4. Diagnosis

2.5K 193 5
                                    

"Mau ke kos lagi?" Naya melihat suaminya yang tengah menyiapkan diri untuk pergi.

Reno tidak menjawab, hanya menaikkan alisnya singkat.

"Ayah ikut." Rolan menghampiri dan memeluk kaki ayahnya.

"Enggak, kakak sama ibu aja di rumah," tolak Naya, melarang anaknya untuk ikut.

"Hh—Aku mau ikut ayah." Mulut mungil Rolan terus merengek ingin ikut.

Sebelum Rolan terus merajuk dan menangis bersungut-sungut, Reno segera menerima permintaan anaknya itu. Mengambil dan memakaikan jaket kepada anak laki-lakinya. Daripada dirinya tidak jadi pergi.

Naya yang merasa keberadaannya diabaikan, melangkahkan kakinya menjauh dari ayah dan anak itu. Berjalan mendekati anak perempuannya yang sedang bermain.

"Ibu, kakak pergi dulu," pamit Rolan, kemudian terdengar pintu apartemen tertutup.

Naya menatap sendu pintu yang baru saja tertutup itu.

°○°

Sampai di kos, Rolan semangat bertemu dengan teman-teman ayahnya. Meskipun di tempat itu tidak ada anak kecil selain dirinya, dia senang bermain dengan para orang dewasa itu, terutama menjahili Alvin.

Selama Reno sedang berbincang dengan teman-temannya, Rolan anteng menggambar di buku gambarnya yang sengaja ditinggal di kos itu, beberapa mainannya juga ada di kos tersebut.

"Aku mau ikut gambar juga dong." Alvin datang ingin merecoki Rolan.

"Gak boleh, om Alvin bau," ujar Rolan sambil tersenyum mengejek.

"Eh—enak aja. Aku malah dulu pernah gantiin popok kamu yang lebih bau, ih—" Alvin tidak mau kalah.

"Mmm—aku bilangin ayah nih."
"Bilangin aja, aku gak takut."

"Kamu mau ikut aku gak? Jalan-jalan beli makanan." Alvin mengajak Rolan membeli jajanan di sekitaran area kosan.

"Gak ah, nanti om Alvin bohong lagi." Suara dari mulut kecil itu membuat Alvin gemas.

"Beneran kok, ini ada uangnya." Alvin mengeluarkan uang dari kantung celananya, dan menunjukkannya pada Rolan.

Dengan segala bujuk rayu Alvin, akhirnya Rolan mau diajak jalan-jalan olehnya.

.

Hingga malam hari tiba, suami dan anaknya itu tak kunjung pulang. Naya sedikit cemas memikirkan anaknya, perasaannya tidak enak. Apa anaknya itu sudah makan? Apa dia mandi di sana? Mereka sedang apa?

Jika melihat jadwal tayang sepak bola yang akan ditonton oleh suaminya itu, mereka akan pulang pada tengah malam atau bahkan pagi buta.

Dengan segala pikiran tentang anaknya, berkali-kali Naya mengirimkan pesan dan menghubungi Reno. Namun. Hanya dibalas singkat oleh Reno untuk tidak perlu terlalu cemas.

Naya berniat ingin terjaga sampai anaknya pulang. Namun, rasa kantuk mengalahkan segalanya. Perlahan-lahan matanya tertutup.

•○•

Pada tengah malam, Rolan yang sedang tidur di kamar Alvin tiba-tiba terbangun dan mengeluh perutnya sakit. Berteriak memanggil-manggil ayahnya.

Reno yang mendengar suara Rolan, segera menghampiri anaknya itu. Ketika memegang tangan anaknya, Reno merasakan suhu tubuh yang panas.

"Ayah, perut aku sakit—" keluh Rolan sambil memeluk perutnya.

"Bawa ke rumah sakit aja, Ren," celetuk Alvin.

"Harus banget ke rumah sakit? Gak minum obat aja gitu?" Dengan bodohnya Reno berbicara seperti itu.

"Langsung ke rumah sakit lah. Coba tanya Melani aja kali ya?" tanya balik Alvin.

Dua laki-laki dewasa itu meneruskan perbincangan dengan kebingungan, dan tidak akan membuat sakit di perut Rolan sembuh seketika.

"Yaudah tanya Melani deh." Reno menggendong tubuh Rolan dan berjalan ke kamar Melani.

Diketuknya pintu kamar Melani. "Mel, Mel, lu udah tidur belom?" panggil Alvin sambil mengetuk pintu tersebut berulang kali.

Beberapa menit kemudian, Melani keluar dari kamar dengan kedua matanya yang setengah terbuka. "Aduh, ada apaan sih!"

"Ini, Mel. Perut Rolan sakit, kira-kira lu ada solusi gak?" tanya Alvin polos.

"Ayah, sakit. Mau ibu." Rolan terus mengeluh.

Seketika mata Melani terbuka lebar dan melototi ke dua laki-laki di hadapannya.

"Ya, bawa ke rumah sakit lah, bego," desis Melani sambil menggertakkan giginya, lalu mencubit lengan Alvin dan Reno.

"Ya, mana kita tau. Bisa aja cuma sakit sesaat gitu," balas Alvin.

"Udah cepetan ke rumah sakit." Justru Melani yang dibuat panik, bisa-bisanya Reno tidak mengerti keadaan anaknya. Dia buru-buru bersiap untuk ikut mengantar Rolan ke rumah sakit dan langsung menghubungi Naya.

"Mar, Damar, lu punya mobil 'kan, pinjem, pinjem, kita mau ke rumah sakit, kali ini urgent." Alvin meminjam salah satu penghuni kos yang sedang menonton bola bersamanya tadi.

"Tapi, jangan diapa-apain lagi, bang."
"Iya, udah tenang aja."

Alvin, Melani, Reno pun pergi membawa Rolan ke rumah sakit, dengan Alvin yang menyetir.

"Lu berdua bego banget beneran deh, mana udah kayak pasangan gay lagi."

"Lu ngomong kotor bisa pelan-pelan gak, ada anak gua ini," protes Reno.

"Ya 'kan kita gak boleh panik." Alvin membela diri.

Rolan yang berada di pelukan Reno, menahan sakit dengan mencengkram erat baju ayahnya.

"Dari tadi ditelfonin, Naya gak ngangkat-ngangkat, apa dia udah tidur ya." Melani kembali menghubungi Naya sampai sambungan teleponnya diangkat.

Mendengar nama Naya, Reno sedikit cemas. Sepertinya istrinya itu akan marah besar dan mereka akan kembali cekcok.

"Ibu—" Rolan menggigil dan mulai menangis lemas.

"Sabar ya, sayang." Diciumnya kening Rolan. "Liat ayah." Reno mengusap pelan rambut anaknya itu untuk menenangkan dan merapatkan jaket anaknya.

.

Sampai di rumah sakit terdekat, Rolan segera ditangani oleh dokter. Tengah malam, rumah sakit tidak begitu ramai oleh pasien.

Dalam keadaan lemas, Rolan tampak pasrah ketika lengannya disuntik, darahnya diambil untuk dicek. Dia tenang walaupun sisa tangisannya masih ada. Dilanjutkan dengan beberapa pemeriksaan.

Setelah menunggu, hasil tes darah pun keluar. Berdasarkan hasil pemeriksaan, dokter mendiagnosis Rolan keracunan makanan hingga terkena diare dan dokter menyarankan untuk diopname karena kekurangan cairan.

Mendengar penjelasan dokter, Reno menghela napas panjang, mengusap wajahnya kasar. Rolan pun dipindahkan ke ruang perawatan.

Inilah momen yang tidak akan Reno lupakan, melihat anaknya berusaha menahan nyeri ketika lengannya ditusuk jarum suntik untuk diinfus. Tangan Reno menggenggam tangan mungil itu.

Meskipun pernah melihat anaknya beberapa kali disuntik vaksin, tapi momen ini lebih menyakitkan untuk Reno. Pertama kali melihat anaknya dirawat di rumah sakit. Anak yang biasanya ceria dan jahil, kini terbaring lemas dengan wajah yang pucat.

"Ibu—" Rolan selalu memanggil ibunya. "Ayah, ibu mana?" lirihnya.

"Ibu lagi jalan, sebentar lagi sampe." Reno tidak tega melihat anaknya.
"Kakak istirahat dulu, ya. Nanti kakak bangun ibu udah ada di sini." Dielusnya kepala anak yang sedang berbaring lemas itu.

•○•

Di lain tempat, seorang ibu penuh kekhawatiran menunggu taxi online yang dia pesan, sambil memeluk anak perempuannya. Di pagi yang masih gelap, tak banyak kendaraan yang berkeliaran.

Sepanjang perjalanan, dalam hatinya penuh kecemasan memikirkan anak pertamanya.

.

Rumah di Ujung SanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang