"Ada apa?" tanyaku. Dehan hanya tersenyum. Setelah sadar pakaian yang kupakai dengan Dehan sama, aku langsung menunduk malu. Hoodie hitam dengan tulisan Teddy di depannya. Dehan memang punya banyak pakaian yang mirip, salah satunya yang kami gunakan.
"Sepertinya kita harus membeli bajunya yang sama dan di depan baju itu kita tulis 'Dehanku dan Adiraku.'" Aku tertawa, lalu memukul lengannya pelan. Selain membahagiakan, ada sisi yang merepotkan setelah Dehan mengutarakan perasaan. Aku kesulitan menahan senyum saat mendengar ucapannya. Sekarang Dehan sedikit berlebihan.
"Kenapa kita harus punya baju seperti itu?" tanyaku.
"Agar kita benar-benar terlihat seperti sepasang kekasih," jawabnya.
"Bukannya kita memang sepasang kekasih?" Aku langsung menutup mulut setelah menyadari apa yang baru saja kukatakan. Dehan tersenyum, menatapku dengan tatapan yang menurutku sangat menjengkelkan. Dia memicingkan mata sambil tersenyum jahil.
Dehan merangkulku, mengajak duduk di sofa untuk menikmati mi yang sudah ia buat sambil menonton drama.
"Kenapa mi-nya hanya satu?" tanyaku karena jelas-jelas tadi Dehan mengatakan akan membuat dua mi.
"Aku membuat dua bungkus, tapi kuletakkan dalam satu mangkuk," jawabnya.
"Kenapa?"
"Sepertinya sesekali aku harus mengajakmu menonton drama romantis. Aku terlalu sering mengajakmu menonton drama aksi sampai-sampai kau tak paham hal-hal seperti ini." Dehan menghela napas.
"Aku jarang melihat hal-hal romantis, lebih sering melihat darah." Tubuhku seketika menegang setelah menyebut kata itu. Garpu yang kupegang bahkan sampai jatuh.
Dehan langsung memeluk, berusaha menenangkan. "Tidak apa-apa, Adira. Aku ada di sini," katanya sambil mengusap punggungku pelan.
Aku memang sering menonton drama aksi, tapi saat adegan kekerasan, Dehan langsung menyuruhku menutup mata. Awalnya Dehan tidak mengizinkanku menonton drama aksi bersamanya karena ia tahu bahwa aku takut dengan cairan merah yang kental itu dan drama aksi tak tahu dari hal-hal seperti itu.
Aku ingin menonton drama aksi karena mungkin fobiaku akan perlahan menghilang bila aku terbiasa dengan hal-hal seperti itu meskipun hanya melalui layar kaca. Perlahan, tapi pasti. Aku yakin itu.
"Aaa?" Dehan membuka mulut, meletakkan garpu berisi mi di hadapanku. Ia hendak menyuapiku.
Aku lantas menggeleng. "Aku akan makan sendiri. Aku bukan bayi, Dehan," ucapku berusaha mengambil garpu dari tangannya, tapi Dehan bersikeras ingin melakukannya.
"Menurutku kau lebih menggemaskan dari seorang bayi, jadi aku harus menyuapimu. Kau bahkan jauh lebih menggemaskan dari Reyhan."
"Dokter Reyhan?" tanyaku heran.
"Reyhan memang suka marah, tapi dia tetap saja terlihat sangat menggemaskan. Aku iri dengan wajahnya yang terlihat seperti bayi itu."
"Tak perlu seperti bayi untuk terlihat menggemaskan. Menurutku kumis tipismu juga terlihat menggemaskan." Dehan langsung tersenyum, sedangkan aku menunduk malu. Lagi-lagi aku keceplosan.
"Bayi, ayo, makan," ucap Dehan membuatku pasrah menerima suapannya. Saat ingin minum, Dehan juga membantu memegangkan gelas. Setelah itu ia mengusap kepalaku seraya berkata, "Anak gadis harus makan banyak supaya cepat besar."
Aku benar-benar pasrah menghadapi Dehan. Mentang-mentang dia lebih tinggi, aku diperlakukan seperti ini. Namun, aku tetap merasa senang. Aku seperti seorang bayi yang mendapat kasih sayang dari orang tua.
Aku yang terbiasa sendiri, akhirnya bisa menemukan seseorang yang mencintaiku tanpa pamrih.
Satu jam berlalu. Aku mematikan TV, kemudian menoleh kepada Dehan. Ia tertidur dengan posisi duduk. Aku terpesona melihat wajahnya yang tampak begitu lugu. Ia masih terlihat tampan meskipun sedang tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nama yang Hilang || Mark Lee [Completed]
Romance"Siapa namamu?" "Tidak ada." "Bagaimana bisa seseorang di dunia ini tidak memiliki nama?" "Ada." "Siapa?" "Aku." Semua yang ada di alam semesta ini memiliki nama. Kalian setuju, bukan? Tapi, bagaimana jika ada seorang gadis yang hidup tanpa nama? Ap...