"Adira!"
Aku dan Dehan berbalik. Seorang pria tampak berjalan ke arah kami. Aku menyipitkan mata. Bukankah dia pria yang kutemui sebelumnya?
"Kau Adira, 'kan?" Aku mengangguk. "Ternyata aku tak salah orang. Aku senang bisa bertemu lagi denganmu."
"Lagi?" Dehan bertanya dengan nada heran. Dehan menoleh kepadaku, alisnya menukik seolah bertanya, "Siapa dia?"
Aku tersenyum canggung, kemudian berucap, "Dia Andreas. Beberapa hari yang lalu dia sempat membantuku."
Alis Dehan sedikit tambah menukik, seolah menuntut penjelasan yang lebih dalam. "Membantu apa?" tanyanya.
"Dia membantu menyadarkanku tentang--"
Aku tiba-tiba menggantungkan ucapan, membuat Dehan memandangku penuh tanda tanya, sedangkan Andreas tampak menahan senyum. Aku menggigit bibir bawah. Hampir saja keceplosan memberi tahu bagaimana awal pertemuanku dengan Andreas. Kalau Dehan tahu bahwa Andreas yang membantu menyadarkan tentang perasaanku, aku pasti akan sangat malu.
"Apa dia yang bernama Dehan?" Andreas tiba-tiba bertanya, membuat kami berdua menoleh kepadanya. Setelah aku mengangguk, Andreas mengulurkan tangan. "Senang bertemu denganmu, Dehan. Aku Andreas." Dehan menyambut uluran tangan itu, kemudian mengangguk sekilas. Raut wajah Dehan berubah datar.
"Bagaimana, Adira? Apa dia juga sama?" Aku hanya tersenyum menanggapinya, sedikit malu. "Lebah mana yang tak akan suka dengan bunga yang terlihat indah?"
Dehan tampak kebingungan. "Apa yang kalian berdua bicarakan?" Dehan bertanya dengan nada sedikit ketus. Tatapannya datar, mengarah kepada Andreas.
"Bukan apa-apa," ucapku terbata-bata. Lebih baik Dehan tak tahu soal itu.
"Oh iya, kau juga ke mari untuk melihat bintang? Kau juga suka melihatnya?" tanyaku kepada Andreas.
Pria itu tersenyum, lalu menggeleng. "Adikku yang menyukainya."
"Lalu kenapa kau yang ke mari?" tanyaku.
"Untuk melihat Adikku yang sudah menjadi bintang," jawabnya.
Jawaban Andreas membuatku terdiam. Aku benar-benar lupa. Padahal dia sudah memberitahu bahwa mobil yang dikendarai keluarganya masuk ke jurang. Aku menyesal membuatnya kembali mengingat luka yang coba ia sembuhkan.
"Maaf, aku lupa," lirihku dengan tatapan pilu.
"Tidak apa-apa," katanya disertai gelengan dan senyuman tipis.
Aku refleks memegang perut karena tiba-tiba berbunyi. Aku lapar. Dehan dan Andreas mendelik menatapku. Aku menunduk karena malu.
"Kau lapar, Adira? Apa tadi kau sudah makan di rumah?" tanya Dehan, sedikit khawatir.
"Aku tidak sempat," jawabku sedikit mendongak.
"Pasti karena mengerjakan pekerjaan rumah. Sudah kubilang setelah bangun tidur, kau langsung sarapan, jangan langsung bekerja."
Aku mengembuskan napas. Lagi-lagi Dehan mengomel.
"Aku lupa."
Dehan ingin melanjutkan omelannya, tapi mendengar Andreas membuka suara, ia tidak jadi melakukannya.
"Bagaimana kalau kita cari makan? Sambil mengobrol?" Aku menoleh kepada Dehan mendengar tawaran Andreas, seolah bertanya apakah dia setuju dengan tawaran itu. Entah kenapa aku ragu Dehan akan setuju dengan tawaran itu.
Dehan tiba-tiba menarik tubuhku mendekat. Setelah berdiri di sampingnya, ia menaruh tangan kanannya di pundakku. "Baiklah," katanya yang membuatku mendongak dari samping. "Kau lapar," katanya lagi, lalu mengikuti Andreas yang sedari tadi tampak menahan senyum. Ya Tuhan, rasa maluku bertambah dua kali lipat.
Ternyata di tempat ini juga ada sebuah restoran. Kami bertiga duduk di dekat jendela. Dari sini aku bisa melihat taman yang luas dan sebuah kolam besar di tengahnya. Aku merasa beruntung pernah tinggal di tempat ini meskipun dulu sangat berbeda. Tetap saja ini tempat yang sama. Tempat yang sekarang membuat banyak senyum merekah.
Aku melirik Andreas. Dia tersenyum sambil terus memperhatikanku.
"Apa kau suka tempat ini?" Andreas yang duduk di hadapanku bertanya.
Sambil tersenyum, aku mengangguk. "Dulu tempat ini hanya sebuah gedung tua yang ditinggalkan. Sekarang berubah menjadi tempat yang sangat luar biasa."
Andreas tampak terkejut. "Bagaimana kau tahu?" tanyanya.
"Aku tinggal di sini sebelum bertemu dengan Dehan," jawabku.
Dehan tiba-tiba menyentuh punggung tanganku yang kuletakkan di atas meja. Seperti sengaja memperlihatkannya kepada Andreas. Aku melirik Dehan yang duduk di sampingku. Dia masih menatap Andreas dengan ekspresi datar. Apa memang begitu cara Dehan bertemu dengan orang baru? Tapi, kenapa saat bertemu denganku, ia tidak begitu?
Setelah mendengar jawabanku barusan, Andreas terdiam, tampak berpikir. Dari ekspresi, sepertinya banyak hal yang ingin ia tanyakan.
Makanan yang kami pesan sudah datang. Dehan menyuapiku tanpa menyentuh makanannya terlebih dahulu.
"Aku akan makan sendiri," ucapku setelah menerima satu suapan darinya. Dehan sekilas melirik Andreas, kemudian mengangguk.
Entah mengapa, aku merasa ada yang aneh dengan Dehan. Sekarang dia lebih banyak diam. Apa sedang kurang enak badan?
"Apa kau baik-baik saja?" tanyaku karena dari tadi Dehan hanya memainkan makanannya, tampak tak berselera.
Dehan menghela napas. Menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. "Aku mau pulang, Adira," katanya.
Wajah Dehan tak secerah saat kami baru tiba di tempat ini, wajahnya tampak datar dan tak bersemangat. Sepertinya ia memang benar-benar sakit. Padahal aku ingin mengajaknya berjalan-jalan ke taman sana setelah kami menghabiskan makanan ini.
"Baiklah, tapi tunggu di sini, aku mau ke toilet dulu," ucapku lalu beranjak meninggalkannya.
Aku menyalakan keran, mencuci tangan, kemudian membasuh wajah sambil melihat ke arah cermin lebar yang ada di hadapan. Aku menoleh ketika dua orang perempuan muda juga masuk ke dalam toilet. Tersenyum sekilas kepada mereka, lalu kembali menatap cermin.
"Apa tadi kau lihat wajah pemilik tempat ini? Wajahnya benar-benar tampan!" ucap perempuan berambut pendek itu kepada temannya.
"Iya, dia seperti karakter yang keluar dari komik. Usianya juga masih muda, bukan? Hidupku pasti akan sangat bahagia kalau dia bisa jadi kekasihku. Tempat ini bahkan didedikasikan untuk Adiknya yang telah meninggal, lalu bagaimana dengan kekasihnya nanti? Pasti akan lebih luar biasa," ucap perempuan yang lain. Dia menyatukan kedua tangan di depan sambil menatap langit-langit, seperti berharap yang dia katakan ingin segera diwujudkan. Sambil tersenyum lebar, dia menatap wajahnya sendiri di dalam cermin.
"Jadi, kau menunggu hari kematianmu sampai dia mendedikasikan sesuatu untukmu?" Perempuan berambut pendek berdecak.
"Tidak seperti itu juga! Tapi, dia harus menjadi kekasihku!"
"Tapi, aku juga menyukainya! Jadi, sekarang kita bersaing?!" Mereka berdua saling melempar pandang tak suka.
Benar kata orang, pertemanan bisa hancur hanya karena sesuatu bernama cinta.
Aku menghela napas, menatap mereka berdua prihatin. Aku ingin mengatakan sesuatu kepada mereka berdua, tapi takut salah ucap. Jadi, aku memilih diam sampai mereka berdua keluar dari toilet dengan kaki yang sedikit dihentakkan.
Memang seberapa tampan pemilik tempat ini? Sampai-sampai dua orang yang awalnya berteman kini bermusuhan hanya karena masing-masing ingin memiliki?
Apa dia lebih tampan dari Dehan?
Aku menggeleng cepat sambil memejamkan mata. Bisa-bisanya aku memikirkan hal seperti itu? Dehan itu tampan. Luar dan dalam. Dia punya hati yang luar biasa istimewa. Dan aku beruntung memilikinya.
Lagi pula sejak kapan aku memandang seseorang hanya dari parasnya saja?
____________________
Bersambung
••••••••••••••••••••
KAMU SEDANG MEMBACA
Nama yang Hilang || Mark Lee [Completed]
Romance"Siapa namamu?" "Tidak ada." "Bagaimana bisa seseorang di dunia ini tidak memiliki nama?" "Ada." "Siapa?" "Aku." Semua yang ada di alam semesta ini memiliki nama. Kalian setuju, bukan? Tapi, bagaimana jika ada seorang gadis yang hidup tanpa nama? Ap...