Bab 5 (Pria itu Lagi)

108 88 0
                                    

Lagi-lagi aku ada di titik ini. Kesepian. Tunggu, aku memang selalu kesepian. Aku tertawa. Sebuah tawa yang mungkin akan membuat orang lain kasihan bila mendengarnya. Aku selalu ingin memberikan pelukan kepada orang lain. Namun, saat aku yang membutuhkannya, sama sekali tak ada orang yang bisa kujadikan tempat untuk menceritakan rasa sepiku, tak ada pundak yang bisa kujadikan sandaran atas lelahku, dan tak ada pelukan untuk mengobati lukaku.

Langit gelap, sama sekali tak ada bintang. Padahal bila aku berada di titik ini, kesepian, aku akan melihat ke langit. Melihat bintang. Entah mengapa hanya dengan melihat bintang, hatiku seketika menghangat. Seperti ada sesuatu di atas sana yang memberiku semangat. Sesekali aku berpikir, apa orang tuaku sudah menjadi bintang? Apa cahaya dari bintang itu adalah dukungan dari orang tuaku? Apa ini alasan aku selalu merasa tenang setelah melihatnya? Namun sayang, malam ini tidak ada bintang yang bisa menghilangkan sepiku.

Aku menyeka air mata, menghapus jejak kesedihan di sana. Aku orang yang labil. Memberikan dukungan kepada orang lain, padahal diri sendiri juga butuh dukungan. Sering menguatkan dan meyakinkan orang lain, bahwa setelah luka pasti ada bahagia. Aku juga sering meyakinkan diri sendiri tentang hal itu. Namun saat mengatakan itu, ada sebuah sudut dalam hatiku yang selalu memberontak. Kapan bahagiaku juga akan tiba? Aku tidak hanya ingin membuat orang lain tersenyum, aku juga ingin bahagia. Ingin mendapatkan cinta dan perlakuan yang pantas dari orang-orang.

Aku berlari ke emperan toko karena hujan tiba-tiba turun. Untunglah toko ini sudah tutup. Jika tidak, mungkin aku akan diusir lagi seperti waktu itu, padahal aku hanya ingin meneduh sebentar. Namun, pemilik toko ini mengatakan bahwa tokonya akan bau sampah karena kehadiranku.

Aku menghapus air mata yang menampung. Memeluk lutut dengan erat menggunakan tangan kiri, sedangkan tangan kanan kugunakan untuk mengusap kepala dengan pelan. Setidaknya dengan begini, aku akan sedikit tenang.

Beberapa saat kemudian, seorang pria ikut berteduh di teras toko ini. Ia membawa sebuah botol di tangan kanannya. Aku menjauhkan diri sembari menutup indra penciuman saat ia mendekat. Bau alkohol.

Pria itu tampak memperhatikanku dari rambut sampai ujung kaki. Sempat kulihat juga ia menyeringai. Aku pikir dia punya niat buruk. Aku harus segera pergi.

"Apa kau kedinginan? Mau kuhangatkan?" Saat aku ingin melangkahkan kaki untuk pergi, pria itu mulai mencengkeram tanganku dengan kasar. "Kau mau ke mana? Di sini saja." Dia kembali menyeringai. Sorot mata itu, sorot mata yang sangat ditakuti oleh seluruh perempuan yang ada di dunia. 

"Lepaskan!" Aku berusaha melepaskan cengkramannya, tetapi pria itu malah menarik tubuhku hingga mendekat kepadanya. Aku menampar wajahnya dengan keras ketika ia mendekatkan wajahnya kepadaku.

"Berani sekali kau!" Pria itu melepas cengkramannya tangannya, beralih menarik rambutku dengan kasar, membuatku mengerang kesakitan. Aku melihat sekitar, sama sekali tidak ada benda yang bisa digunakan untuk melawannya. Aku mulai menangis saat pria itu menarikku ke tempat yang sepi. Sebuah gang kecil antara dua bangunan berantai lima. Hujan turun semakin deras dan tidak ada orang yang bisa dimintai pertolongan.

Aku gigit lengan pria itu. Dia mengerang kesakitan. Ia melepas cengkraman tangannya dari rambutku, lalu tiba-tiba sebuah tendangan melesat ke bagian perut. Membuatku terpental dengan keras ke dinding.

Aku menangis. Sangat sakit. "Tolong hentikan," ucapku mengiba. Namun, pria itu sama sekali tidak menunjukkan kepedulian. Ia malah menduduki tubuhku, membuatku kesulitan bernapas. Kilat menyambar, membuatku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Wajah yang penuh nafsu. Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku ketika aku berusaha meludahi wajah mengerikan itu. Sudah kehabisan tenaga. Sudah tak bisa melawan. Aku juga merasakan sesuatu mengalir dari punggungku.

Nama yang Hilang || Mark Lee [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang