18. Komunikasi

1K 87 3
                                    

"Kak, makan dulu ayo, Kak." Reno menyuruh Rolan untuk duduk di kursi meja makan, dan mematikan tayangan televisi, kemudian mengangkat Nala yang sedang berjalan pelan sambil memanggil kakaknya dengan tuturan yang belum jelas.

"Kakak gak mau makan, kalo ayah lagi bersihin pup adek, bau." Tangan Rolan otomatis menutup hidungnya.

Reno menghela napas pelan. "Iya, Iya, ayah bersihin adek dulu. Kakak diem di situ."

Dengan telaten, Reno mengganti popok yang dipakai Nala. Sesekali mengajak bicara dan bercanda dengan anak perempuannya itu.

Reno telah memanaskan masakan yang dibuat oleh Naya, termasuk makanan untuk Nala yang siap untuk disantap. Dua anak itu pun makan dalam pengawasan Reno, terutama Nala yang sudah diajarkan untuk makan sendiri. Dia sudah bisa duduk dengan tegak dan menggenggam makanannya sendiri.

"Kakak mau punya kamar sendiri gak?" tanya Reno yang melihat piring anaknya setengah bersih.
"Kamar sendiri?" Mata Rolan naik ke atas seolah berpikir.

"Nanti kakak tidur sendiri, gak tidur bareng ayah sama ibu lagi. Adek juga sendiri." Reno membersihkan makanan Nala yang berserakan di meja makan.

"Kenapa gak tidur bareng? Kakak 'kan mau sama ibu," ucap Rolan.

Reno mengerutkan dahinya. "Sama ayah gak mau?" Kedua alis dan bahu Rolan naik sambil menatap ayahnya.

"Oh gitu, oke nanti ayah gak beliin es krim, mainan, sama buku gambar lagi." Reno pura-pura merajuk.

"Kakak bisa minta ibu." Rolan seakan tidak masalah dengan pernyataan ayahnya itu, selama masih ada ibunya, dia merasa aman.

Mata Reno terpejam cukup lama, kemudian terdengar gumam pelan. "Ibunya terus."

"Yaudah, ayo sekarang kita beres-beres, cuci piring." Tanpa disuruh, Rolan membawa alat makan bekasnya ke wastafel untuk dicuci dengan bantuan bangku pendek miliknya. Dia juga membantu ayahnya membereskan rumah, terutama mainan dan peralatan gambarnya.

Sore harinya, Reno membawa kedua anaknya bermain ke taman di sekitar apartemen. Melatih Nala yang sedang proses berjalan tanpa bantuan, sedangkan sang kakak sibuk berada di wahana bermain seperti ayunan, perosotan, jungkat-jungkit, dan struktur panjat.

Terlalu lelah bermain, dengan tubuh yang diselimuti keringat, Rolan berlari menghampiri ayahnya yang sedang duduk di kursi taman bersama adiknya yang sedang makan cemilan untuk anak seusianya. Senyum Reno menyentuh matanya, melihat anaknya datang, kemudian menyodorkan botol minum anaknya itu.

"Udah mainnya?" Rolan yang sedang menegak minumnya, mengangguk dua kali.

Menjelang malam mereka pun kembali pulang. Membersihkan diri dari kuman-kuman di luar dan merapikan diri untuk menyambut sang ibu pulang.

Hingga malam tiba, Naya pulang membawa makan malam dan beberapa jajanan yang dia beli dari luar-pesanan dari anak laki-lakinya.

"Ibu." Begitu suara pintu terbuka, Rolan langsung berlari menyambut ibunya.

"Ih, anak ibu udah wangi aja." Naya menyambut pelukan dan mencium pipi anaknya itu.

Tidak mau kalah, Reno mengambil alih tubuh istrinya, terjadi perebutan singkat antara ayah dan anak. Seperti biasa Naya menenangkan dan memberikan makanan yang dia beli.

Mereka pun makan malam bersama sambil menonton televisi yang menampilkan tutorial menggambar dari kanal youtube kesukaan Rolan.

"Yaa, Ren," kata Nala.

Naya terkejut mendengar itu. "Kok Ren, Ren, ayah, panggil ayah."

"Aya eno." Tersenyum memamerkan giginya yang telah tumbuh.

Sedangkan Reno tersenyum lebar sambil memeluk dan mencium kening anak perempuan yang berada di sampingnya, kemudian tertawa memandang istrinya.

"Adek minta tidur bareng. Kayaknya kita harus mulai tidur berempat di kasur." Naya hanya tersenyum dan mengecup bibir Reno.

Sehabis makan, Naya baru membersihkan dirinya, setelah istirahat untuk meregangkan tubuhnya dengan makan bersama keluarga kecilnya.

Sudah menjadi kebiasaan Reno yang menyerobot masuk ke kamar mandi ketika ada istrinya di dalam, dia pun sengaja sejak tadi belum membersihkan dirinya karena ingin mandi bersama dengan Naya.

"Gimana tadi kencannya sama Melani?" Tangan Reno yang melingkar di perut Naya mendapatkan cubitan pelan.

"Apa sih," balas Naya, lalu mereka tertawa bersama.

"Seru, seru. Melani rencananya mau lanjut S3, katanya dia mau jadi dosen."

Reno menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajahnya pada leher Naya.

"Maaf ya, aku bikin kamu gak bisa ngerasain wisuda sarjana," gumam Reno penuh penyesalan dan sekelebat muncul memori kelakuan-kelakuan buruknya kepada Naya.

Naya tidak membalas, tangannya dengan lembut mengelus rambut Reno.

"Kamu mau kuliah lagi gak?" Reno mendongak.

Beberapa saat Naya tampak berpikir. "Hmm—mau sih, tapi capek."

Hening sejenak sampai Naya mengeluarkan suara, "Ren—"

"Kenapa?"

"Papa kamu terus-terus hubungin aku, terus tadi dia minta kita hadir ke acara keluarganya." Naya khawatir pernyataannya menyinggung perasaan Reno, dan benar suaminya itu melepas pelukannya, berjalan menjauh menempatkan diri di bawah pancuran, kemudian air hangat mengucur membasahi tubuhnya.

Naya menghela napas sebentar dan melanjutkan membersihkan make up di wajahnya. Selesai itu, dia bergabung dengan Reno.

"Aku gak enak, Ren. Masa mau terus-terusnya ngediemin, gak bales apa-apa." Kali ini Naya yang memeluk suaminya dari belakang.

"Blok aja nomor dia, Nay. Sini aku yang blok nomornya."

Kembali hening, hanya terdengar bunyi air yang mengucur.

"Atau kamu yang kepengen banget ketemu sama papa aku lagi? Kalo kamu emang mau, yaudah gak apa-apa kita dateng aja." Reno membalikkan tubuhnya menghadap Naya.

"Gak bukan gitu. Aku cuma gak mau hubungan kamu sama keluarga kamu kayak gini terus."

Reno mengalihkan pandangannya, kupingnya memerah. Dengan cepat Naya menangkup dua pipi di depannya, dan mengelus pelan rambut suaminya itu. Dia tahu Reno akan kesal.

"Aku gak mau kita berantem gara-gara masalah ini terus, Nay."
"Ini bukan berantem, Ren. Kita emang harus bicarain ini. Komunikasi, itu 'kan yang sering dibilang papa aku." Tangan kanan Naya masih berada di pipi, dan tangan kirinya mengelus rambut Reno.

"Aku gak masalah kalo kamu emang gak mau bantuan itu, toh tanpa bantuan papa kamu, kita juga masih bisa tinggal di rumah kita nanti. Tapi, minimal kamu yang bicara sama papa kamu, kalau kamu nolak pemberiannya," jelas Naya.

Reno termenung karena mendengar ayah Naya disebut, selama ini beliau lah yang sering membantu keuangan keluarga kecilnya, bahkan membantu membayar biaya sekolah Rolan, sedangkan dari pihak keluarganya tidak pernah ada bantuan sedikit pun, bertegur sapa saja tidak pernah.

"Oke, aku mau, tapi kalo dia yang chat duluan ke aku." Bibir Naya terangkat, hampir saja tertawa mendengar itu. Menurutnya itu adalah momen lucu, suaminya itu seperti anak remaja yang sedang marahan dengan kekasihnya.

"Nanti aku kabarin ke papa kamu." Satu kecupan di pipi Reno.
"Kalo gitu aku dapet jatah 'kan sekarang," todong Reno.

"Hmm—maaf, aku haid, baru aja tadi keluar pas jalan-jalan." Terlihat raut kesal dari wajah Reno, yang malah menjadi bahan ledekan oleh Naya.

°•°

Rumah di Ujung SanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang