Bab 14 (Sebuah Bekas)

42 24 0
                                    

Dalam keadaan lampu yang temaram, aku duduk sendiri di depan TV. Menonton sebuah acara yang menurutku tak terlalu menarik. Namun, aku harus melakukannya agar tidak mudah terlelap. Aku ingin menunggu Dehan pulang.

Aku kembali menutup mulut dengan tangan kanan setelah menguap yang kesekian kali. Aku melihat jam dinding yang berada di atas TV. Sudah hampir tengah malam. Namun, Dehan belum juga pulang. Sesaat sebelum pergi, Dehan sudah meminta agar aku tak menunggunya. Namun, entah mengapa aku merasa sedikit gelisah. Seperti ada sesuatu yang terjadi kepada Dehan.

Aku berharap Dehan pulang dengan selamat.

Aku menoleh kala mendengar suara kunci diputar dari luar. Itu pasti Dehan. Ia selalu membawa kunci cadangan karena tak ingin membangunkanku hanya untuk membukakan pintu untuknya.

Pintu terbuka. Laki-laki berbadan tinggi itu menghampiriku. Raut wajahnya terlihat sangat kelelahan.

"Kenapa kau belum tidur, Adira?" tanyanya dengan nada pelan.

"Aku menunggumu."

"Aku sudah mengatakan untuk tidak menungguku, bukan? Kau pasti sangat mengantuk sekarang."

"Ada TV yang membantuku tetap terjaga." Dehan menoleh ke arah TV, lalu kembali memusatkan pandangan kepadaku. Ia tersenyum tipis hingga nyaris tak terlihat.

"Tidurlah. Aku mau mandi dulu," ucapnya.

"Apa kau mau aku menyiapkan air hangat untukmu?" Aku menawarkan. Laki-laki itu sudah bekerja keras seharian. Ditambah aku yang kini menjadi bebannya. Dia pasti sangat kelelahan.

"Kau tidur saja, Adira. Biar aku yang melakukannya."  Saat Dehan melewatiku, ada aroma yang berbeda darinya. Seperti bau parfum seorang wanita. Aku menatap punggung lebar itu. Apa ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku?

Pagi.

Dehan sudah tak ada di rumah lagi. Entah mengapa aku merasa akhir-akhir ini Dehan sedikit berubah. Tepatnya setelah ia kembali bertemu dengan perempuan dari masa lalunya, Hanna.

Aku berjalan ke belakang rumah untuk menyiram tanaman. Setelah selesai, langsung duduk di atas dipan hendak beristirahat. Aku menoleh pada keranjang di sampingku. Keranjang berisi bibit yang aku dan Dehan beli waktu itu. Pagi ini aku ingin menanamnya, tapi Dehan ingin kami melakukannya bersama. Aku menghela napas. Bagaimana kami bisa melakukannya bersama jika Dehan akhir-akhir ini terlalu sibuk bekerja?

Aku mulai berbaring di atas dipan. Menatap langit biru dengan iringan kicauan burung. Entah mengapa tiba-tiba aku rindu momen bersama Dehan di sini. Membicarakan banyak hal, termasuk membicarakan langit. Dehan punya pengetahuan tentang Astronomi. Dehan pernah mengatakan kepadaku bahwa ia sangat ingin menjadi astronot. Namun, cita-cita itu tak tercapai karena ia tak punya biaya dan harus mengurus Ibunya yang sakit. Laki-laki itu sangat menyukai bintang. Itu sebabnya ia sangat ingin menjadi seorang astronot.

"Izinkan aku menjadi bintang yang bersinar untukmu."

Aku tersenyum tipis kala mengingat perkataanku kepada Dehan malam itu. Entah bagaimana kalimat itu dengan mudah keluar dari mulutku, tak bisa kutahan sehingga jadi malu dibuatnya. Namun, setelah melihat senyuman Dehan, aku jadi lega telah mengatakannya.

Aku ingin selalu bersama dengan Dehan. Menyemangati dan selalu memberinya dukungan. Namun, penyemangat Dehan telah kembali. Jadi mungkin, aku sudah tak dibutuhkan lagi. Apa aku harus pergi?

Sepoian angin dan kicauan burung tanpa sadar membuatku terlelap.

Seorang anak perempuan duduk sendirian di dekat kolam renang. Ia memegang sebuah bola, melempar-lemparkannya ke udara. Sampai suatu waktu, bola itu dilempar terlalu jauh hingga ia tak bisa menangkapnya lagi. Bola itu bergelinding sampai masuk ke dalam air.

Anak perempuan itu memanggil-manggil seseorang, meminta untuk mengambilkan bolanya dari dalam air. Namun, tak ada yang datang. Ia akhirnya berjalan ke pinggir kolam, berusaha menggapai bola itu. Sampai akhirnya ia kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke dalam air. Kolam itu cukup dalam dan ia tak bisa berenang. Ia menangis sambil berteriak meminta bantuan. Saat kehabisan tenaga dan sudah tak sanggup berteriak, samar-samar terlihat seseorang berlari ke arahnya dan langsung melompat ke dalam air. Seseorang itu berusaha menggapai tangannya, mendekapnya, lalu membawanya ke pinggir kolam renang. Mereka berdua berhasil keluar dari air.

"Fafan," lirih anak perempuan itu sambil mendekap orang yang telah menyelamatkannya. Anak laki-laki yang usianya mungkin sekitar sepuluh tahun itu membalas dekapannya, berusaha untuk menenangkannya.

"Fafan, aku takut." Anak perempuan itu sesegukan.

"Jangan takut. Aku akan selalu menjagamu. Jangan takut, Dei"

Aku terbangun. Mimpi itu lagi. Aku sangat yakin anak perempuan itu adalah aku. Dehan juga mengatakan demikian. Bisa jadi itu adalah ingatanku di masa lalu. Anak laki-laki bernama Fafan itu pasti sangat dekat denganku. Dia seorang teman yang selalu menjagaku.

Jam sudah menunjukkan pukul 14:00. Namun, Dehan masih belum pulang. Aku memasuki kamar mandi. Banyak pakaian kotor yang harus kucuci. Aku harus segera mencucinya karena saat Dehan kembali, ia pasti tidak akan membiarkanku melakukannya. 

Saat tengah fokus memilah pakaian, mataku terfokus pada baju yang Dehan pakai semalam. Ada sebuah bekas lipstik di bagian dada. Dari mana bekas lipstik ini? Apa dari Hanna? Apa semalam mereka melakukan sesuatu? Aroma baju ini juga seperti tidak asing. Aku baru ingat, aromanya sama persis dengan aroma parfum yang Hanna gunakan saat datang ke rumah. Kepalaku seketika dipenuhi pikiran buruk tentang Dehan.

Tanpa sadar air mataku menetes. Kubuang baju itu ke sembarang arah, dengan langkah gontai berusaha berjalan ke luar rumah sambil memegang dada yang terasa sangat sesak.

Entah ada apa dengan diriku. Aku marah sekaligus merasa sedih. Bayangan kebersamaan Dehan dan Hanna memenuhi pikiranku.

Aku harus pergi ke tempat itu untuk menenangkan diri.

Aku berusaha berlari ke luar rumah. Tak peduli Dehan akan mencariku atau tidak. Untuk sejenak aku hanya ingin melupakan semua hal membuatku hatiku terasa sakit.

Di sebuah pertigaan ada dua perempuan dan seorang laki-laki. Pria itu memegang erat tangan salah seorang perempuan dengan tangan kanannya, seakan tak ingin meninggalkannya, sedangkan tangan kirinya digunakan menunjuk perempuan yang lain tepat di depan wajahnya.

"Aku tak pernah mencintaimu. Selama ini aku hanya menganggapmu sebagai pelampiasan. Setelah dia kembali, aku tak membutuhkanmu lagi!" teriak laki-laki itu tepat di depan wajah perempuan di depannya. Perempuan itu menangis. Namun, laki-laki itu tampak tak peduli, sedangkan perempuan yang tangannya digenggam erat oleh si laki-laki hanya berdiam diri. Dari ekspresi ia juga terlihat tak peduli.

Mereka berdua pergi, meninggalkan perempuan itu dengan punggung yang bergetar. Isakannya terdengar semakin jelas saat aku mendekat.

"Apa kau tidak apa-apa?" Pertanyaanku memang terdengar bodoh. Aku sudah tahu ia tak baik-baik saja, tapi masih bertanya keadaannya. Dia mengangkat kepala, menghapus air mata dengan kasar, lalu pergi begitu saja tanpa menjawab pertanyaanku.

Aku menatap pilu punggung yang semakin menjauh itu. Melihatnya, seperti melihat diriku sendiri. Aku takut Dehan akan mengatakan hal yang sama kepadaku seperti yang laki-laki tadi katakan.

"Setelah dia kembali, aku tak membutuhkanmu lagi."

----------------------

Bersambung

••••••••••••••••••••••••••

Nama yang Hilang || Mark Lee [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang