Aku dan Aleena duduk di depan toserba menunggu Dehan membeli sesuatu di dalamnya. Aku menatap Aleena. Ia masih terlihat sedih sejak kejadian tadi. Tak hanya fisik, batinnya juga pasti sangat terluka. Anak mana yang akan baik-baik saja setelah disakiti dan mendengar kata-kata kasar dari orang tuanya?
Meskipun begitu, aku tahu Aleena pasti merasa bersalah atas apa yang menimpa Ayahnya. Dehan memukulnya sampai babak-belur. Aku menghela napas pelan.
"Maaf," ucapku. Aleena mengangkat wajah. "Karena aku, Dehan memukul ayahmu sampai babak-belur."
Aleena menggeleng. "Tidak. Kau tidak salah. Karena kau mencoba menyelamatkanku, Dehan akhirnya melakukan itu. Dari awal aku yang salah. Aku lupa membawa uang dan tidak bisa memberikan apa pun kepada ayah."
"Ayahmu meminta uang darimu?" tanyaku tak percaya.
"Aku anaknya, Adira."
"Tetap saja. Ayahmu tak pantas menyakitimu."
"Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja." Aleena mencoba tersenyum, tapi sorot mata itu tetap saja terlihat pilu.
Aku tahu. Di balik kalimat itu, ada luka yang coba ia sembunyikan. Aku juga sering melakukan itu.
Aku menggenggam tangan Aleena, sebagai isyarat bahwa ia tak sendirian. Aku dan Dehan akan selalu ada saat ia butuh pertolongan.
Dehan kembali. Ia membawa dua botol air mineral dan beberapa lembar plester obat.
"Terima kasih," ucap Aleena saat Dehan menyodorkan sebotol air mineral kepadanya. Dehan mengangguk sekilas, lalu duduk di sampingku. Aku mengambil selembar plester obat, memasangkannya pada dahi Aleena yang berdarah.
"Lain kali jangan diam saja saat ayahmu ingin menyakitimu." Suara Dehan terdengar seperti masih menyimpan kekesalan.
"Tapi, tidak baik melawan orang tua." Jawaban Aleena membuat Dehan mendengus kesal.
"Tapi, setidaknya ada seseorang yang akan membantumu."
Aleena mengernyit heran. "Siapa?"
"Aku."
Kami bertiga menoleh ke asal suara itu. Seorang pria menghampiri meja kami.
"Pak Dokter?"
"Dokter Reyhan?"
Aku dan Aleena bersuara secara bersamaan.
"Aku menghubungi Reyhan dan memberi tahu keadaanmu," ucap Dehan, membuat Aleena tampak khawatir.
Dokter Reyhan mendengus kesal. "Mana yang sakit?"
"Hatinya." Kami bertiga kompak menoleh kepada Dehan. "Apa kau tak lihat dia ketakutan, Reyhan? Kau jangan menatapnya seperti itu." Dokter Reyhan memutar bola mata.
"Aku sedang tak bercanda, Dehan," ucap Dokter Reyhan.
"Aku juga tak bercanda."
Dokter Reyhan pergi setelah berbincang sebentar dengan Dehan. Tak lupa Dokter Reyhan bertanya tentang keadaanku. Tak lupa membawa Aleena bersamanya.
Raut wajah Dokter Reyhan mungkin terlihat kesal saat tahu Aleena diam saja saat Ayahnya menyakitinya, tapi sorot mata itu tidak bisa berbohong. Dokter Reyhan juga menyimpan kekhawatiran.
"Kau tak apa-apa, Adira?" Dehan tiba-tiba menggenggam tanganku. Aku menoleh disertai dengan senyuman lembut kepadanya.
"Selama kau di sampingku, aku akan baik-baik saja," ucapku yang membuatnya ikut tersenyum.
"Kau tidak perlu khawatir soal Aleena. Ada Reyhan yang akan menjaganya." Aku mengangguk paham, memejamkan mata menikmati elusan lembut Dehan di kepalaku. Dia memang selalu bisa memberiku ketenangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nama yang Hilang || Mark Lee [Completed]
Romansa"Siapa namamu?" "Tidak ada." "Bagaimana bisa seseorang di dunia ini tidak memiliki nama?" "Ada." "Siapa?" "Aku." Semua yang ada di alam semesta ini memiliki nama. Kalian setuju, bukan? Tapi, bagaimana jika ada seorang gadis yang hidup tanpa nama? Ap...