Bab 15 (Mengakhiri Diri)

43 23 0
                                    

Aku merasa kembali ke diriku yang dulu, sangat menyedihkan dan rapuh. Meskipun demikian, diriku yang dahulu adalah orang yang selalu berusaha mandiri dan tidak ingin bergantung kepada orang lain. Sekarang ... aku merasa sangat bergantung kepada Dehan. Laki-laki itu seperti mengubah diriku 180°.

Memang benar yang orang-orang katakan. Menggantungkan harapan kepada seseorang adalah salah satu sumber rasa sakit terbesar.

Aku memejamkan mata. Senyuman Dehan yang terlintas di benak membuatku sedikit merasa tenang. Namun, hanya sebentar karena bayangan Hanna muncul setelahnya. Senyuman Dehan ditujukan untuk Hanna dan ... aku kembali merasa sesak.

Aku kembali melanjutkan perjalanan. Pergi ke tempat yang sering kudatangi untuk melampiaskan semua kesedihan.

Dulu saat masih bekerja di restoran. Aku pernah melayani sebuah keluarga: sepasang suami-istri dan seorang anak perempuan. Pasangan itu tampak sangat menyayangi anaknya. Aku sempat merasa iri kepada anak perempuan itu. Dia punya keluarga yang utuh. Berbeda denganku. Setelah itu aku tak fokus bekerja, hingga pemilik restoran memarahi habis-habisan. Aku bahkan dipecat tanpa digaji dan diberi makan.

Aku melampiaskan kesedihanku waktu itu di sana, tempat yang akan kudatangi sekarang. Terkadang ketika aku merindukan seseorang yang entah itu siapa, aku juga ke sana. Kesedihan, ketakutan, bahkan kegagalan bisa sejenak kulupakan ketika berada di sana.

Beberapa meter lagi aku akan sampai di tempat itu. Sebuah tikungan yang di bawahnya terdapat jurang yang cukup curam. Aku merasa selain tas itu, tempat ini juga memiliki hubungan dengan masa laluku.

Tak jauh dari tempatku berdiri, seorang laki-laki dengan postur cukup tinggi duduk di atas pagar pembatas jalan. Wajahnya terlihat datar, sama sekali tidak ada ekspresi. Apa dia berniat untuk mengakhiri diri? Saat laki-laki itu merentangkan kedua tangan, aku berlari menghampiri, lalu menarik baju bagian belakangnya. Dia tersentak, lalu terjungkal ke belakang.

"Apa yang kau lakukan?! Berniat mengakhiri hidup? Sesulit apa pun masalah yang kau hadapi, sedalam apa pun luka yang kau alami, kau tak boleh melakukan ini! Aku tahu hidup itu sulit dan takdir itu kejam, tapi tolong jangan seperti ini. Mengakhiri hidup bukan solusi!" ucapku sedikit keras dan dengan derai air mata saat mengucapkannya.

"Sesulit apa hidupmu sampai kau ingin mengakhiri hidup seperti ini?" Aku kembali bertanya.

"Ta-tapi--"

"Tapi, apa?! Mengakhiri hidup bukan solusi! Kau harus tahu itu!"

"Tapi, aku tak ingin bunuh diri. Kau salah paham," ucapnya membuatku seketika terdiam.

"A-apa?"

"Aku tak ingin bunuh diri," ucapnya lagi.

Aku menyeka air mata, menoleh ke sembarang arah karena malu sudah salah sangka.

"Hei." Panggilannya membuatku menoleh.

"Maaf," ucapku dengan nada berusaha menahan rasa malu.

"Tak apa." Dia tersenyum dan entah mengapa senyuman itu terlihat sangat familier untukku.

"Jika tak berniat bunuh diri, lantas mengapa kau duduk di atas pagar pembatas seperti itu?" tanyaku. Laki-laki itu menghela napas, lalu melihat ke dalam jurang yang cukup dalam.

"Aku merindukan keluargaku."

Aku yang tadinya ikut melihat ke dalam jurang, lantas memfokuskan pandangan kepadanya.

"Keluarga?" Laki-laki itu mengangguk.

"Mobil yang dikendarai keluargaku masuk ke dalam sana." Dia menunjuk ke dalam jurang menggunakan dagunya. Dia mengalihkan pandangan dariku, tapi aku tahu ia sedang menyeka air mata.

Nama yang Hilang || Mark Lee [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang