9. Baikan?

1.8K 142 3
                                    

"Kakak gak tidur?"

Jam menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi Rolan belum juga tidur. Dari tempat tidur dia menuju sofa depan televisi dan mengambil buku gambarnya.

"Kakak?" Naya memperhatikan gerak-gerik anaknya.
"Kakak mau tunggu ayah pulang, Ibu."

"Besok pagi aja ya, ayahnya capek, Nak, abis kerja. Besok aja ya," bujuk Naya agar anaknya kembali untuk tidur.

"Nanti kakak lupa cerita yang mau dicerita ke ayah." Banyak sekali cerita serta makhluk-makhluk imajinasi yang dibangun dalam panggung pikirannya, dan ingin diceritakan kepada ayahnya saat itu juga.

Terkadang jika anak itu tidak tidur, dia menunggu ayahnya pulang kerja hanya untuk menceritakan apa yang ada di pikirannya karena ayahnya juga antusias dan sangat menikmati mendengarkan imajinasi-imajinasi setiap anak itu bercerita.

Mau tidak mau Naya menunda waktu tidur dan menemani anaknya yang masih sibuk berimajinasi dan menunggu ayahnya pulang.

Sambil ikut menunggu, Naya terkantuk-kantuk sesekali menutup matanya ingin masuk ke dalam alam mimpi, tetapi tersadar. Berulang kali seperti itu. Hingga pintu apartemen terbuka, Naya pun membuka matanya, sedangkan anaknya langsung berlari menuju pintu.

"Ayah—" Dengan antusias Rolan menyambut ayahnya sambil membawa buku gambar di tangannya. Sang ibu mengikutinya dari belakang.

"Kakak kok belum tidur?" heran Reno.
"Aku mau cerita ke ayah." Rolan menyodorkan bukunya.

"Kak—biarin ayah ganti baju dulu," celetuk Naya.
"Udah gak apa-apa," gumam Reno pada Naya. "Ayo, Kak. Mau cerita apa?"

"Ayah tadi ada monster di sini, terus monsternya dimakan mobil." Rolan menunjuk hasil gambarannya.

"Terus, terus monster ini temennya mobil, tadi mobil ini makan monster kecil ini." Anak itu memunculkan karakter-karakter ciptaannya, dia terus menceritakan apapun yang dia inginkan kepada ayahnya.

"Loh, harusnya monster ini sama ini dong." Reno ikut ke dalam cerita tersebut.

"Nggak—itu 'kan dia lagi ada di sini, terus di sini, beda loh, beda tempatnya," balas Rolan.

Reno suka menanggapi itu semua dan masuk ke dalam cerita yang Rolan buat, seketika semua lelah dari pekerjaannya itu hilang, berkat interaksi dengan anaknya. Meskipun, yang diceritakan tentang hal yang sama.

Naya pun menikmati interaksi tersebut. Terutama ketika anaknya itu sedang berbicara, terlihat lucu dan menggemaskan. Dari cara dia menyusun kalimat, dia bingung cara menjelaskan kalimat supaya pas ketika diucapkan.

Hal tersebut merupakan salah satu proses yang perlu dinikmati oleh orang tua kepada anaknya. Bagaimana yang dulunya dia hanya bisa mengucapkan kata per kata kini sudah bisa menyusun kalimat. Kadang ada imbuhan-imbuhan yang tidak pas peletakannya, tetapi anak itu tetap mencoba untuk menjelaskan isi pikirannya.

Malam semakin larut, setelah Rolan bercerita, selanjutnya Reno yang menceritakan dongeng hingga Rolan tertidur di pangkuannya, kemudian Reno memindahkan anaknya ke kasur, dia pun langsung membersihkan dirinya sebelum tidur.

°○°

Pada pagi harinya, Reno yang masih mengantuk memaksakan dirinya untuk bangun. Matanya melihat sekeliling kamar, dan berakhir ke arah pintu kamar mandi yang sedikit terbuka.

Sebelum pintu kamar mandi tertutup rapat, diam-diam Reno ikut masuk menyusul Naya yang ingin membersihkan diri.

"Ngapain kamu ke sini? Keluar, keluar." Alih-alih menutup tubuh atasnya yang polos, tangan Naya lebih disibukkan mencoba untuk mengusir Reno. Namun, tenaganya kalah untuk mendorong tubuh Reno yang lebih besar darinya.

Dengan sigap juga Reno mengunci pintu kamar mandi dan menarik tubuh Naya ke pelukannya.

"Biarin kayak gini, sebentar aja, Nay," mohon Reno dengan menenggelamkan wajahnya pada leher Naya.

Tidak lama, Naya melepaskan dirinya dari Reno, lalu menuju wastafel terlebih dahulu untuk membersihkan wajahnya. Dari pantulan cermin dia bisa melihat Reno yang sedang memandangi tubuh telanjangnya.

Naya memejamkan matanya ketika salah satu tangan kasar Reno memeluk perutnya dari belakang. Tangan itu menjalar ke bagian dadanya. Kali ini dia tidak memberontak. Dadanya mulai diremas pelan. Tubuh Naya perlahan lemas, tanpa sadar punggungnya telah menyentuh dada telanjang Reno.

Kegiatan tersebut terpampang jelas pada pantulan cermin tepat di depan mereka.

"Ren—"
"Iya, sayang," bisik Reno.

"Berhenti."
"Aku tau kamu juga mau, Nay." Naya terus menggelengkan kepalanya dan air matanya pun keluar.

Reno menghentikan pergerakannya, "Jangan nangis, Nay. Kenapa kamu nangis?" kemudian diciumnya pipi Naya.

"Aku masih marah sama kamu." Tangisannya belum berhenti.
"Ya, aku minta maaf. Aku minta maaf gak ada maksud lain, cuma minta maaf."

"Tapi, ini apa. Kamu ngapain di sini?"
Reno menghembuskan napas panjang, "Aku kegoda terus ngeliat kamu, Nay. Aku gak tahan." Reno frustasi.

Mereka terdiam beberapa saat dengan posisi yang tidak berubah. Mata Reno melihat ruang kamar mandi itu, dinding yang dipenuhi tempelan warna-warni dari stiker kartun, mobil-mobilan, robot, hingga buah-buahan hingga toilet itu pun dihiasi oleh stiker yang ditempelkan oleh anaknya.

"Kalo kamu gak mau, gak apa-apa." Setelah mengucapkan itu, Reno melepas tanganya dari tubuh Naya, dan berjalan menuju pintu. Namun, langkah berhenti saat tangan Naya meraih tangannya.

Tanpa basa basi lagi, Reno membalikkan badannya dan dengan brutal langsung mencium bibir Naya. Tidak ada penolakan lagi dari Naya, dia ikut menikmati ciuman tersebut dan meletakkan tangannya pada pundak Reno.

Tanpa melepas ciumannya, Reno membuka celana pendeknya. Sekali tarikan Reno menggendong tubuh istrinya, kemudian perlahan-lahan miliknya masuk menembus dinding sensitif Naya.

Kali ini Naya yang menyembunyikan wajah pada leher suaminya, tangannya menjambak pelan rambut belakang Reno.

Tak berapa lama kegiatan itu berlangsung, Rolan menyahut dari luar.

"Ayah, Ibu?—" Detik itu juga Reno menghentikan pergerakannya, sedangkan Naya sibuk mengatur napasnya serta memejamkan matanya.

"Ibu di mana? Adek udah bangun," ujar Rolan lagi.
"Iya, sayang. Jagain dulu ya adeknya," sahut Naya dari dalam kamar mandi.

Langkah kaki kecil Rolan terdengar menuju kamar mandi.

"Ibu lagi mandi?"
"Iya, ibu mandi dulu ya."
"Oke." Perlahan kaki kecil itu melangkah menjauhi kamar mandi.

"Aku pengen cepet-cepet pindah ke rumah kita, biar aku bisa main sama kamu sepuasnya berduaan di kamar tanpa ada yang ganggu," bisik Reno da mendapatkan pukulan cinta di dadanya.

"Mangkanya kamu jangan judi terus."
Wajah Reno berubah malas, kegiatan judinya lagi yang diungkit-ungkit.

"Mau lanjut gak?" goda Reno.
"Nggak udah ih, keluar sana cepet." Naya kembali mengusir Reno.

"Yah, kok gitu," rajuk Reno.
"Nanti lagi gak sekarang."

"Janji ya, nanti."
"Iyah." singkat Naya yang lama kelamaan jengkel dengan suaminya sendiri, padahal pipinya telah merah padam.

Rolan mendapati ayahnya yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Ayah abis mandi juga sama ibu?" polos Rolan.
"Nggak, ayah abis main sama ibu," jawab Reno.

"Ibu denger loh, Yah!" teriak Naya dari kamar mandi. "Jangan kasih tau yang aneh-aneh." Reno hanya terkekeh mendengar teriakan itu.

"Main apa? Kok aku gak diajak?"
"Nggak, gak main apa-apa. Udah ayok bantuin ayah bikin sarapan."

°○°

Rumah di Ujung SanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang