Bab 20 (Terungkap)

41 18 0
                                    

Aku dan Dehan berdiri di pinggir jalan, menunggu sebuah taksi agar kami bisa segera pulang. Namun, hingga kini belum ada yang lewat.

"Susah mencari taksi di jam seperti ini," kataku membuat Dehan mengembuskan napas pelan.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan?" tanya Dehan.

"Berjalan?"

"Berjalan?!" Aku mengangguk.

"Tapi, jaraknya hampir 10 km," ucap Dehan.

"Apa kau meremehkanku?" Aku memasang wajah serius membuat Dehan terlihat risau.

"Bukan seperti itu, Adira. Aku hanya tidak ingin kau sampai kelelahan," ujarnya yang membuatku berusaha menahan tawa. Memang sangat menyenangkan menggoda Dehan.

"Aku hanya bercanda," kataku.

"Sudah hampir jam 11 malam. Tidak mungkin untuk kita berjalan sampai ke rumah."

"Bagaimana kalau kita menumpang saja?"

"Menumpang?" Dehan mengernyit.

Aku menggoyangkan tangan kanan berusaha menghentikan sebuah mobil. Aku tersenyum lebar karena mobil itu akhirnya berhenti.

"Mobil bak terbuka? Apa tidak apa-apa?" Dehan berbisik.

"Selamat malam, Pak. Dari tadi kami menunggu taksi, tapi sampai sekarang belum ada yang lewat. Apa kami boleh menumpang?" tanyaku.

"Boleh, tapi di belakang."

"Terima kasih, Pak."

Ketika aku berusaha menaiki mobil, Dehan menahan. "Kau memakai gaun."

"Gaun ini tidak bisa menghentikanku untuk menaiki mobil ini." Aku memasang wajah serius, tampak bersemangat. Aku mengangkat gaun, menginjak ban mobil agar dapat naik dengan mudah. Setelah berhasil naik, aku menoleh karena Dehan masih berdiam diri. "Apa kau mau berjalan?" tanyaku. Dehan menggeleng, kemudian aku segera menyuruhnya naik sebelum Bapak-bapak itu marah karena menunggu kami. Setelah Dehan naik, mobil lantas berjalan.

Tanganku yang semula memeluk lutut beralih ke lengan, kemudian menggosoknya perlahan. Angin malam membuatku sedikit menggigil.

Bulan dan bintang perlahan menghilang ditelan mendung pekat. Sepertinya akan turun hujan. Aku berharap kami segera sampai ke rumah sebelum hujan turun.

Aku menoleh cepat karena Dehan tiba-tiba memakaikanku jas miliknya. "Agar kau tak kedinginan," katanya. Aku diam sambil memandang buket bunga yang kubiarkan tergeletak di hadapan.

Oh iya, tentang Hanna. Bagaimana ia bisa menikah dengan pria lain saat ada Dehan? Bukankah mereka saling mencintai sejak dulu?

"Apa sekarang kutanyakan saja kepada Dehan." Aku berpikir.

"Hmmm." Gumamanku membuat Dehan menoleh. "Bagaimana Hanna bisa menikah dengan pria itu?" tanyaku memberanikan diri.

"Karena mereka ingin menikah," jawab Dehan.

"Kenapa Hanna ingin menikah dengannya padahal kalian berdua saling mencintai?"

Dehan mengernyit. "Aku dan Hanna saling mencintai?" Aku mengangguk pelan. "Bagaimana mungkin?! Kami hanya teman. Dulu aku kakak kelasnya dan dia adik kelasku. Hanya itu. Aku tak pernah menganggapnya lebih."

"Tapi, Hanna mencintaimu," ujarku.

"Apa alasanmu mengatakan itu?"

"Surat yang Hanna pernah berikan kepadamu, aku sudah membacanya."

"Surat? Surat yang Hanna ambil kembali beberapa hari yang lalu?" Lagi-lagi aku mengangguk.

"Bukankah surat itu berisi ucapan terima kasih dari Hanna?" tanyanya.

Nama yang Hilang || Mark Lee [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang