2. Ketidaknyamanan

3.6K 203 1
                                    

Naya melangkahkan kaki melewati taman apartemen, menyentuh bunga-bunga kecil bermekaran di sekitar taman. Bersama Nala yang ada di gendongannya, bayi itu tenang dibawa oleh ibunya.

Naya menyempatkan diri menikmati udara segar di taman, sebelum menjemput Rolan. Jarak antara apartemen dengan sekolah Rolan tidaklah jauh. Cukup menyebrangi jalan, lalu berjalan beberapa langkah saja untuk sampai di tujuan.

Sampai di sekolah, Naya menunggu kelas Rolan selesai. Sekilas dari luar dia bisa mengintip kegiatan dalam kelas tersebut.

Dari pintu yang terbuka, Naya melihat anaknya yang sedang berbicara dengan gurunya. Naya tersenyum melihat pemandangan itu. Sesuai laporan dari sang guru, anaknya itu sangat aktif di kelas dan suka membantu temannya.

Bahkan saat pertama kali masuk sekolah pun, Rolan langsung berbaur dengan lingkungan barunya. Ketika ditinggal dia tidak menangis atau mencari orang tuanya.

Rolan sangat berbeda dengan dirinya yang pemalu dan susah bergaul. Menurut cerita ibunya, pertama kali Naya sekolah, dia menangis tidak ingin ditinggal orang tuanya. Mungkin keberanian Rolan menurun dari Reno.

"Naya," sapa seseorang.

Naya menoleh ke belakang mencari sumber suara.

"Naya 'kan?"
"Rey." Ternyata yang memanggil Naya adalah teman sekampusnya dulu.
"Benerkan 'kan Naya." Naya mengangguk. Tampilan mereka telah banyak mengalami perubahan dari awal mereka bertemu.

"Kamu udah punya anak, Nay? Kok gak ngundang aku sih pas nikahan?" tanya Rey yang melihat bayi mungil di gendongan Naya.

Naya hanya membalas dengan senyuman. Selain Melani, Rey juga mengetahui bahwa Naya pengunduran dari kampus. Namun, laki-laki itu tidak tahu tentang kehamilannya.

"Kamu sendiri lagi ngapain di sini?"
"Aku lagi observasi aja, buat artikel," jawab Rey.

Terkadang Naya iri dengan teman-temannya yang lulus menjadi sarjana dan bekerja sesuai dengan keinginan mereka masing-masing. Menjelajah dan menjalani suka maupun duka dari pekerjaan mereka.

"Ibu!!" teriak seorang anak laki-laki sambil berlari menghampiri, lalu memeluk kaki ibunya.

"Om siapa?" tanya Rolan melihat laki-laki di hadapan ibunya.

Rey mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Rolan. "Nama om, Rey. Om temen ibu kamu."

Mendengar pernyataan itu, mulut Rolan membentuk huruf O.

"Ibu, aku mau itu," pinta Rolan sambil menunjuk kios penjual burger di samping sekolahnya.

"Biar om yang traktir aja gimana?" tawar Rey.

"Eh, gak usah, Rey," tolak Naya.
"Gak apa-apa, ayok." Rey mengajak Rolan yang bersemangat ingin makan burger.

Naya mengikuti dua laki-laki itu yang bersemangat menuju kios tempat jualan burger tersebut.

"Kamu juga pesen, Nay," tawar Rey.
"Gak usah, Rey."

Penolakan itu tidak didengar oleh Rey, dia membelikan juga burger untuk Naya.

Menunggu pesanan disajikan, Rey membuka obrolan dan bertanya tentang kehidupan Naya saat ini, mereka pun saling berbincang, sedangkan Rolan sibuk memperhatikan burger yang sedang dibuat.

Setelah burger selesai dibuat, mata Rolan berbinar-binar ingin menyantap makanan itu. Dengan inisiatif dia tidak lupa mengucapkan 'terima kasih' kepada Rey, dan tanpa disuruh oleh ibunya.

"Makannya pelan-pelan, sayang." Naya merapikan tatanan rambut Rolan yang berantakan, entah anak itu habis melakukan kegiatan apa selama di kelas tadi.

"Ibu juga makan," suruh Rolan, "Adek mau juga?" Dengan polosnya anak itu menawarkan burger ke adiknya.

Nala hanya menatap kakaknya sambil menghisap dot bayi di mulutnya.

"Belum waktunya adek makan itu," jelas Naya.

Sementara Rey terlihat gemas melihat interaksi ibu dan anak itu.

Selama mereka menikmati makanan, Rey juga menanyai beberapa pertanyaan kepada Rolan, untuk bahan artikel yang akan dia tulis tentang sekolah taman kanak-kanak itu.

•○•

Sore harinya, Naya sedang sibuk menata pakaian, memasukkan satu persatu lipatan baju ke dalam lemari. Sementara Rolan sedang sibuk menggambar sambil menonton televisi.

"Kakak mandi dulu, yuk."
"Hh—nanti aja, ibu—" Rolan mengerucutkan bibirnya.

"Iya. Nanti dilanjutin lagi, ya. Ayo sekarang mandi dulu." Dengan setengah kemauan, Rolan menuruti apa perintah ibunya.

"Mau ibu tungguin atau sendiri?"
"Sendiri," jawab lantang Rolan.

Pintu kamar mandi dibuka sedikit oleh Naya, lalu meninggalkan anaknya yang ingin mandi sendiri.

Tak lama setelah itu, pintu apartemen terbuka, masuk sosok Reno yang baru saja pulang kerja lebih awal.

"Eh, kamu udah pulang." Naya membantu menaruh tas Reno ke atas kursi.

Dengan sigap Reno meraih tubuh Naya, beberapa detik bibir mereka saling menyatu.

"Ibu—" panggil Rolan dari dalam kamar mandi.

"Rolan lagi mandi?" Naya mengangguk memberikan jawaban.

Sudut bibir Reno terangkat. Tanpa basa basi dia langsung membuka seluruh pakaiannya di depan Naya, kemudian masuk ke dalam kamar mandi menyusul anaknya.

"AYAHHH!!!" Terdengar teriak Rolan.

Melihat pemandangan itu, Naya hanya menggelengkan kepalanya, memungut pakaian yang berserakan, kemudian melanjutkan kegiatan yang sebelumnya sempat tertunda.

"Ayah, geli."

Sayup-sayup suara tertawa dan teriakan-teriakan kecil Rolan terdengar keluar. Selama mandi, Reno selalu bercanda dan mengusili anaknya.

Selesai membersihkan tubuh, ayah dan anak itu pun keluar kamar mandi dengan cekikikan.

"Udah mandinya? Sekarang giliran adek yang mandi," ujar Naya, dan menyiapkan bak mandi untuk Nala.

"Mau aku bantuin?" tawar Reno.
"Gak usah, kamu bantuin Rolan aja tuh." Sepersekian detik Reno mengecup kening Naya, seakan mengucapkan terima kasih.

.

Hari yang cukup melelahkan bagi Naya. Meskipun begitu, sebuah senyuman selalu terukir di wajahnya.

Selesai memandikan dan menyusui Nala, kemudian membersihkan dirinya sendiri, akhirnya Naya bisa mengistirahatkan tubuhnya di atas ranjang.

Reno mengambil tempat di samping Naya, menjadikan lengannya sebagai bantal. Mereka secara bersamaan memandangi anak pertama yang kembali sibuk menggambar.

"Anak kita cepet banget gedenya, ya." Entah sudah berapa kali Reno melontarkan pernyataan serupa, setiap kali dia memperhatikan anaknya.

"Iya dong, masa mau kecil terus," balas Naya.

Rolan tampak serius menggambar dengan sebatang pensil di tangannya dan pensil warna yang bertebaran di atas meja.

"Tadi Papa kirim uang lagi ke aku." Naya memainkan jari tangan Reno yang memeluk perutnya.

"Hmm—"
"Gak apa-apa 'kan?" tanya Naya yang membuat wajah Reno kebingungan sambil menatap istrinya itu.

"Emang kenapa?"
"Enggak—gak apa-apa kok."
"Kamu kenapa sih?" heran Reno sambil tertawa kecil.

"Tapi, ayah kamu 'kan yang kirim uangnya. Bukan sugar daddy 'kan?" bisik Reno dengan tatapan menyelidik.

"Ih, nyebelin," gemas Naya mencubit pelan tangan Reno.

Naya takut kiriman uang dari ayahnya dapat menyinggung Reno sang pencari nafkah. Dia bisa berpikir seperti itu karena setelah menikah dia masih sering mendapatkan kiriman uang tiap bulan dari ayahnya, yang masih terbiasa dengan status Naya saat masih menjadi mahasiswa.

Bahkan beberapa kebutuhan rumah tangganya sebagian besar dibiayai oleh orang tuanya, begitupun dengan biaya sekolah TK Rolan yang cukup mahal. Naya tidak enak dengan Reno karena terus diberikan bantuan.

•○•

Rumah di Ujung SanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang