Bab 16 (Ingin Pergi)

35 15 1
                                    

Niatku kemari untuk menenangkan diri. Namun, laki-laki bernama Andreas itu malah membuat pikiranku semakin kacau.

"Kau mencintainya."

Pernyataan dari laki-laki itu terus menggema di kepalaku. Aku menatap langit dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Ya, aku mencintai Dehan.

"Aku mencintai Dehan!" Aku berteriak. Aku marah kepada diriku sendiri karena sudah berani jatuh cinta kepada Dehan. Sekarang, bagaimana caraku menghadapi Dehan setelah mengetahui bahwa aku menyimpan rasa kepadanya?

Rasa sayang.

Bukan sebagai seorang Kakak, tapi sebagai seorang pria.

"Rasa sayang dari seorang kakak untuk adiknya."

Kalimat Dehan terlintas di benakku. Dehan hanya menganggapku sebagai seorang keluarga. Bagaimana bisa aku memiliki rasa yang lebih kepadanya? Benar-benar tak tahu diri. Sejak kapan aku tak bisa mengontrol perasaanku sendiri seperti ini?

Aku melangkah pergi, bersama dengan gelap yang mulai menghiasi bumi. Hawa dingin sama sekali tak terasa, justru aku merasa panas kala kembali mengingat bekas lipstik milik Hanna di baju Dehan.

Aku berhenti melangkah saat melihat seorang pria berlari ke arahku dengan tergesa-gesa. Ia berhenti tepat di hadapanku. Seketika kembali teringat penampilannya ketika menolongku di malam itu. Seorang pria berjaket cokelat yang menyelamatkanku dari mimpi buruk.

Sorot matanya terlihat penuh kekhawatiran dan seperti ada rasa takut yang tak bisa digambarkan di dalam sana. Aku tersentak saat dia tiba-tiba memelukku dengan erat.

"Kau pergi ke mana saja, Adira? Aku mencarimu ke mana-mana." Nada suara Dehan terdengar berbeda dari biasanya. Nada suara itu terdengar seperti saat Dehan menyelamatkanku di malam itu. Seperti ada ketakutan.

Mencariku? Untuk apa?

"Aku harap kau tidak berniat meninggalkanku. Aku membutuhkanmu."

Aku geming beberapa saat. Melepas pelukannya dan menatap sosok itu dengan penuh tanda tanya. Bukankah pengisi hatinya telah kembali? Jadi, untuk apa ia membutuhkanku lagi?

"Kau masih membutuhkanku? Bukankah Hanna sudah kembali?" Dehan mengernyit heran.

"Hanna? Kenapa dengannya?" Sekuat tenaga aku berusaha untuk tak menangis di hadapannya. Dehan ingin aku di sampingnya. Namun, di sisi yang lain juga ada Hanna. Hanna dicintai, sedangkan aku dilindungi, dan mungkin juga dikasihani ... oleh Dehan.

Jika tetap di sini, aku pasti akan sering melihat kebersamaan Hanna dan Dehan. Aku tak ingin terluka. Aku ingin menyerah karena nyatanya di sini hanya aku yang berharap. Dehan tidak.

Pun jika tetap di sini, senyumannya bisa membuatku jatuh cinta setiap hari, kupu-kupu tak akan berhenti beterbangan di perutku, dan hanya satu cara yang kutahu untuk membunuh kupu-kupu itu. Pergi.

Dengan pergi, aku yakin pasti bisa melepaskan semua perasaan yang kumiliki untuk Dehan.

"Aku ingin pergi," lirihku.

"Pergi?"

'Iya, untuk menghilangkan semua rasa yang kumiliki kepadamu. Aku bodoh. Berani menaruh rasa kepada laki-laki yang hatinya sudah diisi oleh orang lain,' kataku dalam hati.

"Adira." Lirihannya membuatku ingin menangis sekeras-kerasnya, tapi aku berusaha untuk tak menampilkan ekspresi apa pun, hanya memasang wajah datar. Aku tak ingin ia tahu aku terluka sangat dalam.

"Aku ingin pergi," ucapku lagi. Dehan tampak frustrasi. Ia bahkan mengusap wajahnya dengan kasar. Ia memegang kedua tanganku dengan erat. Seperti tak ingin melepaskannya untuk selamanya.

"Apa maksudmu, Adira? Kau pasti sangat kelelahan sampai berbicara tidak jelas seperti itu, bukan?" Gelengan kepalaku membuat genggaman Dehan terlepas seketika.

"Aku ingin pergi."

"Kau tak boleh pergi." Dehan menggeleng dengan keras. Aku menepis tangannya saat ia berusaha menarikku untuk ikut dengannya.

"Ada apa denganmu?! Kenapa kau tak mengizinkanku pergi?! Kau sama sekali tak memiliki hak untuk melarangku! Kita juga tak memiliki hubungan apa-apa!"

"Adira! Kau yang kenapa?! Kenapa kau sangat ingin pergi meninggalkanku!" Aku geming. Untuk pertama kalinya Dehan membentakku. Air mata sudah tidak bisa kubendung. Aku mulai menangis di hadapannya. "Kau lebih dari sekadar keluarga untukku."

Lebih? Aku sudah tak sanggup mendengar ucapannya. Kalimat seperti itu justru membuatku semakin mengharapkannya. Aku berjongkok di atas aspal. Menutupi wajah dengan kedua lengan agar isakanku tak terlalu terdengar di telinganya. Aku kembali kacau, seperti dulu.

"Adira." Suara Dehan terdengar begitu dekat. Aku mendongak. Ia juga tengah berjongkok di depanku. Matanya terlihat berkaca-kaca, ia menangis, dan aku penyebabnya.

"Ayo, pulang ke rumah, Adira." Dehan mengulurkan tangan dan aku tanpa sadar menyambutnya. Tatapannya membuatku tak berdaya.

Sepanjang perjalanan hanya ada keheningan di antara kami. Namun, Dehan tak pernah melepaskan genggaman tanganku, seperti tak rela melepaskanku walau hanya sedetik saja. Aku pikir ... Dehan mulai bersikap egois. Ia hanya memikirkan dirinya sendiri. Sikapnya yang seperti ini malah membuatku semakin terluka. Dadaku sesak setiap kali melihatnya bersama Hanna dan mengingat apa yang telah ia lakukan bersama perempuan itu, aku semakin rapuh.

Kami sudah sampai di depan rumah Dehan.

Rumahnya, bukan rumahku.

Dehan memutar kunci rumah tanpa melepas genggaman. Ia baru melepaskannya sesat setelah pintu rumah kembali dikunci dari dalam. Dehan berbalik. Ini pertama kali aku melihatnya dalam kondisi seperti ini.

"Kau pasti sangat lelah. Masuklah ke kamarmu." Aku tak mengucapkan apa pun, juga tak bergerak sedikit pun. Apa alasan Dehan sampai tak mengizinkanku pergi? Hanna sudah kembali, aku yakin ia tak benar-benar membutuhkanku lagi.

"Aku ingin pergi."

"Adira!" Dehan mengacak rambutnya, kemudian berteriak frustrasi. "Kenapa kau selalu mengatakan ingin pergi, Adira? Aku membutuhkanmu!" Aku tertawa miris.

"Lalu Hanna? Bagaimana dengannya?!"

"Kenapa kau selalu menyebut tentang Hanna?" Aku memalingkan wajah, menertawakan diri sendiri. Dehan sama sekali tak menyadari perasaanku.

'Aku cemburu!' teriakku dalam hati.

Dehan menarik tanganku, membawaku masuk ke kamar, hingga mendudukkanku di pinggir tempat tidur. Laki-laki itu berjongkok.

"Aku akan mengambilkan makan malam untukmu. Makanlah, lalu tidur." Dehan berjalan tergesa-gesa, kemudian menutup pintu kamar dengan rapat. Aku langsung membaringkan diri menghadap dinding, kemudian kembali menangis dalam diam.

"Rasa lapar tak sebesar rasa cemburu yang kumiliki kepada Hanna." Aku berucap. Beberapa saat kemudian aku pura-pura tidur saat mendengar suara pintu kamar dibuka.

"Adira, bangunlah. Kau harus makan sebelum tidur." Aku memejamkan mata rapat-rapat dan berusaha menahan tangis agar punggungku tak bergetar.

"Adira."

Setelah panggilan itu, aku mendengar sesuatu diletakkan di atas nakas di samping tempat tidur. Benar-benar hening sampai-sampai helaan napas Dehan bisa terdengar. Tak berapa lama aku merasakan tangan besar itu mengelus kepalaku. Aku mengepalkan kedua tangan saat merasakan napas Dehan di sekitar telinga. Jujur, aku sangat takut sekarang.

Dehan membisikkan sesuatu. "Kau sudah berjanji akan selalu di sisiku, Adira. Kenapa sekarang kau ingin mengingkarinya?"

"Kau juga sudah berjanji tidak akan membiarkanku meneteskan air mata lagi. Namun, sekarang kau yang menorehkan luka yang begitu pedih." Aku berucap dalam hati.

-------------------

Bersambung

••••••••••••••••••

Nama yang Hilang || Mark Lee [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang