Bab 18 (Gaun)

34 17 0
                                    

Aku terbangun, merasakan tangan kananku di genggam oleh seseorang. Ternyata itu adalah Dehan. Ia tidur dengan posisi duduk di samping tempat tidur sambil menenggelamkan wajahnya di antara kedua lengan. Aku pura-pura tidur saat ia berdehem. Aku pikir ia akan bangun, ternyata hanya memperbaiki posisi tidur. Wajah dengan mata yang masih terlelap itu sekarang mengarah kepadaku, hanya berjarak beberapa sentimeter.

Aku mendelik melihat setetes air mata lolos dari matanya yang masih terlelap. Dehan menangis dalam tidurnya dan semua itu karenaku. Apa aku sudah benar-benar jahat kepadanya? Lalu bagaimana dengan Dehan?

Aku hanya ingin pergi agar tak terluka lebih dalam lagi.

"Kau mirip Ibuku."

Apa itu alasan Dehan tak membiarkanku pergi? Karena aku mirip Ibunya? Mungkin benar Dehan memang membutuhkanku. Kehadiranku mengingatkan kepada Ibunya. Kehadiranku menghilangkan kesedihannya dan kehadiran Hanna memberinya kebahagiaan. Sudah seperti paket lengkap, bukan?

Selama ini Dehan sudah banyak membantuku dan bukankah aku harus melakukan sesuatu untuk membalasnya? Dengan tetap di sini. Lukaku mungkin akan bertambah, namun luka Dehan juga perlahan menghilang, bukan? Aku tak boleh hanya memikirkan diri sendiri. Hanya untuk menghilangkan lukaku, luka Dehan kembali tercipta.

Aku menyeka air mata Dehan mengunakan jari telunjuk, lalu berucap, "Aku akan tetap di sini." Aku mendelik karena Dehan tiba-tiba membuka mata. Baru saja ingin menjauhkan wajah, Dehan tiba-tiba menggenggam tanganku yang masih belum lepas dari wajahnya. Masih dengan posisi kepala dibaringkan di pinggir tempat tidur, Dehan berujar dengan suara berat khas orang bangun tidur. "Aku pegang kata-katamu, Adira, dan aku tidak akan pernah kubiarkanmu pergi dariku." Dehan mulai bangkit, lalu duduk di pinggir tempat tidur. Aku juga melakukan hal yang sama.

Keheningan kembali menyelimuti. Aku menoleh, pandangan Dehan mengarah ke lantai. Entah apa yang sedang ia pikirkan.

"Apa kau tidak akan pergi bekerja?" Aku membuka suara membuat pria dengan mata sayu itu menoleh.

"Tidak," jawabnya.

"Kenapa?" tanyaku.

"Aku takut kau akan pergi lagi." Jawabannya tepat mengarah ke jantungku, membuat mataku kembali berkaca-kaca.

"Maaf," lirihku.

"Sudahlah. Kita lupakan yang semalam terjadi."

Dehan beranjak.

"Aku akan membuat sarapan untukmu." Dehan berjalan mendekati nakas, mengambil piring berisi nasi dan telur di sana, lalu keluar dari kamar.

Bahkan ketika aku membuatnya menangis, ia tetap memperhatikanku. Harusnya aku juga bersikap demikian.

Tidak apa-apa terluka asal orang lain dapat bahagia.

Aku menghampiri Dehan di dapur. Ia memotong sayuran dengan tatapan kosong. Aku terkesiap, berlari mendekat melihat darah yang menetes. Pria itu tanpa sadar hampir memotong jarinya sendiri.

"Apa yang kau lakukan?!" Aku sedikit berteriak. Segera mengambil kotak obat, lalu menutupi lukanya agar darah tak lagi menetes. Aku menatapnya khawatir. Aku baru berniat pergi, tapi Dehan sudah seperti ini. Entah apa yang akan Dehan lakukan jika aku sudah benar-benar meninggalkannya.

Tangisanku membuat Dehan tampak terkejut. "Kenapa kau menangis, Adira?"

"Kau terluka dan semua itu karenaku." Dehan menggeleng cepat, meletakkan kedua telapak tangannya di pipiku, menghapus air mataku menggunakan ibu jarinya.

"Jangan slaahkan dirimu sendiri, Adira. Pasti tanpa sadar aku sudah melakukan kesalahan yang membuatmu berniat pergi."

Tanpa sadar?

***
Aku hendak mencuci piring setelah selesai makan, namun Dehan lagi-lagi melarang. Ia menyuruhku beristirahat padahal dia yang lebih membutuhkannya. Aku tak ingin hanya berdiam diri, lantas mengambil sapu untuk membersikan seluruh rumah dan tentu, lagi-lagi Dehan melarangku. Aku bersikeras ingin melakukannya, hingga akhirnya Dehan pasrah.

Dehan telah selesai mencuci piring, aku juga sudah menyapu bagian rumah yang lainnya. Sekarang kami duduk di depan TV, menonton sebuah acara yang lagi-lagi menurutku tak terlalu menarik. Dari wajah daehan aku tahu iaa juga seperti tak terlalu tertarik dengan acara TV itu. Namun, kami berdua memilih menontonnya untuk sekadar menghabiskan hari tanpa kata. Menonton TV adalah cara terbaik untuk mengalihkan diri dari percakapan yang mungkin bisa menciptakan pertengkaran baru di antara kami.

Aku memeluk erat boneka beruang besar di sampingku, menyandarkan kepala pada sofa, lalu menutup mulut dengan tangan kanan karena menguap. Acara itu benar-benar membosankan.

***
"Adira." Panggilan itu membangunkanku. Saking tidak tertariknya dengan acara itu sampai-sampai aku tertidur.  Aku menengok jam dinding. Ternyata sudah hampir malam.

"Adira." Panggilan Dehan membuatku menoleh. Ada sebuah bingkisan berwarna hijau di pangkuannya.

"Apa itu?" Aku bertanya.

Dehan tersenyum, lalu menyodorkan bingkisan itu. "Kau harus segera bersiap-siap. Kita harus pergi ke suatu tempat." Aku mengerutkan dahi. Dehan sama sekali tak menjawab pertanyaanku. Aku masih belum beranjak dari tempat duduk membuat Dehan menggeleng-gelengkan kepala disertai dengan senyuman tipis. "Kau terlalu banyak berpikir, Adira. Kita harus segera pergi sebelum terlambat." Dehan memaksaku berdiri. Ia mendorong punggungku dengan pelan ke dalam kamar.

Setelah aku berada di dalam, Dehan mengambil daun pintu, lalu menutupnya. Sebelum pintu benar-benar tertutup, Dehan mengatakan sesuatu yang membuatku mengerjapkan mata.

"Jangan berdandan terlalu cantik, Adira."

Ada apa dengannya? Kenapa mengatakan hal seperti itu?

Setelah selesai membersihkan diri, aku membuka bingkisan itu. Isinya sebuah gaun berwarna biru yang panjangnya sampai ke lutut.

"Gaun? Untuk apa Dehan menyuruhku memakainya? Memangnya ia ingin mengajakku ke mana?"

Aku lantas memakai gaun itu. Memoles wajahku dengan riasan tipis dan rambut panjangku kubiarkan berurai. Aku tersenyum tipis melihat pantulan diri di depan cermin. Apa ini benar-benar aku? Ini pertama kalinya aku berdandan seperti ini. Berjalan ke dekat pintu, namun ragu untuk membukanya. Entah apa yang akan Dehan pikirkan setelah melihatku berpenampilan seperti ini. Jujur, aku sedikit malu.

Tok, tok, tok!

Pintu diketuk.

"Adira, apakah sudah selesai? Kita harus segera pergi." Aku menarik napss panjang, hingga akhirnya membuka pintu dengan pelan. Aku berjalan keluar sambil menundukkan kepala. Beberapa menit berlalu, tak ada reaksi padahal Dehan berdiri di hadapanku. Mataku fokus menatap sepatu yang ia gunakan. Sampai akhirnya aku perlahan mengangkat kepala. Mengapa penampilan Dehan yang berbeda dari biasanya? Jas hitam yang ia gunakan membuatnya tambah memesona. Perempuan mana yang tidak akan terpikat kepadanya? Selain baik, ia juga benar-benar tampan.

Dehan menatapku. Wajahnya tak berhenti menerbitkan senyum membuatku jadi kikuk.

"Kau sangat ...."

"Aneh?" Aku memotong ucapannya.  Dehan sedikit membulatkan mata, senyumnya juga sudah menghilang. "Benar, 'kan? Aku terlihat aneh memakai pakaian ini. Apa aku ganti saja?" Dehan menggeleng cepat, lalu berjalan mendekat.

"Kau tak perlu menggantinya. Ayo, kita sudah terlambat." Dehan meraih tanganku, membuatku melingkarkan tangan di lengannya. Aku berusaha melepas, namun Dehan malah membuatnya semakin erat. Sikapnya membuatku susah untuk menyingkirkan perasaan.

___________________

Bersambung

••••••••••••••••••

Nama yang Hilang || Mark Lee [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang