5. Siapa yang Salah?

2.1K 170 6
                                    

Alvin dan Melani sedang menunggu kedatangan Naya di lobi rumah sakit.

"Lu harus minta maaf ke Naya, nanti, Vin. Bisa-bisanya jajanin anak orang sembarangan."

"Iya, iya," melas Alvin sambil memegang pipi kanannya yang habis ditampar oleh Melani.

Setelah Rolan mendapatkan perawatan, Alvin menceritakan kembali apa saja yang dia lakukan sebelum Rolan sakit kepada Melani, dan detik itu juga dia mendapatkan balasan walaupun belum setimpa dengan rasa sakit yang dialami Rolan.

"Gua 'kan gak tau, bocil-bocil deket kos sering gua traktir jajanan yang sama, tapi mereka baik-baik aja," jelas Alvin dan mendapatkan sikutan di perutnya.

"Alesan aja lu," sinis Melani. "Daya tahan tubuh orang tuh beda-beda, apalagi anak-anak, masa gitu aja gak tau."

"Gua mana kepikiran sampe situ, orang mau nraktir doang." Mendengar itu, Melani kembali menyikut perut Alvin.

"Eh, itu, itu Naya." Melani segera menghampiri temannya itu.

"Mel, Rolan mana?"
"Kamu tenang, sini biar Nala sama aku, kamu ke ruangan Rolan dianter Alvin."

Melani mengambil alih Nala dari gendongan Naya. Sesuai dengan aturan rumah sakit anak di bawah 12 tahun, termasuk bayi tidak diperbolehkan untuk menjenguk.

"Kamu tenang aja, Nala aman sama aku." Bisa dibilang sejak Naya memiliki Rolan, Melani sudah terbiasa jika harus menjaga atau mengurus bayi. Ketika mereka bertemu, Melani selalu mendapatkan ilmu-ilmu baru tentang mengurus seorang anak.

.

Di ruang perawatan, Rolan tidak bisa tidur, dia ingin menunggu ibunya datang. Demamnya terus naik.

"Kakak gak tidur?" Reno menatap anaknya sendu.

"Kakak gak bisa tidur, aku mau ibu." Rolan membutuhkan ibunya.

"Ayah keluar dulu ya, jemput ibu." Sebenarnya Reno keluar ingin menghirup angin malam, dan melepas penatnya.

Reno berjalan keluar ruangan, menutup pintu, lalu seseorang dengan langkah cepat menghampirinya.

"Kamu apain Rolan?" cecar Naya setengah teriak kepada Reno.

Reno sedikit bingung dengan kedatangan Naya. Dia tidak menyangka akan secepatnya ini. Dia pikir istrinya itu akan datang di pagi hari.

"Apaan sih kamu, aku gak ngapa-ngapain." Reno membela diri.

Sebelum terjadi peperangan, Alvin buru-buru menengahi pasangan tersebut. "Nay, gua minta maaf banget, udah beliin jajanan sembarangan buat Rolan. Udah lu berdua gak usah berantem terus, gua yang salah."

"DIEM, VIN!" bentak Naya yang membuat Alvin bungkam seketika,

"Harusnya dia tau dong apa yang dimakan sama anaknya, harusnya dia ngelarang kamu. Itu lah yang dipeduliin cuma judi judinya itu," sindir Naya penuh penekanan dalam setiap kalimatnya, meluapkan emosi yang dia pendam, lalu mengalihkan tatapan tajamnya ke arah Reno.

"Loh! Kenapa jadi bawa bawa judi?" sewot Reno ketika hobinya telah disinggung.

"Kamu pikir aja sendiri, yang ada di otak kamu itu cuma main." Naya terus-terusan mencecar suaminya.

"Kamu juga sering tuh beliin Rolan jajanan sembarangan di depan sekolahnya itu," ujar Reno menyerang balik. Mereka saling bertatapan.

"Permisi, Ibu, Bapak, mohon maaf kalau bisa jangan berdebat di sini, nanti mengganggu pasien yang lain. Lebih baik temani anaknya saja di dalam yang sedang sakit." Seorang suster tiba-tiba datang menghampiri mereka untuk menetralkan keadaan.

Naya disadarkan oleh omongan suster tersebut. Bisa-bisanya dia meluapkan emosi dan tidak segera menemui anaknya yang sedang sakit.

"Udah, udah—yuk masuk, masuk, Rolan nungguin lu dari tadi." Alvin menarik tubuh Reno untuk menyingkir dari depan pintu. Mempersilahkan Naya untuk melihat anaknya.

"Ibu—" panggil Rolan begitu melihat Naya, jika dia tidak sedang diinfus, mungkin dia akan berlari dan memeluk ibunya.

Naya berusaha sekuat tenaga untuk menahan tangisnya. Separah apa keadaan anaknya? Sampai harus ditusuk alat medis seperti itu.

"Iya, sayang. Ibu di sini." Air mata Naya lolos, tangannya menggenggam erat tangan anaknya yang tidak tertusuk jarum. Hari-hari biasa anaknya itu selalu ceria, tidak bisa diam, kini terbaring lemas di ranjang rumah sakit. Membuat hatinya seperti dicabik-cabik.

"Ibu jangan nangis, kakak jadi ikut sedih." Tangan mungil Rolan terangkat untuk menghapus air mata ibunya.

"Ibu berantem lagi sama ayah?" Naya menggelengkan kepalanya.
"Enggak, ibu gak berantem sama ayah."

Sepertinya akhir-akhir ini anak itu sering melihat orang tuanya bertengkar. Meskipun tidak secara langsung di hadapannya, tetapi dia masih memiliki telinga yang bisa mendengarkan tuturan-tuturan yang terjadi di rumahnya.

Dari pintu, Reno yang melihat pemandangan itu, merasa dirinya tidak pantas jika ikut masuk ke dalam ruangan tersebut. Dia pun melanjutkan niatnya untuk menenangkan pikiran.

Di lobi rumah sakit dia melihat Melani yang sedang menggendong Nala yang tertidur, lalu menghampiri temannya itu.

Satu jam lebih mereka duduk di lobi rumah sakit dalam diam. Nala yang tertidur dengan damai di gendongan Melani. Alvin yang sibuk dengan ponselnya, dan Reno yang melamun menatap lurus sebuah akuarium di hadapannya, memperhatikan ikan yang seolah tidak pernah tidur.

"Lu berdua kalo mau pulang, pulang aja," cetus Reno pada kedua temannya dalam keheningan dan sejak setengah jam lalu dia melihat Alvin yang berulang kali menguap.

"Serius lu bisa jagain Nala?" Pertanyaan sinis dari Melani.
"Ya 'kan anak gua sendiri," jawab Reno tidak kalah sinis.

"Mending Nala juga pulang deh, takutnya dia kena penyakit juga di sini," saran Alvin sedikit lebih bijak.

"Kalo gitu berarti Naya harus pulang juga. Nala butuh ibunya," kata Reno.
"Yaudah lu malem ini jagain anak lu. Besok pagi gantian sama Naya," tambah Alvin.

Reno berjalan sendiri menuju kamar rawat inap Rolan. Di kamar itu anaknya telah tertidur pulas, sedangkan istrinya masih setia duduk di samping ranjang anaknya.

"Kamu istirahat di kos Melani aja dulu sama Nala. Kasian dia lama-lama di rumah sakit, nanti kenapa-napa," suruh Reno.

Naya menoleh ke sumber suara. "Ternyata kamu masih peduli sama anak kamu."

Reno memutar bola matanya, ingin marah, tapi tidak bisa. Itu hanya akan membuang-buang waktu dan tenaganya, masalah pun tidak akan selesai.

"Aku gak mau berantem lagi, terserah kamu mau bilang apa. Terserah kamu juga mau ngapain." Reno sudah terlalu lelah untuk berdebat. Dia pun merebahkan dirinya di sofa ruangan tersebut, kemudian memejamkan matanya dan menghela napas panjang.

Jika dia terus membalas dan tidak ada yang mau mengalah, dapat dipastikan perdebatan sekaligus pertikaian tersebut tidak akan pernah selesai hingga anak mereka keluar dari rumah sakit. Saat ini yang dibutuhkan bukan saling menyalahkan satu sama lain, tetapi saling menguatkan dan menjaga agar kejadian seperti sekarang ini tidak terulang kembali.

Perselisihan tidak mungkin bisa menyembuhkan Rolan, justru hanya akan membuat anak itu semakin banyak mendapatkan tekanan dari orang tuanya sendiri. Dia akan berpikir, orang tuanya bertengkar karena dirinya.

°○°

Rumah di Ujung SanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang