Kami sudah sampai di rumah Dehan. Pria itu langsung menuju dapur membawa bahan masakan yang kami beli tadi. Kami? Lebih tepatnya hanya Dehan. Semua uang yang keluar hari ini adalah uangnya. Aku sama sekali tidak punya uang sepeser pun.
Dehan kembali dari dapur, membawa dua botol minuman rasa jeruk, dan menaruhnya di atas meja.
"Apa aku benar-benar boleh tinggal di sini?"
"Tentu saja, Adira."
"Kenapa kau begitu baik kepadaku? Padahal aku bukan siapa-siapa untukmu."
"Bukan siapa-siapa? Tapi, kau ...." Dehan menggantungkan ucapannya. Menatapku dengan sorot mata yang sulit kuartikan. "Aku sudah menganggapmu sebagai keluargaku sendiri."
"Apa karena kasihan?" tanyaku mencoba memastikan. Aku benar-benar ingin tahu alasan sebenarnya ia mau membantuku tanpa meminta balasan.
"Bukan. Namun, sejak aku melihatmu terluka di malam itu, aku langsung berjanji pada diriku sendiri untuk selalu menjagamu."
"Jadi, benar ... karena kasihan?"
"Bukan, tapi karena rasa ...." Lagi-lagi Dehan menggantungkan ucapannya.
"Rasa apa?"
"Rasa sayang."
Deg!
Dehan menatapku lekat. Tak berapa lama terbit senyum di wajah tampan itu. "Rasa sayang dari seorang kakak untuk adiknya, Adira." Aku yang awalnya termangu, sekarang menerbitkan senyum. Sempat tegang mendengar Dehan mengatakan hal seperti itu. Kupikir sebagai seorang wanita, ternyata hanya seorang adik di matanya.
"Adira, sekarang kamar itu milikmu," ucapnya, menunjuk kamar yang kutempati tidur semalam.
"Lalu kau tidur di mana?"
"Aku akan tidur di sini." Dehan menepuk sofa yang kami duduki. "Selama ini aku jarang tidur di kamar, lebih sering di sini."
"Apa kau bersungguh-sungguh?" tanyaku membuat Dehan menghela napas.
"Iya, Adira. Aku bersungguh-sungguh," ucapnya, meyakinkanku.
***
Aku membuka mata. Menatap boneka beruang besar di sampingku, lalu memeluknya dengan erat. Jadi, begini rasanya memeluk boneka. Lembut dan hangat. Dulu aku hanya bisa memeluk tas yang warnanya sudah memudar, tapi tetap saja tas itu adalah barang paling kusayang. Tas itu satu-satunya yang menghubungkanku dengan masa lalu. Aku beralih menatap tas yang kini tergantung di samping lemari milik Dehan.Aku membuka pintu kamar, menghampiri Dehan yang sedang memasak sesuatu di dapur. Pria itu terlihat cekatan memotong sayuran.
"Kau sedang memasak apa?" Dehan menghentikan aktivitasnya. Beralih menatapku dengan tatapan lembutnya. Senyum selalu saja menghiasi wajah manis itu.
"Bagaimana punggungmu? Apa masih sakit?" tanyanya, lalu kembali memotong sayuran.
"Sudah tak terlalu sakit, tapi sekarang aku baik-baik saja. Terima kasih sudah membantuku." Dehan kembali menghentikan aktivitasnya. Kembali menatapku sambil menghela napas.
"Kita keluarga, Adira. Tak perlu mengucapkan terima kasih."
"Tapi, kau sudah sangat baik. Tetap saja aku harus mengucapkan terima kasih."
Dehan menatapku lekat. "Sudah kubilang aku melakukan itu karena menyayangimu, Adira."
Iya, aku tahu. Kau menyayangiku sebagai seorang adik, bukan? Pikirku.
Aku mendekat, berdiri di sampingnya, lalu mengambil pisau yang tadi dia gunakan. "Apa yang ingin kau lakukan?" Dehan bertanya.
"Membantumu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nama yang Hilang || Mark Lee [Completed]
Romance"Siapa namamu?" "Tidak ada." "Bagaimana bisa seseorang di dunia ini tidak memiliki nama?" "Ada." "Siapa?" "Aku." Semua yang ada di alam semesta ini memiliki nama. Kalian setuju, bukan? Tapi, bagaimana jika ada seorang gadis yang hidup tanpa nama? Ap...