Sudah hampir satu jam bus membawaku dan Dehan hingga akhirnya berhenti di salah satu halte.
Aku merentangkan kedua tangan, menghirup udara dalam-dalam. Angin laut memang terasa sangat berbeda. Tubuhku yang semula kelelahan akibat perjalanan panjang, kini terasa kembali segar.
Aku dan Dehan membuka alas kaki agar kami lebih mudah berjalan di atas pasir pantai. "Kenapa kau membawaku ke mari?" tanyaku membuat Dehan langsung menoleh.
"Aku sudah bilang akan membantu agar ingatanmu bisa cepat pulih. Kita tak tahu apa saja yang kau lakukan dan ke mana saja kau sebelum ingatanmu hilang. Bisa saja kau dulu sering ke pantai atau ada kenangan penting yang kau buat di tempat seperti ini. Dan dengan kemari, semoga saja kau bisa mengingat sesuatu, tapi ingat, jangan berpikir terlalu keras. Aku tak ingin kau sedikit pun merasa kesakitan."
"Apa yang kau lakukan?" tanyaku saat Dehan mengumpulkan pasir seperti hendak membuat sesuatu.
"Aku ingin membuat istana pasir. Apa kau ingin membantuku membangunnya, Adira?" tanyanya disertai senyuman indah. Aku mengangguk, kemudian mulai membantu membangun istana pasir sesuai arahan Dehan.
Mungkin menurut orang lain yang aku lakukan bersama Dehan terlihat kekanak-kanakan. Tapi, bukankah kebahagiaan tidak memandang usia? Seperti yang kami lakukan sekarang. Kami bahagia hanya dengan melakukan hal kecil seperti ini.
"Istana yang sangat indah," ucapku setelah istana pasir selesai dibuat. Kami berdua saling melempar senyuman, tapi tatapan Dehan, seperti ada sedikit kesedihan di sana.
"Maaf, aku belum bisa membuatkan istana seindah ini untukmu. Rumahku kecil. Pasti membuatmu merasa sedikit tidak nya--"
"Tidak nyaman? Apa maksudmu? Aku selalu merasa nyaman tinggal di rumahmu. Rumahmu bahkan jauh lebih baik dari tempat tinggalku dulu," ucapku, agar Dehan tahu, semua yang ia miliki dan apa pun yang ia lakukan lebih dari cukup untuk membuatku bahagia.
Bahkan sekarang, aku merasa tidak akan bisa melakukan apa-apa tanpanya. Padahal aku bukan tipe orang yang suka bergantung pada orang lain, tapi dengan Dehan berbeda. Ia seperti sudah menjadi bagian dari diriku.
Untuk pertama kalinya, aku menggenggam tangan Dehan. Tangan yang selalu membantu dan mengelus kepalaku untuk memberikan ketenangan. Dehan menatapku tanpa kata, tapi dari wajah, ia terlihat merona. Aku berdiri, mengajaknya berjalan di pinggir laut sambil sesekali memainkan air.
Dehan berlari-lari kecil di permukaan air, aku mengikuti apa yang ia lakukan karena tangan kami yang saling menggenggam. Aku tersenyum lebar. Rasanya sangat menyenangkan berlarian seperti ini. Aku mungkin kehilangan ingatan tentang masa lalu, tapi aku bersyukur karena sekarang bisa membuat ingatan indah bersama Dehan, dan aku berharap tak akan pernah melupakannya.
Dehan menunduk, mengambil sesuatu di dekat kakinya yang terendam air laut. Sebuah kerang. Ia menunjukkannya kepadaku.
"Apa ada mutiara di dalamnya?" tanyaku membuat Dehan tertawa seketika. Kenapa? Apa pertanyaanku salah?
"Kenapa kau tertawa?" Aku kembali bertanya.
"Ini kerang kecil, Adira. Mana mungkin ada mutiaranya." Tawanya mulai reda.
"Bisa jadi mutiaranya juga kecil." Mendengarku mengatakan demikian, Dehan hanya menggelengkan kepala.
Dehan kembali menunduk, mengambil sesuatu di dekat kakinya. Sebuah bintang laut. Saat melihatnya, ada bayangan yang terlintas di kepalaku.
"Fafan! Kemari!" Seorang anak perempuan memanggil anak laki-laki yang berdiri di pinggir laut. Anak laki-laki itu membalikkan badan, lantas berlari untuk menghampirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nama yang Hilang || Mark Lee [Completed]
Romance"Siapa namamu?" "Tidak ada." "Bagaimana bisa seseorang di dunia ini tidak memiliki nama?" "Ada." "Siapa?" "Aku." Semua yang ada di alam semesta ini memiliki nama. Kalian setuju, bukan? Tapi, bagaimana jika ada seorang gadis yang hidup tanpa nama? Ap...