11. Sepeda

1.4K 132 3
                                    

Sehabis memandikan dan sedang memakaikan baju kepada anak perempuannya, Naya tidak sengaja mendengar percakapan Reno di balkon. Suaminya itu terdengar berbincang dengan seseorang di ponselnya secara bisik-bisik.

"Siapa itu tadi?" tanya Naya yang menunggu Reno selesai dengan urusannya.
"Hah? Bukan siapa-siapa," jawab Reno linglung mencari alasan.

"Gak usah bohong, Ren. Aku denger semuanya." Naya menghela napas pelan, tampak lelah dengan kelakuan suaminya itu.

"Ayo, Kak. Sekarang aja kita ke rumah neneknya. Kakak masukin barang-barang kakak," ajak Naya kepada Rolan, mengambil tas anaknya dan sebuah koper.

"Nay—" Reno mencoba menahan tangan istrinya. "Dengerin dulu."
"Apalagi? Kalo udah kayak gini, mau gimana lagi?" Reno menarik Naya ke balkon, sengaja menghindar dari anak mereka.

"Aku—" Rangkaian kata di otaknya seketika menghilang.
"'Kan aku udah bilang, stop judi, berhenti. Jangan-jangan kamu ikut judi-judi slot yang lagi viral itu." Naya terus menerus menggelengkan kepalanya.

"Aku bakal selesaiin semuanya, pake uang aku sendiri, bukan tabungan kita." Reno berusaha menjelaskan.

"Gak, cukup. Aku gak mau tau. Judi gak akan bikin kamu kaya, Reno!" Naya segera masuk ke dalam, kembali mengemas baju dan barang-barangnya.

"Ayo, Kak. Beres-beres barang yang mau dibawa. Kita pergi sekarang juga."

Reno hanya memandangi istri dan anaknya yang sedang berkemas, dengan ekspresi sendu, tidak berani menahan pergerakan sang istri.

°○°

"Ayah, ayah kok gak ikut ke rumah nenek?" Reno menurunkan Rolan dari gendongannya serta mendudukan anaknya untuk menunggu keberangkatan shuttle bus.

"Nanti ayah nyusul." Reno mengusap lembut rambut anaknya.
"Kenapa gak sekarang aja?" Rolan bertanya lagi.

"Ayah harus kerja, sayang." Kali ini Naya yang menjawab.
"Ayah kerja terus, gak libur kayak aku?"

"Ayah liburnya nanti," jawab Reno sambil memeluk dan mengecup pipi anaknya berulang kali.

"Ihh—ayah, udah." Tubuh Rolan meronta-ronta sambil tertawa geli.
"Bilang dulu, kakak sayang sama ayah."

"Iya, kakak sayang sama ayah."
"Bohong, kakak pelukin dino terus, ayah nggak dipeluk." Rolan tertawa lagi karena godaan Reno, kemudian dia memeluk ayahnya.

Biarkan anak itu tetap melihat orang tuanya memiliki hubungan yang baik-baik saja, tanpa percekcokan maupun perdebatan. Jangan biarkan dia melihat dan mendengar sesuatu yang belum waktunya dia ketahui.

Reno menghampiri Naya untuk mengambil alih Nala dari gendongan istrinya, yang sedang mengkonfirmasi tiket yang telah dipesan secara online.

"Kakak nanti jagain adek ya." Reno kembali lagi duduk di samping anaknya.
"Aku setiap hari jagain adek." Rolan membanggakan dirinya.

Sementara itu, yang menjadi objek pembicaraan tampak tenang dengan sebuah dot di mulutnya dan tidak rewel berada di gendongan ayahnya.

Beberapa menit lagi bus akan segera pergi, para penumpang bersiap masuk ke dalam bus dan duduk di kursi masing-masing.

Sebelum pergi, Reno memberikan kecupan hangat dan memeluk dua anaknya, sedangkan dengan sang istri, mereka hanya saling memandang satu sama lain, tanpa sepatah kata pun yang keluar.

"Kakak, ayo masuk," ajak Naya.
"Dadah ayah—" Rolan melambaikan tangan mungilnya, begitupun Reno.

Sepanjang perjalanan, Rolan membaca pelan setiap huruf bahkan kata yang sudah bisa dia baca yang dia lihat di pinggir jalan dari balik jendela mobil. Dia juga memamerkan kemampuannya pada sang ibu.

"Ibu, itu ada sapi. Adek liat." Rolan begitu bersemangat melihat beberapa sapi yang diangkut di dalam sebuah truk. Begitupun dengan hal-hal yang dia lihat di jalan, hingga dia mengantuk dan tertidur pulas.

°○°

"Nenek!!!" Rolan berlari menghampiri nenek dan kakeknya.

Sang kakek sudah mempersiapkan hadiah berupa sepeda kepada cucunya.

"Ih, papa gak usah repot-repot pake beliin sepeda segala," ucap Naya.
"Gak apa-apa 'kan buat cucu papa sendiri."

Beberapa waktu lalu Rolan sempat menghubungi kakek dan neneknya dengan sebuah panggilan video, saat ditanya sedang menginginkan apa, di pikirannya hanya ada kata sepeda.

Meskipun bukan hari ulang tahunnya, dia bisa mendapatkan apa yang dia mau.

"Wah—sepeda. Makasih kakek." Rolan kembali memeluk kakeknya, kemudian melompat-lompat gembira.

"Ibu, kakak mau main sepeda."
"Nanti, makan dulu. Kakak tadi belum mau makan. Sekarang ayo makan masakan nenek."

Selagi makan, orang tua Naya bertanya keberadaan Reno, kenapa tidak ikut dan kapan akan menyusul. Naya pun memberikan jawaban seadanya saja bahwa Reno masih bekerja dan belum mendapatkan waktu libur.

Dari teras rumah, Naya memandangi anaknya yang sedang belajar mengendarai sepeda-yang masih menggunakan roda bantuan-dibantu oleh sang kakek. Lengkap dengan helm, pelindung siku dan lutut yang akan melindungi ketika terjatuh.

Meskipun berkali-kali terjatuh karena kurang dalam hal keseimbangan, Rolan tidak gampang menyerah, justru membuatnya semakin bersemangat belajar.

"Ibu—" Rolan melambaikan tangannya, Naya pun membalasnya sambil tersenyum hangat. Beberapa kali Naya memotret momen bahagia anaknya itu.

.

"Ibu, krayon kakak ada di mana?" Rolan menghampiri ibunya di kamar.
"Loh, bukannya tadi kakak yang pake. Coba inget-inget lagi di mana," tutur pelan Naya.

Setelah mendengar pernyataan itu, seketika Rolan teringat sesuatu, dia langsung berlari kecil menuju teras belakang rumah.

"Ini ibu, ternyata ada di belakang."
"Kakak mau gambar? Di meja ibu aja di situ," ujaran Naya terdengar parau.

"Ibu tadi abis nangis ya?" tanya Rolan yang polos.
"Enggak, ibu gak nangis." Naya berusaha bersikap tegar di depan anaknya.

"Bohong, kakak tau ibu nangis." Naya tersenyum, air matanya ditahan agar tidak keluar. Anaknya sangat peka.

"Ibu cuma lagi inget-inget waktu ibu masih kecil yang tinggal di sini." Naya menciptakan topik baru untuk dibahas.

Dia beranjak dari kasur, lalu mengeluarkan sebuah album foto dari lemarinya. Buku itu dia tunjukkan pada Rolan.

"Kakak mau liat ibu masih kecil gak?"
"Mau, mau."

"Ini dulu waktu ibu masih kecil." Naya menunjukkan album foto milik ibunya.

Naya hanya mendeskripsikan foto-foto dirinya yang ada di dalam album tersebut.

"Ini ibu?" tanya Rolan sambil memandangi dirinya yang masih di dalam perut.

"Iya, ini ibu waktu baru lahir."
"Ibu kecil kayak adek," ucap Rolan dengan menoleh melihat adiknya yang sedang tertidur dan Naya tertawa pelan mendengar itu.

Ponsel Naya berbunyi tanda panggilan masuk. Namun, begitu melihat siapa yang menghubungi, dia langsung mematikan ponselnya dan kembali melanjutkan kegiatan bersama anaknya. Ponsel itu kembali berbunyi, Naya mengabaikannya lagi.

"Kakak gambar dulu ya, ibu mau angkat telepon dulu." Rolan mengangguk mengerti.

Di teras belakang rumah, Naya mengangkat panggilan tersebut.

"Nay." panggil seseorang dari seberang sana. Namun, Naya tidak mengeluarkan sepatah katapun.

"Nay, jawab dong." Naya tetap tidak menjawab.

"Aku minta maaf—" Belum selesai kalimat tersebut terucap, Naya dengan cepat memutuskan panggilan itu, lalu kembali ke kamarnya dan mematikan ponselnya.

°○°

Rumah di Ujung SanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang