Bab 7 (Bunga yang Mati)

87 66 0
                                    

Aku terbangun. Ini pertama kalinya aku merasa nyaman dan hangat ketika bangun dari tidur,, biasanya badan akan terasa sakit dan kedinginan. Sekarang aku tidur di beralaskan kasur dan ditutupi selimut. Nyaman.

Aku berjalan ke arah dapur. Sebelum Dehan pergi, ia mengatakan sudah menyiapkan makanan untukku. Membuka tudung saji, ada mi instan dan sepiring nasi putih. Sesuatu lewat di pikiranku saat hendak memakannya. Bagaimana jika di makanan ini ada racun atau apapun yang membuatku tidak berdaya nantinya? Seperti semacam obat bius misal. Aku lebih baik mati daripada harus menjual diri. Memang tidak baik berburuk sangka, tapi aku hanya ingin waspada.

Aku tidak jadi makan. Kembali menutup tudung saji meskipun merasa sangat lapar. Aku mengambil kain panjang yang tergantung di dekat kulkas. Melilitkan di perut, lalu mengikatnya untuk menahan lapar. Aku sudah biasa melakukannya.

Aku ingin keluar untuk mencari makanan, tetapi Dehan mengatakan aku tidak boleh pergi dari rumah ini sebelum ia kembali. Dia sudah banyak membantuku, setidaknya aku harus melakukan sesuatu untuk membalas kebaikannya.

Aku mengambil sapu untuk membersihkan seluruh rumah dan meletakkan semua barang pada tempat yang seharusnya, seperti baju-baju yang sudah dilipat itu. Dehan menaruhnya di atas TV berukuran kecil. Entah apa yang ada di pikirannya. Ia punya lemari. Kenapa tidak diletakkan di sana? Setelah selesai menyapu, aku langsung mengepel seluruh lantai. Termasuk lantai yang ada di kamar. Rumah ini tidak terlalu luas, jadi aku bisa membersihkannya dengan cepat.

Aku langsung berjalan ke kamar,  mengambil pakaian kotor yang ada di sudut ruangan untuk mencucinya hingga bersih. Aku harus mengeringkannya di mana? Pikirku.

Di dekat dapur ada sebuah pintu. Aku berjalan ke pintu itu sambil menenteng baskom berisi cucian yang harus dikeringkan.

Pintu terbuka, sinar matahari langsung membuatku menyipitkan mata. Hangat, itu yang kurasakan sekarang. Dehan ternyata memiliki kebun kecil di belakang rumah. Ada beberapa jenis sayuran: tomat, cabai, dan wortel, tetapi sebagiannya telah mati. Ya, aku tahu pria itu terlalu sibuk bekerja hingga tidak sempat mengurusnya. Apalagi ia bekerja serabutan. Ada sebuah bangunan kecil di sini. Semacam gudang mungkin. Aku ingin memeriksanya, tapi nanti Dehan tidak suka jika aku melakukannya.

Aku lalu berinisiatif membersihkan kebun itu setelah menjemur pakaian. Mencabut rumput liar dan tanaman yang telah mati. Aku tersenyum tipis, ternyata berkebun rasanya sangat menyenangkan.

"Adira!" Aku berbalik setelah mendengar suara seseorang memanggilku dari dalam rumah. Pintu belakang terbuka. Itu Dehan. Wajahnya terlihat penuh kekhawatiran. Ia menghela napas panjang, lalu berjalan mendekat.

"Aku pikir kau sudah pergi," ucapnya, lalu tersenyum lega. Perlahan ia melihat sekitar, kemudian menatapku dengan penuh tanda tanya. "Apa kau yang melakukan semua ini?" Aku mengangguk lemah, membuatnya kembali menghela napas.

"Kau tidak perlu melakukan semua ini, Adira. Seharusnya kau istirahat," ucapnya.

"Kau sudah menolongku, jadi aku harus membalasnya," ucapku.

"Aku tidak mengharapkan balasan apapun darimu, Adira." Aku kembali mengangkat wajah, menatap netra pekat itu untuk mencari kebohongan di sana. Bagaimana bisa ada seseorang di dunia ini yang tidak mengharapkan balasan dari perbuatan yang dilakukan? Perlahan terbit senyum di wajah itu. Rasanya hangat. Dehan terlihat berbeda dengan orang-orang yang selama ini  kutemui. Tatapannya membuatku nyaman. Bukan seperti tatapan orang-orang yang memandang seperti sampah. Namun, mereka tidak salah. Aku memang sampah. Tidak punya rumah, keluarga, bahkan nama. Juga sering makan makanan sisa dari sampah. Bahkan yang lebih buruknya, aku terkadang mencuri. Sampah. Aku memang sampah.

"Kenapa kau mau membantu sampah sepertiku?"

Dehan mendelik. "Kenapa kau menyebut dirimu sendiri sampah, Adira?"

Nama yang Hilang || Mark Lee [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang