"Ibuku adalah wanita yang sangat kuat. Selama hampir tiga tahun dia berjuang melawan kanker yang ada di tubuhnya, tapi ternyata kanker lebih kuat dari Ibuku. Kanker berhasil mengalahkannya sekitar dua tahun lalu." Aku bisa merasakan luka yang Dehan derita. Ia sangat mencintai Ibunya. Namun, takdir membuat mereka harus terpisah.
Kami bercerita banyak hal. Tentang Ayahnya yang sudah meninggal sewaktu ia masih kecil, serta tentang ia yang memilih berhenti kuliah karena ingin merawat Ibunya yang sakit. Aku juga bercerita tentang diriku. Tentang bagaimana aku sampai ke gedung itu dan akhirnya tinggal di sana selama bertahun-tahun. Hanya sebatas itu, sama sekali tidak menceritakan ketika rasa lapar menghampiri. Aku rasa itu sama sekali tidak pantas atau tidak boleh kuceritakan kepada orang lain. Orang lain tidak perlu tahu seberapa dalam rasa sakit dan kesulitan yang kualami.
"Adira." Panggilan itu membuyarkan lamunanku. Hanya dalam waktu singkat, aku mulai terbiasa dengan panggilan itu. Nama pemberian Dehan. "Apa yang sedang kau pikirkan?"
"Bukan apa-apa," jawabku disertai dengan gelengan pelan.
"Setelah ini kau akan ke mana?"
"Entahlah."
"Bagaimana jika kau ke rumahku saja?" Aku refleks menoleh. Rumah Dehan? "Kau jangan salah sangka dulu. Aku sama sekali tidak memiliki niat buruk, Adira. Ini sudah larut malam. Hujan juga bisa turun kapan saja. Aku juga tidak ingin kau kembali terluka."
Aku terdiam. Dehan orang pertama yang mengatakan tidak ingin melihatku terluka. "Reyhan juga menyuruhku untuk menjagamu."
"Reyhan?"
"Dokter yang tadi menanganimu. Namanya Reyhan." Dehan menjelaskan.
***
Aku dan Dehan berhenti di depan sebuah rumah kecil. Hanya ada beberapa rumah di daerah ini. Itupun jaraknya sekitar 100 meter dari rumah Dehan. Tempat yang menyenangkan karena jaraknya yang sedikit jauh dari kota. Dehan membuka pagar besi yang tingginya sekitar 1 meter. Pria itu menyuruhku masuk lebih dulu. Di pekarangan rumah ada banyak tanaman, tetapi sebagian besarnya hampir mati. Wajar karena Dehan hidup sendiri, jadi pasti tidak punya waktu untuk mengurusnya.
"Adira." Aku menoleh. Dehan sedang memegang gagang pintu, mengisyaratkan agar aku menghampirinya. Pintu terbuka, kami berdua masuk ke dalamnya. Hanya ada satu kamar, ruang tamu, dan dapur di dekat pintu belakang. Rumahnya kecil, tetapi jauh lebih baik dari gedung tua yang selama ini ku jadikan sebagai tempat tinggal.
"Tidak perlu sungkan, Adira. Anggap saja sebagai rumahmu sendiri." Dehan menyuruhnya duduk di ruang tamu, sedangkan ia langsung melesat ke arah dapur. Dehan membuka lemari, sedikit mengamati, lalu mengeluarkan dua bungkus mi instan. Aku langsung menghampiri ketika melihatnya memotong sayuran dengan lincah.
"Apa kau ingin membuatkan makanan untukku?" tanyaku yang langsung dibalas anggukan oleh Dehan.
"Tidak perlu. Aku tidak lapar." Setelah mengatakan itu, perutku tiba-tiba berbunyi. Membuatku menunduk menahan rasa malu. Dehan tertawa, membuatku mengangkat kepala seraya berucap, "Sepertinya kau sangat mudah tertawa." Bukannya berhenti, dia malah tambah tertawa sehingga aku sedikit kebingungan.
"Aku memang seperti itu, Adira. Sangat mudah tertawa, bahkan terhadap hal-hal kecil. Sewaktu masih sekolah, teman-temanku bahkan menyebutku SPR."
"Apa itu?"
"Si Paling Receh." Aku tersenyum tipis. Dehan masih sempat sekolah, mengenal banyak orang dan bisa berteman baik dengan mereka.
Dehan meletakkan dua mangkuk di atas meja makan berukuran 1×½ meter di depanku. Dari tadi aku ingin membantu, tetapi pria itu menyuruhku untuk tetap duduk. Katanya aku tidak boleh melakukan pekerjaan berat. Meskipun hanya menyiapkan peralatan makanan, aku tetap tidak diperbolehkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nama yang Hilang || Mark Lee [Completed]
Romansa"Siapa namamu?" "Tidak ada." "Bagaimana bisa seseorang di dunia ini tidak memiliki nama?" "Ada." "Siapa?" "Aku." Semua yang ada di alam semesta ini memiliki nama. Kalian setuju, bukan? Tapi, bagaimana jika ada seorang gadis yang hidup tanpa nama? Ap...