19. Wanita Misterius

712 76 0
                                    

“Ayah!!” Rolan berlari menghampiri ayahnya yang baru saja pulang dari tempat kerjanya. Langkah kecil Nala juga berjalan mengikuti langkah kaki kakaknya. “Yah, yah—” panggil anak itu sambil mengulurkan dua tangannya minta digendong.

Reno memeluk dan satu persatu pipi anaknya dikecup. “Ayah beli mainan buat kakak sama adek.” Dikeluarkannya beberapa mainan jadul, seperti balon tiup dan kertas gambar hitam, perlu digosok agar warnanya muncul.

Setelah memberikan instruksi cara memainkan mainan-mainan itu, Reno menghampiri istrinya yang sedang menyiapkan makan malam untuk dirinya. Dua tangannya melingkar perut dan tubuhnya menempel pada Naya.

“Aku udah ngobrol sama papa, tadi dia yang dateng ke kantor.” Naya memutar tubuhnya menghadap Reno. “Besok Sabtu kita ke rumahnya.” Bibir mereka mulai bertautan, lalu terpisahkan oleh teriakan dari Rolan yang memanggil ibunya.

“Baru juga mau mesra-mesraan." gerutu pelan Reno. “Nanti kalo kita udah pindah rumah, aku mau puas-puasin berduaan sama kamu. Biarin nanti anak kita, aku kurung di kamarnya sendiri.” Naya mencubit pelan pinggang suaminya itu sambil tertawa kecil dan menggelengkan kepala, kemudian menyuruh Reno untuk makan, sebelum membersihkan diri.

"Kakak udah main aja di situ, biar ibu temenin ayah makan di sini."
"Gak mau, aku maunya main sama ibu." Rolan menarik tangan ibunya untuk ikut bermain bersama dia dan adiknya.
"Bu—" rajuk Reno tak kalah dari anaknya saat merengek.

Naya merapikan rambut anaknya yang selalu berantakan karena sejak tadi banyak bergerak. “Nanti ya, Nak. Tunggu ayah selesai makan.” Rolan duduk di karpet depan sofa, kembali sibuk menggosok kertas hitam bergambar.

“Kamu gak mau mandi bareng?” Sepanjang menyantap makan malam, tangan kanan Reno sibuk menyuap makanan dan tangan kirinya menggenggam tangan Naya.

“Aku udah mandi, gerah banget tadi, tapi belum pakai body lotion kok.” Mereka tersenyum saling mengerti.

Selesai ayahnya makan, Rolan langsung menodong ayahnya itu untuk menyerahkan ibunya. Ayah dan anak itu sempat beradu mulut singkat merebutkan Naya untuk main, dalam dua arti yang berbeda. Akhirnya yang menang adalah Rolan. Dia senang bermain bersama ibu dan adiknya. Sementara itu, ayahnya sendirian di kamar mandi.

.

Besoknya hari Jumat yang merupakan hari Reno bekerja dari rumah—setiap hari Rabu dan Jumat—Reno menyelesaikan pekerjaannya sebelum siang hari, pekerjaannya tidak begitu banyak, jika bertambah dia akan mengerjakan pada malam hari. Selesai membantu Naya membersihkan rumah, Reno bergegas menjemput anak laki-lakinya. Cuaca siang hari itu tidak panas, matahari tertutupi oleh awan gelap, sepertinya akan turun hujan.

"Ayah, ayah, kakak mau tanya. Kok ayah yang jadi ayah aku?" Lagi-lagi pertanyaan polos dari Rolan.
Wajah Reno terlihat bingung harus menjawab apa. "Maksudnya kakak gak mau punya ayah kayak Ayah gitu?"

"Enggak, kakak 'kan cuma tanya." Rolan—yang tangannya digenggam sang ayah—bergerak salah tingkah. “Tadi Leo tanya gitu ke ayahnya.”

“Ayah Leo yang tadi kakak liat itu bukan ayah kandung Leo, Kak.” Reno sadar dia kurang tepat mengucapkan itu.
Rolan sedikit bingung. “Kalau ayah yang mana?”

Reno mengusap dan memijat dahinya sendiri. “Ya, ayah kandung kakak dong.” Setelahnya dia langsung mengganti topik pembicaraan dan mengarahkan Rolan untuk melakukan kebiasaan anak itu, yaitu membaca setiap kata yang dia lihat di pinggir jalan. Kalau ada kata yang susah dibaca, dia akan bertanya kepada ayahnya.

Berjalan menuju lingkungan apartemen, Reno merasa seperti ada yang memperhatikan pergerakan bersama anaknya. Apa ini yang dirasakan Naya saat diperhatikan Putra? Mungkin hanya perasaannya saja. Dia pun lanjut memasuki taman apartemen yang melewati minimarket. Ada seorang wanita hamil yang seperti terkejut ketika Reno menatapnya.

“Ibu!!” Reno mengalihkan pandangan dari perempuan itu, mendengar anaknya berteriak. Dilihatnya Naya bersama Nala yang menghampiri mereka. Reno menoleh kembali ke sosok wanita tadi, tetapi wanita itu dengan cepat menghilang.

“Ibu kok ke sini?” tanya Reno.
“Bedak sama popok Nala abis, aku mau telepon kamu, tapi kamu gak bawa HP.” Selain membeli dua barang itu, Naya juga ingin membeli beberapa stok yang habis.

“Oh, iya, ketinggalan,” ujar Reno sambil mengecek kantung celananya.

Keluarga itu masuk ke minimarket dengan taman, Rolan langsung berkeliling setiap rak dan melihat-lihat makanan ataupun mainan yang menarik perhatiannya. Bolak-balik dia membawa cemilan di tangannya ke ayah dan ibunya untuk meminta persetujuan. Nala yang di gendongan Reno juga ikut memilih makanan secara asal—belum mengerti.

Saat sedang berdiskusi memilih merk saus sambal yang enak, ada seorang wanita hamil menghampiri Reno dan Naya. “Mas Reno?” panggil wanita itu.

Melihat seorang wanita yang memanggil nama suaminya dalam keadaan hamil, Naya cukup gelisah dan khawatir dengan pikirannya kalau sesuatu yang buruk akan terjadi. Dia menyenggol lengan suaminya itu untuk menanggapi panggilan tersebut.

“Maaf, siapa ya?” Reno pun tidak mengenal wanita itu—wanita yang tadi dia lihat.

“hh, saya sepupu kamu. Ibu saya itu adik ibu kamu.” Naya ikut mendengar penjelasan itu. “Maaf, nama saya Vera.” Wanita itu mengulurkan tangannya, mereka pun saling berkenalan.

Naya memberikan saran mencari tempat yang kondusif untuk Vera menceritakan maksud dan tujuannya. Vera menunggu keluarga itu selesai berbelanja dengan duduk di bangku taman. Selesai membayar belanjaan, Naya menghampiri dan ikut duduk di samping Vera. Begitupun dengan Reno, duduk di samping istrinya, dan Rolan yang bermain di taman.

Vera menjelaskan maksudnya menemui Reno, bahwa neneknya sedang dirawat di rumah sakit karena penyakit jantung dan neneknya itu memberikan sebuah permintaan ingin bertemu dengan anak pertamanya dan cucu pertamanya. Vera memohon juga agar Reno mau mengunjungi nenek dan keluarganya karena mereka juga ingin meminta maaf kepada ibu Reno.

“Ibu saya udah gak ada.” Dari wajah Vera terlihat terkejut. Sebegitu jauhnya hubungan Reno dengan keluarga dari ibunya, bahkan pernah tidak diakui.

“Kamu tau dari mana alamat tempat tinggal saya? Kamu yakin saya Reno yang kamu maksud?”

“Saya yakin kok. Saya nemu foto ini di laci bawah lemari nenek. Waktu lagi beresin kamarnya.” Foto yang menampilkan sosok ibu Reno dan Putra, serta di belakang foto itu bertuliskan alamat apartemen tempat tinggal Reno.

“Jadi kamu mau, saya jenguk dia di rumah sakit?”
Vera mengangguk. “Mau ya, Mas. Gak lama kok. Nenek merasa bersalah banget sama mas Reno, harusnya dia gak ngusir anaknya sendiri.”

Reno sebenarnya tidak berminat dan ingin menolak, tetapi istrinya pasti akan merayunya untuk melakukan hal yang baik. “Saya sih terserah istri saya.” Dia bangkit dan membantu Nala untuk berjalan, dan bermain bersama Rolan.

“Saya mau kok, nanti kami jenguk nenek kamu.” Naya menenangkan Vera. “Ngomong-ngomong, kamu sendirian ke sini?”

“Oh, nggak, saya ke sini sama suami saya, dia lagi makan di pinggir jalan situ.” Selain menyerahkan foto, Vera juga menyerahkan kertas berisikan alamat rumah sakit, nama dan nomor kamar tempat neneknya di rawat. Sebelum Vera berpamitan pulang, Naya meminta nomor telepon agar lebih mudah berkomunikasi lagi dengan Vera.

°○°

Rumah di Ujung SanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang