apa kau lihat bintang paling terang berwarna biru-putih itu?" tanyanya seraya kembali menatap langit. Aku mengangguk. "Bintang itu bernama Vega. Bintang paling terang di rasi bintang Lyra." Aku mengangguk-ngangguk paham dengan mulut yang sedikit terbuka. Aku lalu meringis karena Dehan tiba-tiba mencubit pipiku.

Nama yang Hilang || Mark Lee [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang