"Dehan, besok datanglah ke rumah sakit. Aku akan memberikan vitamin dan suplemen untuk mengurangi rasa sakit di kepala Adira dan agar ingatannya bisa cepat kembali," ucap Dokter Reyhan. Dehan yang duduk di kursi depan menoleh kepadaku.
"Hanya mengurangi? Kenapa rasa sakitnya tidak hilang saja? Aku tak ingin Adira merasakan sakit sedikit pun." Ucapan Dehan membuatku seketika terdiam. Dehan dengan mudah mengatakan itu di depan Dokter Reyhan. Bagaimana bila ia salah paham? Dehan menyayangiku sebagai seorang keluarga dan aku seharusnya juga begitu. Menyayanginya sebagai seorang Kakak. Tidak lebih.
"Aku bukan Tuhan, Dehan. Kita hanya bisa berusaha dan berdoa," ucap Dokter Reyhan.
Dokter Reyhan dan Dehan berbicara banyak hal sepanjang perjalanan, sedangkan aku memilih mengobrol dengan gadis di sebelahku, Aleena. Ia adalah pengasuh Adam—anaknya Dokter Reyhan. Istri Dokter Reyhan meninggal tiga tahun yang lalu. Saat Adam masih berumur tiga tahun. Kasihan anak itu. Ia masih sangat kecil dan sudah ditinggalkan Ibunya. Mungkin itu sebabnya Adam sangat dekat dengan Aleena. Adam melihat sosok Ibu dalam dirinya.
Kupikir Aleena adalah gadis yang baik. Dia memberitahu bahwa ia bekerja sebagai pengasuh karena harus mengumpulkan uang untuk kuliah. Ibunya sudah lama meninggal dan Ayahnya memilih menikah dengan wanita lain. Pasti banyak luka yang ia alami. Namun, ia tetap memberikan cinta dan senyuman kepada orang lain. Kepada Adam.
Mungkin aku seumuran dengan Aleena. Namun, aku tak bisa memastikan. Aku saja tak tahu usiaku sekarang berapa, tapi satu yang pasti. Aku belum tua.
"Dehan, apa kau masih ingat dengan Hanna?" Pertanyaan Dokter Reyhan membuatku langsung menoleh kepada keduanya.
"Hanna?" tanya Dehan.
"Iya. Hanna adik kelas kita dulu."
"Hanna yang sering meminta bantuanku saat ia kesulitan mengerjakan tugas sekolahnya?"
"Iya. Semua teman sekolah sampai mengatakan bahwa kalian terlihat seperti sepasang kekasih karena sering bersama." Mereka berdua tertawa, membuatku dan Aleena saling pandang.
Aleena mendekat, kemudian membisikkan sesuatu kepadaku, "Ini pertama kalinya aku melihat Pak Dokter tertawa."
Aku balik berbisik, "Memang biasanya Dokter Reyhan seperti apa?"
"Seperti kulkas berjalan."
Yang dikatakan Aleena berbanding terbalik dengan yang aku tahu. Yang kutahu selama ini, Dokter Reyhan adalah sosok yang ramah dan murah senyum. Tapi, mungkin karena aku pasien, jadi dia harus melakukan itu. Karena bisa jadi bila ia bersikap dingin dan datar kepada pasien, para pasien mungkin tidak akan akan mengira dia dokter, tapi malaikat maut.
"Seorang teman kelasnya bahkan memarahiku karena aku terlihat sering bersama Hanna," kata Dehan.
"Yang menyukai Hanna itu?" Dehan mengangguk. "Tapi, aku pikir ... Hanna menyukaimu." Aku langsung menoleh kepada Dehan. Menatapnya dengan mata yang sedikit lebih lebar. Dehan menoleh kepadaku, membuatku langsung mengalihkan pandangan keluar jendela mobil.
"Kemarin aku bertemu dengan Hanna dan dia bertanya tentangmu," kata Dokter Reyhan.
Aku dan Dehan turun setelah mobil berhenti tepat di depan rumah Dehan.
"Terima kasih sudah mengantar kami," kata Dehan.
Dokter Reyhan mengangguk sambil tersenyum tipis. "Besok datang ke rumah sakit. Aku akan memberikan vitamin dan suplemen untuk Adira," ucap Dokter Reyhan kembali mengingatkan.
Setelah mengucapkan terima kasih dan salam perpisahan kepada Dokter Reyhan dan Aleena, aku mendahului Dehan memasuki rumah. Kepalaku dipenuhi pikiran tentang Hanna. Gadis yang mungkin sempat singgah di hati Dehan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nama yang Hilang || Mark Lee [Completed]
Romance"Siapa namamu?" "Tidak ada." "Bagaimana bisa seseorang di dunia ini tidak memiliki nama?" "Ada." "Siapa?" "Aku." Semua yang ada di alam semesta ini memiliki nama. Kalian setuju, bukan? Tapi, bagaimana jika ada seorang gadis yang hidup tanpa nama? Ap...