Epilog

1K 43 1
                                    

Cukup lama Reno memperhatikan wajah istrinya yang sedang tidur hingga menjelang malam. Kelelahan karena membereskan barang-barang pindahan dan ketiduran di kamar Nala. Sehari sebelumnya mereka sekeluarga baru saja pindah ke rumah yang baru dan sebagian barang belum berada di tempatnya, apalagi mainan Rolan dan Nala yang masih berantakan dalam kardus.

Dua mata Naya perlahan terbuka. “Hai, cantik.”
Naya tersenyum saat melihat wajah Reno dan anak perempuannya. Tangannya terangkat membelai pipi suami dan anaknya.

"Bales dong. Hai, ganteng, gitu." Naya memutar dua bola matanya.
“Gak mau,” jawaban itu malah menghasilkan kecupan yang dalam di pipinya.

Bersamaan dengan itu, pintu kamar terbuka. Rolan berlari untuk naik ke kasur. Rolan sedang berusaha menunjukkan sesuatu dari buku gambarnya.

"Ayah, ayah, kakak mau nonton monster ini lagi sama ayah." Rolan melompat-lompat di kasur adiknya, menyuruh ayahnya bangun dan mengajak menonton bersama dengan menunjukkan karakter yang dia gambar seperti film yang sebelumnya mereka tonton.

Biasanya sehabis menonton sesuatu. Rolan akan banyak bertanya dan membuat skenarionya sendiri dalam bentuk gambar.

"Iya, iya. Kakak duduk dulu." Secara tidak langsung Reno menyuruh Rolan untuk diam, tidak melompat-lompat di kasur.

"Tumben sama ayah, biasanya maunya sama ibu terus," ucap Naya.

Rolan tersenyum dan memeluk ibunya. "’Kan ibu udah tau, ayah belum."

Saking gemasnya dengan tingkah anaknya, Reno memeluk erat Rolan, mencium dan menghisap pipi anaknya itu berulang kali. Rolan tertawa geli karena kelakuan ayahnya dan memanggil ayahnya untuk berhenti. Namun, tidak semudah itu dia dilepaskan dari pelukan ayahnya.

"Ayah, udah ayah—" pinta Rolan sambil tertawa dan sedikit berteriak.

“Kakak beresin dulu mainannya, baru nonton. Ayo adek juga.” Reno beranjak dari kasur yang diikuti oleh anak-anaknya, sedangkan Naya melihat pemandangan itu sambil tersenyum. Sisa hari mereka lakukan dengan merapikan mainan di kamar Nala dan Rolan serta menata barang-barang di rumah.

Beberapa minggu berlalu—Hari pertama Rolan masuk sekolah dasar. Perasaan haru menyerang Naya yang sedang membenarkan dasi anaknya. Anak yang dulu berada di dalam perutnya, sering menendang perutnya, kini sudah tumbuh berkembang bahkan bertambah tinggi.

Ketika anak-anaknya sedang sarapan, Naya terlihat melamun dan tak luput dari pandangan Reno. Tanpa berbicara, Naya bangkit dari duduknya dan pergi masuk ke kamar. Tak sadar Reno mengikutinya.

“Kamu kenapa?” Bukannya menjawab, Naya langsung memeluk Reno dan menyembunyikan wajahnya di dada suaminya.
“Kenapa, sayang?” sambil panik, Reno mengelus punggung Naya.

Sambil menangis, Naya mengungkapkan isi hatinya. “Aku terharu aja, anak kita udah SD.”
“Kayaknya kamu setiap tahun bakalan nangis deh. Anak-anak kita masuk TK, SD, SMP, SMA, terus nanti kuliah, nikah, kamu nangis terus pasti,” tebak Reno.

“Ih, kamu—” Air mata Naya malah semakin banyak yang keluar.
“Udah, udah ya. Nanti mereka sedih liat kamu nangis.” Reno menenangkan dan menghapus air mata istrinya.

Semua ini tidak pernah terbayangkan oleh Naya semasa masih bersekolah dan kuliah bahkan dia pernah berkata tidak ingin menikah dan punya anak. Mempunyai keluarga kecil yang indah dan memiliki anak-anak yang menggemaskan bukanlah suatu hal yang terpikirkan olehnya, apalagi awalnya Reno pernah menolak dia dan buah hatinya. Namun, takdir selalu berkata lain.

Rumah di Ujung SanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang