21. Akhir yang Bahagia?

1.1K 84 1
                                    

Naya terbangun dari tidur, mengerjapkan mata, kemudian menoleh ke samping, dia hanya mendapati anak-anaknya yang sedang tertidur pulas, suaminya tak ada di tak ada di tempatnya tidur.

Naya turun dari ranjang dan berjalan keluar kamar. Keadaan rumah masih sepi, para penghuninya belum ada yang keluar kamar, kecuali para pekerja yang sudah menjalankan tugas mereka.

Ketika ingin minum, Naya berpapasan dengan Bu Yati yang sedang membuatkan sarapan bersama dua pekerja lain. Kesempatan itu Naya gunakan untuk bertanya keberadaan Reno. Siapa tahu ibu itu melihat, dan benar, Naya langsung diarahkan untuk ke kamar kecil Reno, satu lorong dengan kamar pekerja yang lain.

Di dalam kamar yang kecil itu, Naya melihat sosok Reno yang sedang tidur meringkuk di tempat tidur yang kecil, tubuhnya sudah tidak muat lagi untuk tidur di situ, bahkan sejak dia SMA.

Naya mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar. Tak banyak barang, hanya ada tempat tidur, lemari pendek, kursi dan meja belajar, terdapat poster film yang dulu pernah diperlihatkan oleh Reno via video telepon. Kamar itu lebih kecil dibandingkan kamar Naya.

Racauan tak jelas keluar dari mulut Reno, dahi dan alisnya mengkerut, serta gerakan tubuhnya yang gelisah dan tak nyaman. Naya yang sedang duduk dan mengamati papan—di dinding atas meja belajar—segera menghampiri dan mengelus wajah suaminya agar tenang.

Pemandangan pertama yang dilihat Reno ketika membuka mata adalah istrinya yang sedang menenangkan dirinya dari mimpi buruk.

“Kamu mimpi buruk, ya?” tanya Naya.
“Kok kamu di sini?” Reno balik bertanya dan menarik Naya ke dalam pelukannya. Di atas ranjang sempit itu mereka meringkuk bersama.

“Kamu mau cerita abis mimpi apa?”
Reno menghela napas pelan sambil mengingat-ingat lagi mimpinya. ”Yang aku inget, aku mimpi kenangan-kenangan buruk yang ada di sini.”

Naya cukup prihatin dengan masa lalu suaminya itu, dan untungnya hal seperti itu tidak terjadi kepada anak mereka. Reno sangat menyayangi kedua anak mereka.

Naya teringat sesuatu. “Kita kapan mau jenguk nenek kamu?”
“Abis dari sini kali ya. Sore ‘kan kita pulang, jam besuknya juga sore ‘kan, jam empat sampe jam enam. Nah, sebelum pulang jenguk dulu.” Ketika meminta kontak, Naya langsung dikirimi jadwal besuk dari rumah sakit oleh Vera.

Setelah mengenang masa lalu masing-masing, mereka kembali ke kamar tamu. Begitu masuk ke dalam kamar Rolan dan Nala—yang sudah bisa turun dari kasur—berhamburan ke arah orang tuanya, sebelumnya mereka tengah mencari keberadaan orang tuanya.

Sisa hari di rumah itu, mereka lakukan dengan makan bersama keluarga Putra dan para cucu yang ditawarkan untuk berenang sebelum mereka pulang. Hari itu Rolan isi dengan bermain, dan dia juga diajarkan menggambar digital menggunakan tablet oleh Adri—yang mulai akrab dan suka dengan keponakannya itu.

Sore harinya, baik Reno maupun Naya berpamitan untuk pulang, sedangkan Rolan sempat tidak ingin berpisah dengan sepupu, om, dan kakeknya. Dia masih ingin bermain dan menetap di sana.

Dengan segala macam rujukan akhirnya dia mau untuk pulang dan dijanjikan untuk berkunjung, kapanpun dia bisa berlibur ke rumah kakeknya. Rolan juga mendapatkan hadiah sebuah tablet dari kakeknya. Namun, benda itu cukup membuat Naya khawatir dan takut anaknya jadi kecanduan bermain gadget.

Seperti saat berangkat, keluarga Reno juga diantarkan pulang oleh supir pribadi. Sesuai rencana, sebelum diantar ke apartemen, Reno meminta izin untuk diantarkan lebih dulu ke rumah sakit tempat neneknya dirawat dan Naya yang bertugas menghubungi Vera, bahwa mereka akan berkunjung.

Sampai di rumah sakit, Vera telah menunggu keluarga kecil itu. Namun, hanya Naya dan Reno yang bisa masuk ke dalam rumah sakit untuk menjenguk. Sesuai dengan ketentuan rumah sakit tersebut anak di bawah 12 tahun tidak diperbolehkan untuk ikut menjenguk.

Tadinya Reno ingin tinggal di mobil, beralasan ingin menjaga anaknya, tetapi Naya memaksa untuk ikut dan percaya dua anaknya tidak akan rewel di dalam mobil dijaga sang supir, apalagi Rolan yang punya mainan baru. Lagi pula mereka tidak akan lama.

Mengikuti langkah kaki Vera, sepasang suami istri itu masuk ke dalam salah satu ruang rawat inap yang diisi oleh empat pasien. Tujuan mereka berada di paling ujung ruangan dekat dengan jendela. Terdapat seorang wanita tua sedang terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan tangan yang tertusuk jarum infus.

Naya memberikan parsel buah yang dibeli ketika menuju rumah sakit. Selain Vera yang menjaga, ada juga seorang wanita—seumuran ibu Naya—yang merupakan ibu Vera. Mereka sangat berterima kasih kepada Reno karena sudah mau datang dan meminta maaf. Reno menerima permintaan maaf neneknya itu yang berbicara terbata-bata. Dia hanya diam mengangguk, selebihnya Naya yang berbicara. Neneknya itu sangat menyesal memperlakukan ibu Reno dengan jahat, bahkan dia tidak tahu bahwa anaknya telah tiada.

Usai bersedih, mereka bercengkrama sebentar, Naya menceritakan dua anaknya dan menyuguhkan foto anaknya kepada nenek yang ingin lihat, tetapi tidak memungkinkan.

Tak lama Reno dan Naya pun berpamitan. Jika ada acara keluarga mereka akan diundang dan dipastikan untuk hadir. Selama berkunjung, hati Naya sangat senang, apalagi bertemu orang-orang yang merupakan keluarga dari suaminya itu karena dari dia kecil kakek dan neneknya sudah meninggalkannya. Saudara dan sepupunya pun tinggal berbeda pulau—hanya bertemu setahun sekali. Sedangkan Reno sejak tadi hanya diam dengan senyum singkatnya.

“Kamu gak kenapa-kenapa?” tanya Naya begitu mereka ingin masuk ke dalam mobil. “Dari tadi diem terus.”
Reno menggeleng. “Nggak, gak apa-apa. Lega aja.” Sebuah senyuman hangat terpampang jelas di wajah laki-laki itu. Mereka saling memberikan senyuman.

Reno pun tidak mengerti dengan semua yang terjadi dalam dua hari ini. Ayah kandungnya yang peduli terhadap keluarga kecilnya dan menganggap dirinya ada; saudara yang tidak mengganggu dan akrab dengan anaknya; juga keluarga ibunya yang meminta maaf kepada dirinya. Entah dia harus senang atau curiga—karena selalu ada perasaan tak diinginkan yang muncul setelah perasaan senang.

Apakah ini akhir bahagia dari kenangan buruk semasa hidup dan kisah hidupnya yang sering diperlakukan tidak baik oleh keluarganya? atau permulaan menempuh hidup yang lebih tinggi?

Selain itu, dia harus lebih banyak bersyukur memiliki seorang istri yang selalu memaafkan dirinya dan menerima masa lalunya. Berapa kali pun dia menyakiti Naya, permintaan maafnya selalu diterima.

Naya juga yang sering menasihatinya meskipun dirinya sulit untuk dinasihati. Jika dipikir lagi, selama ini—ketika dia sudah memiliki keluarga yang dia ciptakan sendiri—hanya istri dan anak-anaknya lah yang bisa mengubah kebiasaan dan kelakuan buruknya. Dia juga harus bersyukur mempunyai anak-anak yang pintar dan tidak melawan orang tuanya.


Rumah di Ujung SanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang