Rolan telah kembali bersekolah, hari-hari sebelumnya dia sudah diperbolehkan untuk pulang dan diberikan beberapa macam obat yang harus dia minum setiap harinya. Hubungan orang tuanya belum terbilang baik-baik saja. Tidak dalam ketegangan. Namun, juga tidak dalam komunikasi yang baik.
"Ibu kamu mana? Belum jemput?" tanya Aira kepada Rolan yang juga sedang menunggu jemputan. Mereka sedang duduk berdua di bangku taman sekolah.
"Gak tau," jawab Rolan menaikan bahunya, kemudian melipat kedua tangan di dadanya sambil memanyunkan bibirnya. Biasanya sang ibu selalu datang lebih awal sebelum jam pelajaran berakhir.
"Aku udah jemput, duluan ya." Aira melambaikan tangannya kepada Rolan, dan anak laki-laki itu hanya mengangguk.
Rolan memandangi satu persatu temannya yang jemput pulang. Sekolah pun semakin lama semakin sepi. Hingga tak terasa perutnya tiba-tiba berbunyi ingin diisi.
"Mm—ibu kemana sih—" keluh Rolan.
Selang beberapa lama, seorang laki-laki menghampiri dan menyapa Rolan yang sedang sendirian.
"Rolan."
"Om Rey? Om ngapain ke sini lagi?""Om ada yang harus diurus, jadi ke sini lagi deh." Rolan mengangguk seakan mengerti dengan melantunkan ulang ucapan Rey, 'harus diurus?".
"Kamu lagi nunggu dijemput?" Rolan mengangguk lagi.
"Om boleh duduk di sini gak? Sekalian nemenin kamu."
"Boleh."Melihat sekolah yang sudah sepi, Rey berinisiatif menghubungi Naya. Semoga saja Naya masih menggunakan nomor lamanya saat kuliah dulu. Namun, berkali-kali dihubungi nomor itu tidak tersambung.
"Ibu kamu gak bisa dihubungin, om gak punya nomor barunya," celetuk Rey. "Harusnya gua minta ya waktu itu," lanjutnya dalam hati.
Mendengar itu, Rolan langsung membuka tasnya dan mencari sesuatu di dalam situ.
"Ini om nomor ibu. Ibu yang masukkin ke tas aku." Rolan menyerahkan sebuah kertas bertuliskan sebuah nomor.
Rey sedikit kagum dengan didikan yang dilakukan Naya kepada anaknya. Perempuan yang dikenal lugu dan polos, kini bisa menjadi seorang ibu yang berhasil mendidik anaknya.
"Halo, Nay," sapa Rey.
"Maaf, ini siapa ya?""Ini aku, Rey."
"Rey?""Iya, Nay. Ini aku lagi sama Rolan."
"Sama Rolan? Kalian ketemu di mana?" Naya setengah bingung, dia mengecek jam di ponselnya.Pada jam ini, Rolan seharusnya sudah pulang dan di mana Rey bertemu dengan Rolan? Sejak pertemuan mereka waktu itu, Naya tidak pernah memberikan alamat rumah ataupun nomor teleponnya yang baru kepada Rey.
"Di sekolahnya, dari tadi Rolan nungguin kamu jemput. Kamu emang sekarang lagi di mana?"
"Hah? Rolan masih di sekolah, belum pulang?" panik Naya."Nay, kamu tenang aja, biar aku yang anterin Rolan pulang. Nanti dia yang kasih tau jalannya."
"Makasih banget ya, Rey. Jadi ngerepotin."
"Gak apa-apa, Nay.""Nanti kamu titipin Rolan di satpam aja, soalnya kunci akses apartemen cuma aku sama Reno yang pegang. Aku udah selesai kok mau pulang."
"Udah kamu gak usah buru-buru, aman kok Rolan sama aku. Kerjaan aku juga udah beres."
"Sekali lagi makasih ya, Rey."
"Iya."Rey benar-benar menepati ucapannya untuk mengantarkan dan menemani Rolan di lobi apartemen menunggu Naya.
"Kamu mau makan dulu gak? Sambil nunggu ibu kamu," tawar Rey kepada bocah kecil yang sedang melamun di sampingnya.
"Gak om, aku gak laper."
"Apa kita jajan aja, di situ tuh." Rey menunjuk sebuah minimarket dekat situ. "Beli es krim?"Tak seperti biasanya, Rolan terlihat tidak terlalu bersemangat mendengar kata 'es krim'. Dia juga menggelengkan kepalanya menolak.
"Gak mau om, nanti aku sakit lagi. Aku mau nunggu ibu aja."
Rey hanya mengangguk. Meskipun tidak begitu mengerti maksud dari anak itu.
Cukup lama mereka menunggu, hingga akhirnya Naya tiba. Respon Rolan pun sama seperti tadi, saat ibunya datang, dia terlihat cemberut dan tidak memeluk ibunya. Naya pun merasakan reaksi yang berbeda dari anaknya itu.
Setelah berterima kasih pada Rey dan lelaki itu pamit, Naya beserta anaknya segera menuju kamar mereka. Rolan masih diam menunduk, tidak ingin mengeluarkan suaranya.
Sampai di kamar, Naya lebih dulu meletakkan Nala dalam box bayi, lalu menghampiri Rolan yang sedang melepas seragamnya.
"Kakak kenapa?" lembut Naya.
Bukannya menjawab, Rolan malah mengeluarkan air matanya, lalu menangis."Ibu kemana?" tanya Rolan sambil sesegukan. "Kakak nunggu ibu gak dateng dateng." Anak itu mengucek-kucek matanya untuk menghapus air mata yang terus keluar.
Naya membawa Rolan ke dalam pelukannya. Membiarkan anaknya menangis sambil mengelus rambut malaikat kecilnya itu.
"Maafin ibu ya." Beberapa kecupan diberikan oleh Naya.
"Kakak udah maafin ibu belum?" Sebuah anggukkan diberikan sebagai jawaban.
"Tapi, ibu jangan kayak gitu lagi," ujar Rolan, masih dengan sisa-sisa tangisannya.
"Iya, ibu gak akan kayak gitu lagi."Tangisan itu pun perlahan mereda, Rolan mengganti baju seragam, merapikan peralatan sekolah dan menata sepatunya.
"Kakak mau makan apa?"
"Aku gak mau makan." Lagi-lagi Rolan menolak untuk makan."Jangan gitu dong. Kalo kakak gak makan nanti sakit lagi. Kakak mau tidur di rumah sakit lagi?" Rolan menggelengkan kepalanya.
Berbagai cara Naya lakukan untuk membujuk Rolan agar ingin makan, dan pada akhirnya anak itu pun mau.
°○°
Malam hari, kedua anaknya tertidur pulas. Namun, mata Naya masih terbuka untuk menunggu Reno pulang, yang memiliki hutang penjelasan kepadanya. Ketika berangkat ke tempat imunisasi, Naya telah memberikan pesan meminta tolong agar Reno menyempatkan waktu untuk menjemput Rolan.
"Kamu tadi gak baca chat aku buat jemput Rolan? 'Kan kemarin aku juga udah bilang kalo Nala mau vaksin." Naya bertanya dengan nada yang rendah tanpa menggebu-gebu. Sepertinya dia sudah cukup pasrah dan ikhlas dengan sikap dan kelakuan Reno.
Reno yang baru saja menutup pintu dibuat terkejut dengan suara Naya yang tiba-tiba muncul di belakangnya.
"Hh—Aku, aku baca kok, cuman tadi lagi banyak liputan aja aku harus dateng langsung." Reno buru-buru membuka sepatunya.
"Kalo emang kamu gak bisa jemput Rolan, ya tinggal bales aja chat aku. Apa susahnya sih?" Naya masih menjaga kestabilan emosinya untuk tidak meluapkan kekesalan dan kekecewaannya.
"Gak sempet, kerjaan aku tuh banyak." Kali ini Reno membuka jaketnya.
"Dia nunggu lama loh di sekolah, gak dijemput-jemput.""Udah lanjut besok pagi aja ya. Aku capek banget hari ini." Reno melengos melewati Naya, berjalan sambil menguap ke arah sofa, kemudian merebahkan tubuhnya dan dalam sekejap dia tertidur, tanpa mengganti pakaiannya.
Naya menghela napas panjang sambil menggelengkan kepalanya. Kembali tidur di samping anaknya. Dipandanginya wajah Rolan yang sekilas mirip dengan Reno.
"Ibu sayang banget sama kamu," gumam Naya setengah berbisik. "Kamu juga sayang ibu 'kan?" Helaian demi helaian rambut Rolan dielus dengan pelan.
"Jangan berubah ya, Nak."
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah di Ujung Sana
ChickLitTernyata menikah bukan hanya perkara zinah yang halal dan hidup bahagia karena memiliki anak yang lucu. Masalah pasti akan datang kepada mereka yang masih bernapas di bumi ini. Terutama masalah dalam rumah tangga. °○° 21+ Cerita kedua lanjutan dari...