Bab 10 (Semangka)

69 47 0
                                    

Aku duduk di atas dipan. Menyangga tubuh dengan kedua tangan ke belakang. Memainkan kedua kaki dengan menendangnya ke atas dan ke bawah secara bergantian. Sebuah sepoian angin menerpa wajah, membuatku otomatis memejamkan mata. Terasa sangat segar dan menenangkan. Apalagi ditambah sinar hangat mentari pagi, terasa dua kali lebih nikmat.

"Adira." Aku otomatis membuka mata ketika mendengar suara dari laki-laki yang sudah sebulan lebih aku tinggal bersamanya. Seseorang yang membuatku selalu merasa nyaman dan aman.

Dehan.

Ia berjalan ke arahku sambil membawa sebuah semangka besar. Senyum tak lepas dari bibirnya. Jujur, ia terlihat lebih tampan saat tersenyum. Apalagi saat ia tertawa hanya karena hal kecil, membuatnya terlihat lebih unik dan menarik.

"Kau membawa semangka lagi?" Dehan mengangguk sambil tersenyum lebar. "Sepertinya kau sangat suka semangka."

"Iya, aku sangat suka semangka, Adira. Aku bahkan pernah makan nasi dengan semangka." Aku terkejut sekaligus sedikit bingung dengan ucapan Dehan.

"Nasi dan semangka? Bagaimana maksudmu? Kau makan nasi sampai habis, lalu makan semangka?" Dehan menggeleng membuatku semakin kebingungan.

"Aku makan nasi dicampur semangka."

"Semangka kau jadikan lauk?"

Dehan mengangguk. "Iya, aku mengambil nasi, daging, semangka, lalu kumasukkan secara bersamaan ke mulutku." Aku langsung tertawa mendengar penjelasannya.

"Bagaimana rasanya?" tanyaku.

"Lumayan. Apa kau ingin mencobanya, Adira?" Aku otomatis menggeleng dengan cepat.

"Tidak. Aku memang suka memakan semangka, tapi tidak seakut dirimu." Dehan tertawa. Laki-laki itu mulai memotong semangka menggunakan pisau yang ia bawa. Semangkanya terlihat sangat segar dan merah. Buahnya terlihat sangat manis. Dehan memberikan sebuah potongan besar untukku.

"Kau harus makan banyak buah supaya cepat sembuh."

Aku memakan semangka dengan satu gigitan besar. Dehan tertawa melihat airnya keluar dari mulutku. Dehan mendekat, membersihkan mulutku menggunakan lengan hoodie-nya. "Kau terlihat seperti anak kecil, Adira," ujarnya.

"Apa aku terlihat kekanak-kanakan?"

"Bukan kekanak-kanakan, tapi lucu seperti anak kecil." Aku mengangguk pelan. Sebenarnya dari awal sudah tahu maksud dari perkataan. Hanya saja aku suka melihat wajah tegangnya, terlihat sangat menggemaskan.

"Selain semangka, apa yang lebih kau suka?"

"Seseorang. Seorang perempuan. Aku sangat menyukai juga sangat menyayanginya. Aku bahkan pernah mengatakan duniaku bisa saja hancur karena kepergiannya."

Aku terdiam. Dehan begitu menyayangi seseorang. Seorang perempuan. Apa yang Dehan maksud itu Ibunya? Bisa saja. Dehan bahkan pernah mengatakan bahwa semangat hidupnya seperti hilang setelah ibunya meninggal.

"Apa aku boleh menanam semangka?" tanyaku membuat Dehan kembali menoleh.

"Kenapa kau ingin menanam semangka, Adira?"

"Karena memakan semangka dari hasil menanam sendiri, rasanya pasti akan lebih berbeda."

"Berbeda bagaimana, Adira?"

"Kita menanam, menyiramnya setiap hari, merawatnya, lalu setelah beberapa waktu berlalu, akhirnya kita bisa memanennya. Merasakan hasil setelah perjuangan panjang itu hal yang luar biasa." Dehan tersenyum.

"Baiklah, kita akan menanam semangka bersama," katanya.

Sebenarnya alasan utama aku ingin menanam semangka adalah karena Dehan. Karena senyumnya. Aku ingin membuatnya tersenyum dengan memberikan semangka yang kutanam sendiri. Karena sekarang, hanya itu bisa kulakukan untuk membalas semua yang telah ia lakukan untukku.

"Nanti aku akan pergi membeli bibit agar kita bisa menanam semangka."

"Boleh aku ikut?" Dehan terlihat berpikir.

"Boleh. Aku juga ingin membawamu ke suatu tempat."

"Ke suatu tempat?"

"Ke tempat yang akan kau sukai nantinya. Oh iya, bagaimana kepalamu? Apa masih sering sakit?"

"Hanya sakit saat aku berusaha memikirkan mimpi itu."

"Apa kau memimpikan hal yang sama lagi?" Aku mengangguk.

"Jangan terlalu memikirkannya, Adira. Aku tak ingin kau merasakan sakit. Aku akan bertanya kepada Reyhan, cara lain agar kau bisa kembali mengingat masa lalumu tanpa harus berusaha keras memikirkannya." Dehan tersenyum lembut. Namun, dari sorot matanya, aku tahu, ia tetap menyimpan kekhawatiran kepadaku.

Aku ingat saat kami tak sengaja tertidur di atas dipan di belakang rumah. Saat kami berusaha menghitung jumlah bintang di langit, meskipun itu terdengar mustahil. Dalam mimpi, aku melihat seorang anak perempuan lagi. Dia sedang bermain bola dengan seorang anak laki-laki di depan sebuah rumah mewah. Mereka berdua berlari ke sana ke mari dan tak menyadari sebuah dahan pohon akan menimpa mereka. Saat mereka tertawa dengan keras, dahan pohon itu terlepas dan jatuh ke bawah. Sebelum menimpa mereka berdua, anak laki-laki itu mendorong anak perempuan menjauh hingga hanya ia yang tertimpa dahan pohon. Darah segar menetes dari kepalanya dan ada sebuah goresan kecil di dekat matanya. Goresan kecil itu juga mengeluarkan darah. Ia langsung tak sadarkan diri, membuat anak perempuan menangis ketakutan.

Dehan membangunkanku. Katanya ia khawatir karena aku menangis saat tidur. Awalnya aku tak ingin menceritakan tentang mimpi-mimpi yang kualami, tapi lagi-lagi Dehan mengatakan kalau aku benar-benar menganggapnya keluarga, maka aku harus menceritakan mimpi itu kepadanya.

Setelah menceritakannya, Dehan mengatakan bisa jadi mimpi-mimpi itu adalah potongan masa laluku. Namun, ia juga tidak bisa memastikannya. Dehan mengatakan akan membantu agar ingatanku bisa cepat pulih.

Namun, aku takut. Takut mengetahui bagaimana masa laluku. Apakah kehidupanku bahagia atau punya luka yang lebih dalam saat sebelum aku bertemu dengan Dehan? Hidup dalam kesendirian tanpa keluarga dan nama. Apakah masa laluku lebih menyedihkan dari itu? Entahlah.

***

"Apa sudah lengkap? Tidak ada yang kita lupa beli, bukan?" Dehan bertanya.

Aku membuka kantong belanja, memeriksa sebentar, kemudian menjawab, "Iya, sepertinya sudah lengkap. Ayo, kita pulang. Aku tidak sabar ingin menanam bibit ini," ucapku antusias.

"Sebelum pulang ke rumah, aku ingin mengajakmu ke suatu tempat, Adira," kata Dehan.

"Ke mana?" tanyaku.

Dehan tak menjawab. Laki-laki itu hanya memintaku untuk mengikutinya. Kami berjalan ke halte terdekat, menaiki bus yang membawa kami entah ke mana. Sepanjang perjalanan Dehan sama sekali tidak berbicara. Hanya saja  senyum yang tak pernah hilang dari bibirnya.

Bus berhenti. Seorang wanita tua menaiki bus. Aku melihat sekitar, tak ada kursi yang tersisa. Saat aku hendak berdiri untuk membiarkan Nenek itu duduk, Dehan menahan.

"Kau duduk saja, Adira. Biar aku yang berdiri." Dehan langsung berdiri, membantu Nenek itu untuk duduk di kursinya. Aku mendongak. Dehan kini berdiri dengan badan yang menjulang tinggi di dekatku. Ia menatap ke depan. Ke arah bus berjalan. Aku tak tahu ia akan membawaku ke mana. Tapi, satu yang pasti, ia ingin membawaku ke tempat di mana aku bisa menerbitkan senyuman. Aku yakin itu.

Dehan. Ia selalu membuat orang lain tersenyum. Bahkan dengan perhatian kecilnya, orang lain dengan mudah merasa nyaman. Banyak hal darinya yang bisa membuat orang lain dengan mudah jatuh cinta.

Aku langsung mengalihkan pandangan kepada Nenek tua di sampingku saat Dehan menangkap basah diriku sedang memperhatikannya. Aku mengajak Nenek itu mengobrol berbagai hal, agar apa pun yang ada di pikiran Dehan tentangku hilang. Aku tak ingin ia salah paham.

_______________________

Bersambung

••••••••••••••••••••••••

Nama yang Hilang || Mark Lee [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang