“Manusia memang aneh, mereka lebih suka mencintai seseorang yang tidak mencintai mereka daripada menerima seseorang yang cinta kepada mereka.”
Dua minggu telah berlalu, begitu cepat seperti mantan yang langsung dapat pasangan baru. Saat ini, semua keluarga besar Arcelio tengah bersiap-siap untuk datang ke rumah orang tua sang calon mempelai perempuan. Jika di lantai bawah semua orang sudah siap, di kamarnya Arcelio tengah gugup di temani Azka yang senantiasa menyemangatinya.
"Bismillah," Azka mengusap bahu tegap Arcelio ketika melihat wajah gugup dari sang kakak sepupu.
"Asli gerogi banget, Ka," ucap Arcelio beberapa kali mengelap tangannya yang berkeringat ke celananya sendiri.
"Rilex, Sayang. Kemaren aja katanya udah gak sabar mau cepet-cepet lamar, sekarang masa gugup gitu?" ujar Zora pada sang putra.
"Mama mana tau rasanya ngelamar anak orang, Ma," ucap Arcelio kemudian menenggak air putih yang Azka sodorkan padanya.
"Gimana, sih, rasanya?" Zora malah menggoda sang putra.
"Mamaaa," Arcelio mulai merengek karena tidak tahan terus di goda oleh sang ibunda.
Azka tertawa kecil melihat wajah kesal bercampur gugup yang Arcelio tunjukkan.
"Aduh, kayaknya belum cocok nikah, nih. Iya, kan, Ka? Kamu dengar, kan, tadi ada yang ngerengek?" Zora makin gencar menggoda putra semata wayangnya itu.
"Iya, Tante. Kayaknya belum bisa, deh," Azka malah ikutan menggoda Arcelio seperti yang Zora lakukan.
"Aka, kamu harus ada di pihak aku. Mana boleh di pihak Mama," ucap Arcelio sedikit kesal.
"Aka itu anak yang berbakti sama orang tua, enggak kayak kamu," sindiran pedas itu meluncur dari bibir Zora.
"Aku salah apalagi, sih, Ma?" Arcelio mengerang frustasi. Mamanya ini bukannya mengurangi rasa gugup, malah semakin membuat frustasi dan makin tidak percaya diri.
"Lho, kenapa belum turun juga, Mbak? Semuanya udah siap di bawah," Liana muncul dari ambang pintu. Wanita itu datang kemari karena di rasa mereka terlalu lama di kamar Arcelio.
"Bundaaa, Mama sama Aka ngeledek mulu, jadi makin gugup," Arcelio mengadu kepada ibundanya Azka dengan nada begitu manja.
"Tuh, Li. Kamu dengar, kan, tadi nadanya manja banget. Belum cocok jadi suami kayaknya," Zora masih terus membuat Arcelio makin gugup.
"Udah, Mbak. Jangan di godain terus, kasian anaknya," ucap Liana yang tidak tega melihat wajah murung Arcelio.
Zora lantas tertawa dan memeluk sang putra yang lebih tinggi darinya. "Mama becanda, Sayang. Kamu jangan terlalu banyak pikiran gini, nanti malah gak fokus," ucap Zora mengurai pelukannya. Wanita itu membenarkan rambut sang putra yang sedikit berantakan.
"Gugup, Ma," ucap Arcelio sungguh-sungguh.
"Bismillah, Lio. InsyaAllah semuanya akan berjalan lancar atas izin Allah," ucap Liana menyemangati Arcelio.
"Bismillah," gumam Arcelio begitu kecil.
"Ayo, kita harus segera berangkat," ajak Zora.
Ketika Zora, Azka dan Liana sudah beranjak pergi, Arcelio justru berhenti tepat ketika di ambang pintu kamarnya. Lelaki itu berbalik badan dan menatap figura yang terpajang di dinding kamarnya. Senyum kecilnya terbit kala melihat wajah sang ayah dari foto.
"Papa, aku selalu berharap papa ada di saat aku menikah. Tapi kembali lagi, harapan itu hanya sekedar harapan tanpa pernah mendapatkan titik terang," ucap Arcelio kemudian melanjutkan langkahnya yang tertunda.
***
Aira seketika lupa bagaimana caranya bernapas ketika melihat Azka turun dari mobil rombongan keluarga besar mempelai laki-laki alias keluarga Arcelio.
Yang lebih mengejutkannya lagi, bajunya sama dengan pakaian yang Azka kenakan. Rasanya, Aira ingin berteriak sekencang mungkin atau mungkin melakukan salto girang karena saking senangnya melihat seseorang yang biasanya hanya bisa ia lihat di layar ponselnya saja.
Herra segera menyambut hangat calon besannya beserta keluarga besar yang telah datang. Wanita itu melirik Aira yang kini wajahnya sudah memerah seperti tomat. Herra sudah mengetahui bahwa Arcelio dan Azka saudara sepupu, maka dari itu Herra sudah menduga hal ini akan terjadi—Aira bahagia.
"Jangan di liatin terus, nanti dia ngira kamu mau makan dia," bisik Herra ketika melewati Aira saat dirinya membawa Arcelio dan keluarganya masuk ke rumah besarnya.
Aira tersenyum canggung ketika Arcelio memberinya kode dengan melirik Azka lewat ekor matanya. Arcelio memberi acungan jempolnya pada Aira membuat gadis itu semakin tidak mengerti apa maksud dari semua ini.
"Ya Allah, mau pingsan," lirih Aira ketika tidak sengaja bertatapan dengan Azka yang lebih dulu menundukkan kepalanya.
Tak hanya Azka saja, kehadiran orang tua dan adik lelaki itupun turut membuat senyum Aira kian mengembang.
"Silakan, Bunda," ucap Aira dengan senyum manisnya.
Liana menatap Aira sejenak kemudian membalas senyumnya dengan tulus. Wanita itu mengusap lengan Aira sebelum memasuki kediaman calon mertua Arcelio.
Aira kaget, benar-benar tidak menduga hal tersebut akan terjadi. Tadi ... tadi ibundanya Azka mengusap lengannya? Ah, sial! Aira malah mulai berhalusinasi bahwa hal tersebut berarti wanita itu suka padanya. Parahnya lagi, Aira mulai menghayal jika Liana akan menjodohkan Azka dengannya.
Dasar, Aira, Si Ratu Halu.
Cerita Garis Takdir ini sudah di novel-kan.
Cerita ini berisi Kisah Inspiratif berupa perjalanan kisah Aira dalam menemukan jodohnya. Dalam setiap bab, akan ada satu ayat yang InsyaAllah bisa bermanfaat bagi kita semua.
Novel Garis Takdir sudah tersedia di Shopee : penerbit.lovrinz01 *Official account Penerbit
Novel Garis Takdir open pre-order dari tanggal 2 s/d 12 Maret. Thank you 💗
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Takdir [SUDAH TERBIT]
Romance[PART MASIH LENGKAP - NOVEL GARIS TAKDIR BISA DI PESAN MELALUI SHOPEE PENERBIT LOVRINZ] Ketika kita menerima dengan ikhlas atas takdir hidup yang telah Allah tetapkan, maka di sanalah kelegaan dan kebahagiaan akan datang dengan perlahan. Satu hal...