Bab 30 Final (Dandelion)

69 28 3
                                    

Dehan keluar dari sebuah restoran lewat pintu belakang. Pekerjaannya telah selesai dan akan langsung pulang ke rumah setelah membeli beberapa bahan masakan. Ia berniat membuat masakan spesial untuk Adira. Ketika gadis itu memuji masakannya, Dehan bahagia tak terkira.

"Apa kau tahu, Adira? Dulu sebelum bekerja di restoran, aku sangat buruk dalam memasak. Apalagi memasak telur, itu kelemahan terbesarku. Sewaktu masih di sekolah menengah, aku pernah menjenguk Reyhan karena dia sedang sakit dengan membawakan masakan buatanku. Baru satu suap, dia langsung memuntahkan dan marah-marah. Katanya aku datang bukan untuk menjenguk, tapi untuk membunuhnya." Adira langsung tertawa setelah Dehan mengatakan itu. "Reyhan memang tak memiliki tenaga karena sedang sakit, tapi untuk urusan mengomel, itu pengecualian," lanjut Dehan lagi.

"Aku belum pernah melihat Dokter Reyhan mengomel."

"Kau harus melihatnya, Adira. Dia terlihat sangat menggemaskan." Adira tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepala.

Dehan tersenyum tipis kala mengingat kejadian itu. Dehan memang tipe orang yang mudah gemas ke orang lain. Gemas ke Adira? Tak usah ditanya. Entah sudah berapa kali pipinya jadi korban karena dicubit.

Dehan berjalan ke depan, tapi pandangannya mengarah ke dalam keranjang berisi bahan masakan. Apa ada yang kurang? Pikirnya.

Dehan tak menyadari ada seorang pria yang berjalan berlawanan arah dengannya hingga akhirnya mereka saling bertabrakan.

Pria itu terjatuh dengan posisi duduk hingga kalung yang ia sembunyikan di balik baju keluar; Dehan juga terjatuh sehingga bahan masakan yang ia beli ikut tercecer.

"Maaf, maaf. Tadi aku tak melihat jalan. Apa kau baik-baik saja?" Dehan bertanya, membantu pria itu berdiri tanpa mengumpulkan belanjaannya terlebih dahulu.

Pria yang ia tabrak juga ikut meminta maaf, lalu membantu Dehan mengumpulkan belanjaannya yang berserakan. Pria itu mendongak, sedikit terkejut melihat Dehan di hadapannya.

"Kau Dehan, ‘kan?" Dehan tampak mengingat-ngingat sosok di hadapannya. Matanya sedikit melebar.

"Kau Andreas, ‘kan?" Keduanya tersenyum, lalu saling menjabat tangan. "Maaf, karena sudah menabrakmu," ujar Dehan lagi.

"Bagaimana kabarmu? Adira? Apa dia juga baik-baik saja?"

"Kabarku baik. Adira juga baik."

"Apa kalian sudah berhenti bertengkar? Kulihat raut wajahmu kemarin terlihat sedikit kesal." Andreas bertanya dengan hati-hati. Tidak mau jika pria di hadapannya tersinggung.

"Semuanya sudah baik-baik saja," ujar Dehan yang membuat Andreas bernapas lega.

"Pertengkaran memang biasa dalam hubungan." Nada Andreas terdengar sedikit menggoda, membuat Dehan tertawa pelan.

"Kau mau ke mana?" tanya Andreas.

"Ke halte depan. Aku mau segera pulang karena Adira sendirian di rumah. Apa kau mau mampir?"

"Boleh, tapi kita naik mobilku saja. Mobilku terparkir di sana."

Mereka berjalan beriringan. Dehan sesekali melirik Andreas karena penasaran dengan kalung yang dipakainya.

"Ada apa, Dehan?" tanya Andreas menyadari tingkah Dehan.

"Kalungmu. Sepertinya aku pernah melihatnya--"

"Tidak mungkin. Kau pasti salah, Dehan. Kalung ini hanya ada dua di dunia karena dirancang sendiri oleng Ibuku. Satunya untukku dan satunya lagi untuk adikku, Deira."

Dehan menghentikan langkah.

Deira.

Adira pernah menyebut nama itu. Dehan juga langsung ingat itu kalung yang sama dengan yang dimiliki Adira.

Nama yang Hilang || Mark Lee [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang