Naya tengah menyiapkan beberapa kosmetiknya untuk merias wajah. Hari ini adalah jadwal pengambilan rapor Rolan. Sedangkan Reno sibuk mengganggu dengan bergelayut manja memeluk Naya yang sedang berhias.
"Mendingan kamu siap-siap deh," suruh Naya.
"Santai dulu lah, aku mah cepet dandannya, gak kayak kamu." Selain ledekan, satu kecupan juga Naya dapatkan di pipinya. Bukannya tersipu malu, dia malah memutarkan kedua bola matanya.
"Ih, siapa ini? Anak ayah cantik sekali." Reno menghampiri putrinya yang berada di kasur, sudah berdandan rapi dan wangi khas seorang bayi. Lalu digendongnya bayi itu. Nala tertawa lucu ketika sang ayah terus menerus menciuminya.
"Hayo ini siapa yang berantakin?" tanya Naya setengah teriak saat membuka lemari pakaian dan melihat isinya yang setengah berantakan.
"Pelan-pelan dong kalo ngambil bajunya," dumelnya. Sebenarnya terlihat juga dengan jelas di bagian pakaian Reno lah yang letaknya tidak karuan.
"Kakak udah siap?" Naya menghampiri anak laki-lakinya yang sedang duduk anteng di depan televisi.
"Sini ibu rapihin rambutnya. Ini pasti kerjaan ayah ya, masih berantakan gini." Perlahan Naya menyisir rambut yang mulai tumbuh lebat itu.
"Ayuk, yuk. Berangkat. Matiin tvnya, Kak."
Setelah pintu tertutup, ruangan apartemen itu pun sepi dan sunyi. Menunggu penghuni tempat tinggalnya datang kembali.
Keluarga tersebut sampai di sekolah yang jaraknya tidak jauh dari apartemen. Dari parkiran motor mereka sekeluarga berjalan menuju kelas Rolan. Naya tersenyum melihat memandangi suami dan anak-anaknya berjalan bersama. Lengan kanan Reno menggendong Nala dan tangan kirinya menggandeng Rolan. Tidak pernah terbayangkan olehnya bisa memiliki kenangan keluarga seperti ini.
Di kelas, Rolan serta orang tuanya duduk berhadapan dengan dua guru yang mengajar Rolan selama di kelas.
"Rolan sering bantu teman-temannya di kelas, sering bercanda juga nih di kelas kalau bu guru lagi ngajar. Paling sering bercandanya sama Leo, tapi pernah juga berantem sama Leo ya waktu itu."
Pernah sekali tiba-tiba Naya dipanggil ke sekolah padahal belum waktunya jam pulang, ternyata karena Rolan bertengkar dengan teman sekelasnya hingga mereka menangis. Rolan memberikan pernyataan, alasan pertengkaran itu terjadi karena Leo selalu mengganggu Aira, yang memicu Rolan mendorong temannya itu, berakhirlah dengan aksi saling mendorong.
"Ini laporan belajar Rolan." Guru tersebut memberikan buku rapor beserta tugas-tugas selama belajar di kelas, "Ini jurnal harian Rolan." Setiap hari diberikan kertas kosong dan alat tulis, dibiarkannya para murid itu menulis atau menggambar apapun yang mereka mau.
"Ini gambar-gambar kakak?" Rolan mengangguk.
"Rolan kalau mau main gabung sama temen-temen di luar boleh," ucap salah satu guru itu, kemudian sedikit memberikan kode mata pada orang tua Rolan, dengan memegang beberapa lembar kertas jurnal yang belum diperlihatkan.
Setelah Rolan berlari keluar kelas, Naya dan Reno diperlihatkan lima kertas jurnal yang lain. Sang guru menjelaskan, arti gambar di jurnal tersebut dari Rolan sendiri yang menceritakan kepada gurunya. Dari menggambar dirinya yang sedih, gambar hati yang retak, orang tua yang marah sedangkan adiknya menangis.
"Berdasarkan jurnal-jurnal harian ini, hari Rolan di rumah sedang tidak baik-baik saja. Beberapa kali juga Rolan tampak murung, sangat berbeda dengan dirinya yang biasa ceria, banyak bicara." Naya dan Reno saling bertatapan, mereka sama-sama merasa bersalah.
"Masalah keluarga di rumah juga bisa membuat anak sulit berkonsentrasi saat belajar dan sosialisasi di sekolah. Rolan tipe anak yang memilih untuk memendam kegelisahannya dan menyalurkannya dengan menggambar." Dengan seksama orang tua itu menyimak pernyataan yang dilontarkan oleh guru anaknya itu.
Begitu selesai mereka sangat berterima kasih kepada guru-guru yang mengajarkan anaknya di sekolah.
Dari lorong kelas, sambil menggendong anak perempuannya, Naya melihat anak laki-lakinya yang sedang bermain, dengan Reno yang memeluknya dari belakang.
"Maaf—" gumam Reno pelan.
"Gak apa-apa. Aku juga salah." Naya mengelus tangan Reno di perutnya."Udah ah sedih-sedihnya, kita makan-makan, yuk," ajak Reno dengan semangat.
"Makan apa?"
"Kamu maunya apa? Makan steak mau gak? Pizza?" tawar Reno."Hhh, emang ada duitnya? Ga usah macem-macem deh," imbuh Naya.
"Bukan Rolan doang kali yang dapet 'rapot', aku juga.""Hah?" bingung Naya.
"Udah lah, ayo." Reno menarik lengan Naya."Kamu judi lagi ya?" Reno tidak menjawab, tetap menyeret Naya untuk menjemput Rolan.
Mereka pun makan di restoran Pizza yang berada di sebuah mal, sesuai pilihan Rolan.
Selain makan-makan, Reno juga mengajak anaknya ke playground. Reno tampak lebih bersemangat daripada kedua anaknya itu.
"Ini mah yang main bukan anaknya," sindir Naya.
Reno tertawa pelan dan melemparkan bola kecil yang mengenai kepala Naya, hingga terjadi kegiatan saling menyerang satu sama lain dengan bola. Rolan ikut membantu Ibunya menyerang sang ayah.
Kegiatan tersebut akan menjadi salah satu momen yang tidak terlupakan.
°○°
Hari berikut pada di sore hari, Rolan berteriak serta membentak ibunya menolak untuk mandi dan makan karena tantrum tidak dibelikan suatu mainan yang ada di minimarket.
"ROLAN!" bentak Reno, kesabarannya telah habis. Pasalnya anaknya itu sudah dibelikan mainan. Namun, jatahnya memang hanya satu, tetapi dia ingin membeli dua mainan bahkan tiga.
"Dengerin Ibu!" Saat itu juga Rolan menangis.
Reno menahan Naya untuk tidak menghampiri putranya. "Udah biarin aja, dia nangis."
Dengan cueknya Reno mengabaikan anak yang sedang menangis itu, dia mengajak Naya berbicara dan membantu membereskan alat makan. Sesekali memanas-manasi Rolan tidak mendapatkan makanan.
Begitu tangisan Rolan nangis, Reno baru menghampiri anak itu ke sofa.
"Kakak tadi kenapa kayak gitu ke Ibu?"
"Aku—mau mainan," jawab Rolan masih dengan sisa tangisannya."'Kan udah beli itu mainannya."
"Kakak mau yang satu lagi.""Nanti, nanti, sekarang mainin aja yang itu dulu. Jangan kayak gitu lagi. Mau ayah gak beliin mainan selamanya?"
"Gak mau," cemberut Rolan."Ayah gak suka kakak bentak-bentak Ibu kayak tadi."
"Ayah juga sering kayak gitu ke ibu," balas Rolan yang membuat Reno terdiam sepersekian detik."Ya—ya mangkanya ibu gak suka kalo ada yang bentak-bentak atau teriak ke ibu. Ayo sekarang minta maaf ke Ibu."
Rolan menghapus sisa air matanya, kemudian berlari dan memeluk ibunya.
"Maafin kakak, ibu.""Kakak jangan gitu lagi ya," lembut Naya mengelus rambut anaknya.
"Makan dulu, kakak doang yang belum makan."Naya berdeham pada Reno, menggerakan matanya agar suaminya itu ikut duduk di samping anaknya yang tadi habis dimarahi untuk diajak berbincang. Bukan tanpa alasan, hal tersebut biasa dilakukan ketika Reno marah dan juga atas permintaan laki-laki tersebut, agar Rolan tidak benci atau takut dengan ayahnya.
°○°
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah di Ujung Sana
ChickLitTernyata menikah bukan hanya perkara zinah yang halal dan hidup bahagia karena memiliki anak yang lucu. Masalah pasti akan datang kepada mereka yang masih bernapas di bumi ini. Terutama masalah dalam rumah tangga. °○° 21+ Cerita kedua lanjutan dari...