6. Gambar

1.8K 150 2
                                    

Esok harinya sehabis kondisi tubuhnya diperiksa, Rolan diberikan beberapa makanan sehat ke ruangan tempatnya dirawat, Reno terus menerus membujuk anaknya untuk makan.

"Kakak ayo makan dulu, ayah suapin."
"Gak mau, aku maunya es krim," dan Rolan selalu menolak untuk makan.

"Iya, nanti." Reno lebih mendekatkan tubuhnya kepada Rolan. "Kalo kakak mau es krim, kakak harus sembuh dulu. Nah, kalo kakak mau sembuh, kakak harus makan." Pelan-pelan Reno menjelaskan.

"Kakak mau sama ibu." Reno menghela napas panjang, lagi-lagi sang ibu yang dicari.

"Oke, sama ibu, tapi makan ya." Rolan mengangguk.

Tak lama setelah itu, Naya datang bersama dengan Rian yang juga ingin menjenguk Rolan, sedangkan Melani dan Alvin seperti tadi malam menunggu di lobi rumah sakit sambil menjaga Nala.

Reno memandang Rian dengan tatapan sinis, tidak suka dengan keberadaan pria itu. Tadinya saat Naya kembali ke rumah sakit, Reno ingin balik ke kos. Namun, setelah melihat kedatangan Rian bersama istrinya itu, dia jadi mengurungkan niatnya untuk pulang.

"Om Rian ke sini?" kata Rolan
"Iya, om mau jenguk Rolan. Om juga bawa buah-buahan buat Rolan." Rian memberikan beberapa macam buah yang dia beli.

"Aku maunya es krim."
"Nanti kalo kakak udah sembuh ya. Nanti kita bikin es krim pake buah dari om Rian. Bilang makasih dulu ke om," jelas Naya.

"Makasih om."
"Iya sama-sama." Rian tersenyum hangat, lalu mengelus rambut Rolan. "Cepet sembuh, ya."

Reno di sofa memperhatikan interaksi mereka dan membuatnya sedikit geram.

"Sekarang kakak makan dulu yuk." Sekali dibujuk oleh sang ibu, Rolan langsung mau melahap makanannya. Meskipun tidak menghabiskan makanan itu.

"Udah, ibu." Rolan menolak suapan selanjutnya.

"Satu kali lagi." Anak itu mau membuka lagi mulutnya. "Pinter anak ibu."

Selain Naya, Rian juga ikut membantu menghibur Rolan di sela kegiatan makan itu, agar Rolan tidak terlalu tersiksa dengan makanan rumah sakit. Setelah Rolan selesai makan, Rian berpamitan, dia juga harus pergi bekerja.

"Kamu pulang aja dulu ke apartemen, hari ini kamu kerja 'kan?" suruh Naya.

Alih-alih menjawab, Reno justru tidak bisa mengalihkan pandangannya dari tubuh istrinya. Saat mereka sedang bersitegang, kenapa istrinya semakin hari semakin membuatnya tergoda.

Saat ini Naya terlihat menggairahkan. Kalau saja gengsi Reno tidak setinggi langit, mungkin kini mereka sedang berpelukan, saling menguatkan satu sama lain, atau mungkin lebih dari sekedar berpelukan.

"Ren?" suara lembut itu yang biasanya Reno dengar di pagi hari.

"Oh, iya, iya. Kalo gitu aku pulang dulu. Sekalian aku ngabarin ke sekolah, Rolan gak masuk." Reno menyadarkan dirinya dari gairah yang ingin keluar.

"Butuh surat dokter gak?" Bahkan Naya juga lupa untuk mengabari guru Rolan.

"Nanti aku sekalian minta. Kakak ayah pulang dulu ya, nanti ayah ke sini lagi." Dikecupnya kening anaknya itu.

"Aku duluan." Reno sedikit canggung saat berpamitan dengan Naya. Dalam hatinya, dia ingin memeluk dan mencium istrinya itu.

Namun, hal itu tidak terjadi, egonya terlalu tinggi. Setidaknya dia masih ingin berpamitan. Tanpa berlama-lama, dia pun pergi menuju lobi rumah sakit dan menemui Alvin.

"Anterin gua, Vin."
"Lah, kemana?" tanya Alvin bingung.

"Ya, ke kos lah. Gua mau pulang, mau kerja."
"Oh iya, gua hari ini kerja juga ya," gumam Alvin.

Mereka pun segera menuju parkiran mobil untuk kembali ke kos, sedangkan Melani tidak ada kelas pagi ini dan tetap menyempatkan waktu untuk membantu temannya menjaga Nala.

"Napa lu?" tanya Alvin kepada manusia di sampingnya yang terus-terusan membuang napas kasar dan berdecak kesal.

Reno tidak menjawab dan lebih memilih memejamkan matanya sambil memijat-mijat dahinya.

"Mending lu minta maaf, Ren. Belom minta maaf 'kan lu ke Naya," saran Alvin agar mereka berdamai dan ada lagi percekcokan yang hanya akan membuang-buang waktu saja.

"Turunin gengsi lu." Reno menoleh ke arah Alvin dan mengerutkan dahinya heran. Bisa-bisanya kalimat seperti itu keluar dari mulut temannya yang memiliki sifat seperti dirinya.

"Tumben lu bijak."
"Lah—gua mah bijak terus. Lagian minta maaf doang, gampang. Tinggal bilang aja "maaf" gitu."

"Iya, nanti pas pulang kerja."
"Buruan minta maaf jangan lama-lama, biar gak main pake tangan terus," ledek Alvin.

"Bangsat!" Tangan Reno menepuk bagian belakang kepala Alvin. "Gak, gak jadi bijak lu." Alvin terus mengeluarkan tawa puasnya.

•○•

"Ibu—aku bosen," keluhan keluar dari mulut Rolan.

Naya menghampiri anaknya. "Kakak mau gambar? Ini Ibu bawa buku gambar punya kakak."

Rolan mengangguk, tetapi tidak begitu bersemangat melakukan kegiatan yang dia sangat sukai.

"Ibu, aku kapan pulang?"
"Beberapa hari lagi kok. Kakak sekarang udah mendingan," jawab Naya sambil menyisir rambut si buah hati.

"Kakak kangen sama adek."
"Sabar ya, secepatnya nanti kakak ketemu adek lagi. Kakak lagi gambar adek?"

"Iya, ini adek sama kakak lagi naik perahu. Terus di bawahnya ada ikan paus." Selain menggambar, Rolan selalu menceritakan apa yang dia gambar dengan membuat narasi-narasi cerita yang diimajinasikannya, lalu dia akan menyampaikan ceritanya itu kepada orang tuanya, ataupun orang sekitar yang dia kenal.

"Kakak mau ketemu adek? Kita telfon tante Melani dulu." Naya mengulurkan ponselnya pada Rolan, membuat panggilan video untuk Melani.

Setelah itu muncul wajah Melani di layar yang sedang menggendong Nala. "Halo, Nay. Kenapa?"

"Ini, Mel. Rolan mau liat adeknya."
Dengan sigap Melani mengarahkan ponselnya menghadap wajah Nala, tetapi tidak begitu dekat.

"Nala, itu ada kakak Rolan sama Ibu. Halo kakak—" Nala tersenyum lebar begitu melihat kakaknya dan tertawa senang.

Rolan pun sudut bibirnya terangkat saat melihat wajah adiknya terpampang jelas di layar ponsel.

"Adek lagi apa?" tanya Rolan.
"Tadi adek abis berjemur, kakak." Melani yang menjawab pertanyaan itu dengan menirukan suara anak kecil.

Rolan menunjukkan hasil gambarnya kepada adiknya, menceritakan hasil gambarnya itu dengan sosok adiknya di gambar itu sebagai karakter utama di ceritanya. Nala menganggukkan kepala seolah mengerti maksud kakaknya itu.

Selesai dua anaknya bertemu kangen, Naya bangkit berjalan menjauh dari ranjang Rolan.

"Kalian berduaan aja di situ, Mel?" Naya ingin memastikan apa Reno benar-benar pergi bekerja.

"Iya, Alvin sama Reno pulang duluan pada mau kerja," balas Melani.

"Kamu gak kuliah, Mel? Gak apa-apa nemenin Nala? Aku jadi gak enak, nyusahin kamu terus."

"Ih, apaan sih kamu. Orang gak ada yang nyusahin. Aku malah seneng, santai aja."

"Makasih ya, Mel."
"Iya, sama-sama."

Beruntungnya Naya memiliki teman yang pengertian, ada saat dia butuh bantuan dan menolongnya tanpa memikirkan pamrih.

°○°

Rumah di Ujung SanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang