Bus berhenti. Dehan membiarkanku naik lebih dahulu. Dehan duduk di dekat jendela, sedangkan aku duduk di sampingnya. Di seberang tempat kamu duduk, ada seorang laki-laki yang tak berhenti menatapku, membuatku sedikit risi.
"Duduk di dekat jendela, Adira." Aku menoleh. Dehan menatap tajam laki-laki yang tengah menatapku. Aku mengangguk, lalu berganti tempat duduk dengannya.
Dehan menghela napas, lalu berujar, "Ini alasan kenapa aku lebih suka kau memakai pakaianku daripada pakaian seperti itu. Sama sepertiku, laki-laki lain tak bisa mengalihkan perhatian darimu. Seharusnya tadi aku memakainkanmu topi." Aku tersenyum tipis. Dehan ternyata juga sangat posesif.
"Jangan tersenyum, Adira."
Aku mendelik.
"Kenapa?"
"Kau diam saja. Laki-laki lain tak bisa mengalihkan pandangan, apalagi saat kau tersenyum manis seperti itu," ucapnya sedikit cemberut.
Kenapa dia sangat menggemaskan?
Aku sudah tak bisa menahan diri, lalu mulai mencubit pipinya saking gemasnya. Dehan mengerjap.
"Ekspresimu sangat menggemaskan," kataku.
Dehan menaruh kepalaku di bahunya, lalu menyuruhku untuk memejamkan mata. Sesaat sebelum memejamkan mata, aku melihat Dehan berdecak kesal ke arah laki-laki itu.
Sekarang aku tak perlu khawatir, sudah ada Dehan yang akan melindungiku dari tatapan buruk laki-laki lain.
.
Aku terdiam, menatap haru gedung yang berdiri kokoh di hadapanku. Aku menatap Dehan. Dia tahu benar cara membuatku bahagia.
"Dulu ini tempat tinggalmu," katanya.
Benar. Dulu ini tempat tinggalku. Sebuah gedung tua yang ditumbuhi banyak tumbuhan liar dan lumut. Sekarang gedung ini diubah menjadi tempat wisata yang berbalut edukasi. Lantai pertama dihiasi berbagai jenis tanaman dan pengunjung dapat belajar cara perawatan yang benar; lantai kedua adalah planetarium, di mana orang-orang bisa mengenal berbagai hal mengenai satelit, rasi bintang, serta proses pembentukannya.
Aku merasa bangunan ini dibuat khusus untukku. Tanaman dan bintang, aku sangat menyukai keduanya.
Dehan kembali menggenggam tanganku, membawaku berkeliling. Kami berhenti di depan berbagai jenis bunga. Aku mengulurkan tangan, hendak menyentuh salah satu bunga. Namun, Dehan langsung menahan. Aku menoleh. Tatapan mataku seolah bertanya, "Kenapa?"
"Bunga itu ada durinya. Kau harus berhati-hati."
Dehan berkata benar.
Sesuatu yang terlihat indah, sebenarnya sangat berbahaya.
Bunga mawar itu mengingatkanku kepada anak laki-laki di mimpiku. Anak laki-laki yang menyelamatkanku dari dahan pohon yang jatuh hingga menyebabkan ia terluka. Bekas luka di dekat matanya berbentuk bunga mawar.
"Ada apa, Adira?" Dehan bertanya karena melihatku melamun. Aku hanya menggeleng seraya tersenyum tipis.
Tempat ini didatangi banyak pengunjung. Beberapa remaja perempuan bahkan terlihat fokus mendengar penjelasan tentang cara yang benar merawat beberapa jenis tanaman. Aku tersenyum bahagia melihat orang-orang seantusias ini.
Kami berhenti untuk mendengarkan penjelasan tentang sebuah tanaman.
""
"Ternyata merawat tanaman tidak semudah yang kupikirkan." Ucapan Dehan membuatku menoleh.
"Jika benar-benar suka, pasti tidak akan terasa susah." Dehan tersenyum malu, menggenggam tanganku semakin erat, lalu mengajakku untuk pergi dari sana. Entah karena bosan mendengar penjelasan tentang tanaman atau karena tidak bisa menahan semburat merah di wajahnya, tapi tunggu. Kenapa Dehan harus malu? Memang apa yang kukatakan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Nama yang Hilang || Mark Lee [Completed]
Romansa"Siapa namamu?" "Tidak ada." "Bagaimana bisa seseorang di dunia ini tidak memiliki nama?" "Ada." "Siapa?" "Aku." Semua yang ada di alam semesta ini memiliki nama. Kalian setuju, bukan? Tapi, bagaimana jika ada seorang gadis yang hidup tanpa nama? Ap...